Alkisah, seorang perempuan Minang bernama Diana (penganut Kristen yang taat), berpacaran dengan seorang laki-laki muslim bernama Cahyo (suku Jawa) dan berencana untuk melangsungkan pernikahan. Cinta suci mereka menghadapi kendala, karena keluarga Diana, mulai dari ibu, kakak, om dan tantenya, menolak pernikahan beda agama dimaksud. Inilah konflik percintaan yang diangkat oleh Hanung Bramantyo dan Hestu Saputra dalam sebuah film yang berjudul “Cinta Tapi Beda” (maksudnya beda agama).
Film Cinta Tapi Beda, yang sudah ditayangkan sejak 27 Desember 2012 lalu, pada dasarnya tidak ada bedanya dengan film-film percintaan lainnya. Tidak ada satupun daya tariknya jika dilihat dari konten film tersebut. Namun demikian film ini bisa bikin heboh jika dilihat dari segi setting film tersebut.
Film Cinta Tapi Beda ini ternyata mengambil setting latar belakangnya antara suku Minang dengan Jawa, dimana perempuannya yang berasal dari Minang beragama Kristen dan sebaliknya laki-laki yang berasal dari Jawa malah beragama Islam. Inilah barangkali yang membuat tokoh-tokoh Minang seperti Kesatuan Mahasiswa Minang (KMM) Jaya merasa kebangkaran jenggot dan memprotes penayangan film tersebut. Bahkan Ketua KMM Jaya M. Rozi juga mencurigai adanya agenda terselubung di balik film tersebut, seperti diwartakan sebuah koran daerah pada 4 Januari 2013 lalu.
Kecemasan KMM Jaya ternyata cukup beralasan. Dan ternyata mereka tidak sendirian. Dilayanan jejaring sosial, seperti facebook dan twitter juga ramai diperbincangkan, yaitu antara mendukung atau menolak pencabutan film tersebut, atau sekedar komentar angin lalu belaka.
Tapi yang lebih mendominasi sepertinya hanya komentar angin lalu, sekedar mempertanyakan apakah benar film tersebut diangkat dari kisah nyata sebagaimana pengakuan sutradara diawal film, atau juga ada kebohongan sang sutradara.
Adapun yang memprotes agar film itu dicabut dari peredaran, ternyata tidak mendapat dukungan banyak dan buktinya yang memprotes secara terang-terangan hanya segelintir mahasiswa yang tergabung dalam KMM Jaya. Bagaimana dengan organisasi kemahasiswaan lainnya atau tokoh-tokoh intelektual Minang dan ulamanya? Sepertinya mereka tiarap atau memang tidak tahu, karena tidak ada waktu untuk menonton film tersebut.
Ketika melihat cuplikan film Cinta Tapi Beda di Youtube, penulis pada awalnya termasuk orang yang setuju dengan protes yang diajukan oleh KMM Jaya ataupun orang yang seide dengan itu. Tetapi setelah melakukan perenungan panjang, sepertinya protes KMM Jaya ataupun ketidaksetujuan penulis dengan cerita dan latar belakang yang diangkat oleh sang sutradara, hanya letupan emosional belaka, bukan karena pembelaan yang sesungguhnya kepada falsafah Minang “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” atau yang sering juga disebut sekarang ini dengan singkatanABS SBK.
Kenapa dikatakan demikian? Berikut ini adalah beberapa alasan (karena keterbatasan penulis dalam memahami falsafah Minang dimaksud) yang bisa dikemukakan.Pertama, Falsafah Minangkabau yang menyatakan adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah, menurut penulis adalah sebuah obsesi yang diinginkan oleh nenek moyang orang Minang pada pertemuan Marapalam dahulu kala.
Karena dia adalah sebuah obsesi belaka, maka hasilnya sangat bergantung kepada kemauan penguasa adat, dalam hal ini para penghulu atau ninik mamak di Minangkabau dan juga dipengaruhi sedikit banyaknya oleh penguasa pemerintahan serta kemauan dari masyarakat itu sendiri.
Ketika seorang penghulu di Minangkabau memiliki pemahaman agama yang bagus, maka akan tercerminlah falsafah dimaksud dalam kebijakan-kabijakan pengayoman anak kemenakannya.
Sebaliknya jika ninikmamaknya tidak paham dengan agama, anak kemenakan juga demikian, maka yang terjadi adalah syarak yang basandi adat.
