Featured Video

Selasa, 08 Januari 2013

TAMPARAN FILM “CINTA TAPI BEDA”

Ditulis oleh Teguh   
Selasa, 08 Januari 2013 01:38
Alkisah, seorang perempuan Mi­nang bernama Di­a­­na (penganut Kristen yang ta­at),  berpacaran dengan seorang laki-laki mus­lim bernama Cahyo (suku Jawa) dan berencana untuk me­lang­sung­kan pernikahan.  Cinta suci mereka menghadapi ken­dala, karena keluarga Diana,  mulai dari ibu, kakak, om dan tantenya, menolak pernikahan beda agama dimak­sud. Inilah konflik percintaan yang di­angkat oleh Hanung Bramantyo dan Hestu Saputra dalam sebuah film yang ber­judul “Cinta Tapi Beda” (ma­k­sud­nya beda agama).

Film Cinta Tapi Beda, yang sudah ditayangkan sejak 27 Desember 2012 lalu, pada dasarnya tidak ada bedanya dengan film-film percintaan lainnya. Tidak ada satupun daya tariknya jika dilihat dari konten film tersebut. Namun demikian film ini bisa bikin heboh jika dilihat dari segi setting film tersebut.
Film Cinta Tapi Beda ini ternyata mengambil setting latar belakangnya antara suku Minang dengan Jawa, dimana perempuannya yang berasal dari Minang be­ra­gama Kristen dan sebaliknya laki-laki yang berasal dari Jawa malah beragama Islam. Inilah ba­rangkali yang mem­buat tokoh-tokoh Minang seperti Kesatuan Mahasiswa Minang (KMM) Jaya merasa ke­bang­karan jenggot dan memprotes pe­nayangan film tersebut. Bahkan Ketua KMM Jaya M. Rozi juga mencurigai adanya age­nda terselubung di balik film tersebut, seperti diwar­takan sebuah koran daerah pada 4 Januari 2013 lalu.
Kecemasan KMM Jaya ternyata cukup beralasan. Dan ternyata mereka tidak sen­dirian. Dilayanan jejaring sosial, seperti facebook dan twitter juga ramai diper­bincangkan, yaitu antara mendukung atau me­nolak pencabutan film tersebut, atau sekedar komentar angin lalu belaka.
Tapi yang lebih men­do­minasi sepertinya hanya komentar angin  lalu, sekedar mempertanyakan apakah benar film tersebut diangkat dari kisah nyata sebagaimana pengakuan sutradara diawal film, atau juga ada ke­bo­hongan sang sutradara.
Adapun yang memprotes agar film itu dicabut dari peredaran, ternyata tidak mendapat dukungan banyak dan buktinya yang memprotes secara terang-terangan hanya segelintir mahasiswa yang tergabung dalam KMM Jaya. Bagaimana dengan organisasi kemahasiswaan lainnya atau tokoh-tokoh intelektual Minang dan ulamanya? Sepertinya mereka tiarap atau memang tidak tahu, karena tidak ada waktu untuk menonton film tersebut.
Ketika melihat cuplikan film Cinta Tapi Beda di Youtube, penulis pada awalnya termasuk orang yang setuju dengan protes yang diajukan oleh KMM Jaya ataupun orang yang seide dengan itu. Tetapi setelah melakukan pe­re­nu­ngan panjang, sepertinya protes KMM Jaya ataupun ketidaksetujuan penulis de­ngan cerita dan latar belakang yang diangkat oleh sang sutradara, hanya letupan emosional belaka, bukan karena pembelaan yang se­sungguhnya kepada falsafah Minang “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah” atau yang sering juga disebut sekarang ini dengan sing­katanABS SBK.
Kenapa dikatakan de­mikian? Berikut ini adalah beberapa alasan (karena ke­terbatasan penulis dalam memahami falsafah Minang dimaksud) yang bisa dike­muka­kan.Pertama,   Fal­safah Minangkabau yang menya­takan adat basandi syarak, syarak basandi Kita­bul­lah, menurut penulis ada­lah se­buah obsesi yang di­ingin­kan oleh nenek moyang orang Minang pada per­te­muan Ma­­­­rapa­lam dahulu kala.
Karena dia adalah sebuah obsesi belaka, maka hasilnya sangat bergantung kepada kemauan penguasa adat, dalam hal ini para penghulu atau ninik mamak di Minang­kabau dan juga dipengaruhi sedikit banyaknya oleh pe­nguasa pemerintahan serta kemauan dari masyarakat itu sendiri.
Ketika seorang penghulu di Minangkabau memiliki pemahaman agama yang ba­gus, maka akan tercerminlah falsafah dimaksud dalam kebijakan-kabijakan penga­yoman anak kemenakannya.
Sebaliknya jika ninik­mamak­nya tidak paham de­ngan agama, anak kemenakan juga demikian, maka yang terjadi adalah syarak yang basandi adat.
Kedua, seiring dengan adanya kebijakan pemerintah Orde Baru dahulu tentang program transmigrasi, maka definisi Minangkabau sebagai sebuah daerah teritorial sudah menjadi bias. Tidak bisa lagi dikatakan bahwa Minagkabau adalah Sumatera Barat dan Sumatera Barat adalah Mi­nangkabau.
Program transmigrasi se­dikit banyaknya telah mem­be­ri­kan efek kepada ber­campurnya suku yang ada di Sumatera Barat sebagai sebuah teritorial daerah yang dinamakan dengan provinsi. Sebagaimana Minang sebagai sebuah suku terbesar di  pulau Sumatera juga menyebar ke daerah dan bahkan negara lain.
Maka ketika mem­bica­rakan adat basandi syarak dan syarak basandi Kitabullah untuk diaplikasikan dalam kondisi kekinian, hanya bisa diterapkan kepada penduduk Sumatera Barat yang bersuku Minang dan memiliki ke­ingi­nan kuat untuk membumikan hukum prinsip-prinsip ajaran Islam di Sumatera Barat.
Adapun penduduk Su­matera Barat yang tidak berasal darisuku Minang dan apalagi tidak beragama Islam tentunya tidak bisa dipak­sakan untuk merealisasikan falsafah dimaksud. Jangan orang lain yang tidakberasal dari suku Minang,  kemena­kan yang berasal dari suku Minang asli, kadang-kadang tidak bisa atau tidak mau diatur oleh peng­hulunya untuk menjalankan kebijakan adat yang sudah lazim berlaku di sebuah tempat di Minangkabau.
Biasnya batas teritorial  Minang sebagai sebuah ko­munitas terbukti dengan hasil sensus yang diadakan peme­rintah secara berkala. Dari setiap sensus yang dilakukan ternyata persentase penduduk Sumatera Barat yang be­ragama Islam berkurang, walaupun kurangnya secara persentase tidak signifikan. Tempat ibadah bagi non muslim juga bertambah. Dan jika kasus-kasus pemurtadan sebagaiamana dilansir oleh LSM PagaNagari dalam si­tusnya dijadikan sebagai bukti berkembangnya agama lain di Sumatera Barat yang mayoritasnya bersuku Mi­nang, maka apa yang di­ang­kat oleh Hanung Bramantyo adalah benar adanya.
Dan jika kisah itu diambil dari kejadian nyata,  bisa jadi Dian dalam tokoh tersebut tidak bersuku Minang, tetapi tinggal dan menetap di Mi­nan­g­kabau (Sumatera Barat), sehingga dia bisa berbahasa Minang, mengerti sedikit ba­nyak­nya budaya Minang, dan bisa jadi keluarganya belajar kepada ke­luarga Mi­nang yang konsisten mem­pertahankan adatnya. Atau dalam agama Dian  itu sendiri juga diajarkan tentang prinsip bahwa menikah harus dengan yang seagama dan tidak boleh nikah beda agama. Jika ini yang terjadi, maka apa alasan KMM Jaya atau yang sepen­dapat­de­ngan­nya melakukan protes?.
Sebaliknya jika terbukti ada pemalsuan data dan fakta oleh sang sutradara, atau memang ada agenda ter­selubung, maka sudah se­harusnya semua pihak yang berkerpentingan dan kom­peten mengambil tindakan-tindakan  yang arif dan bijak agar tidak menimbulkan kasus SARA. Tetapi bisa juga asumsi lain yaitu, Dian dalam tokoh tersebut adalah putri asli keturunan Minang, su­kunya Minang, awalnya be­ragama Islam, tetapi ke­mudian dia dan keluarga besarnya memilih untuk tidak lagi bergama Islam, walaupun konsekwensinya tidak lagi dianggap sebagai orang Mi­nang (karena sudah dibuang sepanjang adat atau belum dibuang, karena penghulunya tidak berani atau takut dan semoga ini hanya asumsi penulis saja), maka apa yang akan kita perbuat? Secara hukum positif Dian dan ke­luar­ga­nya dijamin oleh ne­gara, karena agama adalah hak dan keyakinan masing-masing. Dibuang sepanjang adat tidak bermakna dia harus terusir dari tanah yang dibelinya (pusako randah). Maka jika ini betul-betul terjadi, maka sejatinya film ini adalah tamparan kepada para ninik mamak, cadiak pandai, alim ulama dan to­koh-tokoh Minangkabau ka­rena telah ditipu anak ke­menakannya sendiri.
Karena bisa jadi ninik mamak, cadiak pandai atau­pun alim  ulama hanya hebat beretorika di kerapatan adat, masjid dan tempat keramaian lainnya. Sementara anak kemenakannya dipedalaman pelosok kampung telah meng­gadaikan keyakinanya tidak diketahui. Semoga ini tidak terjadi. ***


MULYADI MUSLIM, LC. MA
(Pemerhati Sosial)

s

Tidak ada komentar:

Posting Komentar