Featured Video

Jumat, 15 Februari 2013

Khawatir Dijual Kakak, Takut Pulang Kampung

Nestapa Gadis Yatim Piatu Korban Pemerkosaan di Solsel


Sudah jatuh tertimpa tangga. Begi­tulah nasib Melati (nama samaran), korban pemerkosaan oleh tujuh remaja di Sungaiipuh, Nagari Pakan Rabaa Tangah, Koto Parik Gadang Diateh (KPGD), Solok Selatan. Masa depan gadis yatim piatu itu kian kabur. Hidup sebatang kara, tiada tempat mengadu dan berteduh.


Pagi masih berkabut. Di bangku kayu panjang kantin Polsek KPGD, Melati tampak tertunduk lesu. Pan­dangan­nya nanar. Raut wajahnya menyimpan kepedihan mendalam.

Melanti trauma atas kejadian ter­buruk sepanjang sejarah hidupnya. Mu­lut­nya disumpal sampai tak bisa ber­na­pas, tubuh dihempas, tangan dan kaki pe­gang kuat-kuat. Melati benar-benar tak ber­daya. Mahkota gadis yatim piatu itu direnggut tujuh pemu­da yang sedang di­rasuki setan. Para pemuda tanggung itu ber­gantian menggagahinya. Di tengah de­rasnya hujan di pekat malam, Melati men­­jerit kesakitan. Tapi, suaranya ter­ta­han oleh kain yang disumpal ke mu­lutnya.

Siang itu, Melati masih sulit diajak ngobrol karena shock. Dia hanya menggeleng, mengangguk, dan ter­tunduk. Satu setengah jam kemudian, Melati perlahan membuka diri.

Melati adalah bungsu dari 15 bersaudara. Keluarganya tinggal di Jalan Bangkok, Pang­kalankerinci, Riau. Semua sau­daranya laki-laki. Dia satu-satunya anak perempuan dari pasangan almarhum Aladin dan almarhumah Mida.

Ibunya meninggal dunia saat Melati masih kelas III SD. Sedangkan ayahnya meninggal dunia saat Melati masih kelas II SMP.
Sepeninggal sang ayah, Me­lati diasuh abang-abang­nya. Biaya sekolah hingga tamat SMA dan biaya untuk ma­kan di­tanggung abangnya yang nomor 13 dan abang nomor 5. Dua abangnya ini anggota Polri.

Suatu hari, karena cekcok sesama saudara, dua abangnya yang polisi ini pergi dari rumah dan tak pernah lagi pulang, tak tahu di mana keberadaannya.

Melati kemudian diasuh oleh abang nomor 2. Gadis ke­lahiran 15 Juni 1993 itu men­ceritakan, selama tinggal ber­sama abang nomor 2, ia sering dihantui rasa takut dan cemas karena abang­nya suka main judi, dan sering meminta Mela­ti melakukan hal yang tidak baik. Melati tidak pernah mau mengikuti apa yang disu­ruh abangnya. Puncaknya, ijazah SMA Melati dibakar oleh aban­g­nya. Kakaknya itu juga me­ngancam akan menjual Me­lati.

Melati tahu betul perangai abangnya. Orangnya nekat. Akhirnya, Melati merantau ke Batam menjadi pembantu ru­mah tangga. Di sana, ia ber­temu dengan Eva, warga Su­ngaiipuh Solsel. Setelah 9 bulan bekerja di Batam, Melati kemudian ikut Eva mencari ker­ja ke Solok Selatan.  Tepat­nya, tiga hari setelah Lebaran Idul Fitri tahun lalu Melati tiba di Solsel. Melati lalu dibawa oleh Eva bekerja di kebun sa­wit, sekitar 70 km dari KPGD “Saya takut di sana (kebun sawit) banyak laki-laki. Se­dangkan Eva, dia tetap bekerja di sana bersama suaminya,” kata Melati sambil menunduk.

Karena khawatir dengan keselamatannya di kebun sa­wit, Melati kemudian mencari pe­kerjaan di tempat lain. Sela­ma empat bulan, ia menjadi pem­bantu di Lubukmalako, Ke­camatan Sangirjujuan, Sol­sel. Karena tak betah, ia pun pulang ke rumah Eva di Su­ngaiipuh.

Kurang lebih sebulan di rumah Eva, Melati mengaku diusir dengan alasan karena tak mau kembali bekerja di kebun sawit. Untunglah ke­luar­ga Yasir berkenan menam­pung Melati. Dua hari mengi­nap di tempat Yasir, sehari-hari Melati membantu ibunya Yasir berjualan. Hingga malam ketiga (12/2), terjadilah pe­ristiwa memilukan itu.

Masih terngiang oleh Mela­ti kata-kata H saat menjem­putnya ke rumah Yasir sekitar pukul 23.00 WIB. Kata H, jangan di sini, nanti marah orang sekampung. Melati tidak boleh menginap di rumah Yasir, karena orang sekam­pung akan melempari rumah Yasir dengan batu dan akan membakarnya. H mengajak agar Melati menginap saja di rumahnya saja. Entah apa penyebabnya sampai H mena­kut-nakutinya seperti itu. “Ibu­nya Yasir itu orangnya baik sa­ma saya. Saya takut juga men­dengar rumahnya mau dibakar gara-gara saya,” kenang Melati dengan suara tercekat, karena perut bawahnya sakit.

Yasir juga sempat mela­rang H membawa Melati. Na­mun, H tetap ngotot membawa Melati. Di tengah malam buta, Melati di bawa menuju sebuah rumah kosong. Di sana telah ada enam orang pemuda yang telah me­nunggu. Terjadilah peristiwa biadab, tak berperike­ma­nusia­an, yang tak bisa terlupakan seumur hidupnya.

Mirisnya lagi, selain me­ram­pas keperawanan, tujuh pemuda itu juga merampas HP dan uang Rp 50 ribu. “HP saya juga diambil sama mere­ka, dan saya tidak bisa meng­hubungi keluarga di Riau ka­rena tidak hafal nomornya,” katanya. Me­la­ti mengaku tak lagi punya uang sepeser pun. Pascake­jadian tragis yang me­nimpa­nya, Melati tak tahu harus ke mana. Tak ada ayah atau ibu tempatnya mengadu. Tak ada saudara yang akan menjem­putnya. Hanya seba­tang kara. 

Tiga dari tujuh tersangka pemerkosaan telah diamankan di Mapolsek KPGD. Sedang­kan empat lainnya saat ini masih diburu. Kapolsek KPGD AKP Adang Saputra menga­takan, empat pelaku lagi masih terus diburu. Termasuk H yang diduga sebagai otak pe­ristiwa pahit tersebut. Kini, Melati terpaksa diinapkan di Mapolsek KPGD. Karena tak ada satu pun sanak familinya yang ada di Solsel. (***)


s



Tidak ada komentar:

Posting Komentar