Kedua, seiring dengan adanya kebijakan pemerintah Orde Baru dahulu tentang program transmigrasi, maka definisi Minangkabau sebagai sebuah daerah teritorial sudah menjadi bias. Tidak bisa lagi dikatakan bahwa Minagkabau adalah Sumatera Barat dan Sumatera Barat adalah Minangkabau.
Program transmigrasi sedikit banyaknya telah memberikan efek kepada bercampurnya suku yang ada di Sumatera Barat sebagai sebuah teritorial daerah yang dinamakan dengan provinsi. Sebagaimana Minang sebagai sebuah suku terbesar di pulau Sumatera juga menyebar ke daerah dan bahkan negara lain.
Maka ketika membicarakan adat basandi syarak dan syarak basandi Kitabullah untuk diaplikasikan dalam kondisi kekinian, hanya bisa diterapkan kepada penduduk Sumatera Barat yang bersuku Minang dan memiliki keinginan kuat untuk membumikan hukum prinsip-prinsip ajaran Islam di Sumatera Barat.
Adapun penduduk Sumatera Barat yang tidak berasal darisuku Minang dan apalagi tidak beragama Islam tentunya tidak bisa dipaksakan untuk merealisasikan falsafah dimaksud. Jangan orang lain yang tidakberasal dari suku Minang, kemenakan yang berasal dari suku Minang asli, kadang-kadang tidak bisa atau tidak mau diatur oleh penghulunya untuk menjalankan kebijakan adat yang sudah lazim berlaku di sebuah tempat di Minangkabau.
Biasnya batas teritorial Minang sebagai sebuah komunitas terbukti dengan hasil sensus yang diadakan pemerintah secara berkala. Dari setiap sensus yang dilakukan ternyata persentase penduduk Sumatera Barat yang beragama Islam berkurang, walaupun kurangnya secara persentase tidak signifikan. Tempat ibadah bagi non muslim juga bertambah. Dan jika kasus-kasus pemurtadan sebagaiamana dilansir oleh LSM PagaNagari dalam situsnya dijadikan sebagai bukti berkembangnya agama lain di Sumatera Barat yang mayoritasnya bersuku Minang, maka apa yang diangkat oleh Hanung Bramantyo adalah benar adanya.
Dan jika kisah itu diambil dari kejadian nyata, bisa jadi Dian dalam tokoh tersebut tidak bersuku Minang, tetapi tinggal dan menetap di Minangkabau (Sumatera Barat), sehingga dia bisa berbahasa Minang, mengerti sedikit banyaknya budaya Minang, dan bisa jadi keluarganya belajar kepada keluarga Minang yang konsisten mempertahankan adatnya. Atau dalam agama Dian itu sendiri juga diajarkan tentang prinsip bahwa menikah harus dengan yang seagama dan tidak boleh nikah beda agama. Jika ini yang terjadi, maka apa alasan KMM Jaya atau yang sependapatdengannya melakukan protes?.
Sebaliknya jika terbukti ada pemalsuan data dan fakta oleh sang sutradara, atau memang ada agenda terselubung, maka sudah seharusnya semua pihak yang berkerpentingan dan kompeten mengambil tindakan-tindakan yang arif dan bijak agar tidak menimbulkan kasus SARA. Tetapi bisa juga asumsi lain yaitu, Dian dalam tokoh tersebut adalah putri asli keturunan Minang, sukunya Minang, awalnya beragama Islam, tetapi kemudian dia dan keluarga besarnya memilih untuk tidak lagi bergama Islam, walaupun konsekwensinya tidak lagi dianggap sebagai orang Minang (karena sudah dibuang sepanjang adat atau belum dibuang, karena penghulunya tidak berani atau takut dan semoga ini hanya asumsi penulis saja), maka apa yang akan kita perbuat? Secara hukum positif Dian dan keluarganya dijamin oleh negara, karena agama adalah hak dan keyakinan masing-masing. Dibuang sepanjang adat tidak bermakna dia harus terusir dari tanah yang dibelinya (pusako randah). Maka jika ini betul-betul terjadi, maka sejatinya film ini adalah tamparan kepada para ninik mamak, cadiak pandai, alim ulama dan tokoh-tokoh Minangkabau karena telah ditipu anak kemenakannya sendiri.
Karena bisa jadi ninik mamak, cadiak pandai ataupun alim ulama hanya hebat beretorika di kerapatan adat, masjid dan tempat keramaian lainnya. Sementara anak kemenakannya dipedalaman pelosok kampung telah menggadaikan keyakinanya tidak diketahui. Semoga ini tidak terjadi. ***
MULYADI MUSLIM, LC. MA (Pemerhati Sosial)
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar