Featured Video

Rabu, 08 Januari 2014

UU DESA TIDAK GANGGU FUNGSI NAGARI-DISKUSI PANSUS UU DESA DENGAN LKAAM

 Panitia Khusus (Pansus) UU Desa turun gunung. Mereka berdiskusi dengan Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumbar dan berbagai pihak lainnya, Selasa (7/1) kemarin di sebuah hotel di Padang. Lembaga adat ini sebelum­nya menyatakan menolak UU Desa. Alasannya, UU itu tidak menghor­mati kearifan lokal dan kebera­gaman.

Ketua IV Bidang Hukum LKAAM Sumbar, Bachtiar Abna, me­nga­wali diskusi dengan menga­ta­kan, konsep desa tidak cocok di­ap­likasikan di Sumbar karena konsep ter­sebut adalah konsep feodal dan ti­dak demokratis, baik dalam segi biro­krasi pemerintahannya, maupun da­lam pemilihan kepala desa. Se­dangkan Sumatera Barat sejak ber­abad-abad yang lalu hidup berdemokrasi.
“Masing-masing daerah memiliki sistem pemerintahannya sendiri, seperti Kampong di Aceh, nagari di Sumatera Barat, dan seba­gainya. Konsep desa hanya cocok diterapkan di Jawa, Madura dan Bali. Selain itu, istilah desa tidak cocok digunakan karena istilah desa mengacu kepada daerah yang tidak maju atau tertinggal dari kota. Sedangkan istilah nagari tidak memandang seperti itu,” ungkapnya.
Budiman Sudjatmiko, Ketua Pansus UU Desa menjelaskan, UU Desa sama sekali tidak mengganggu eksistensi nagari di Sumatera Barat atau pemerin­tahan adat di daerah lain, karena ada tiga pilihan yang bisa dipilih oleh sebuah daerah untuk mengatur sistem pemerin­tahan­nya, yang disesuaikan dengan kebutuhan daerah atau desa masing-masing.
“Pilihan model pertama adalah implementasi penuh dari Abas rekognisi, yakni pengakuan dan penghormatan terhadap hak asal usul desa yang bersangkutan. Artinya, desa mempunyai ke­wena­ngan yang bersumber dari asal usul yang menyangkut sistem sosial dan budaya, politik dan hukum melalui institusi demokrasi komunitarian.
Pilihan kedua, adalah model desa Administratif, yakni unit birokrasi sebagai kepanjangan tangan negara di tingkat lokal. Pada model ini, desa menjalankan tugas-tugas administratif dan pelayanan ditugaskan pemerintah. Artinya, desa tidak memiliki institusi demokrasi dan tidak ada otonomi. Sedangkan pilihan ketiga adalah model desa otonom, yakni unit pemerintahan lokal otonom yang berada dalam subsistem pemerintahan NKRI. Dalam model ini, pemerintah mem­berikan penyerahan urusan-urusan menjadi kewenangan desa. Pemerintah wajib mengalokasikan anggaran untuk membiayai kewenangan. Sampai tahapan tertentu, perangkat desa pun bisa menjadi PNS.
Ia melanjutkan, desa tidaklah sekadar pemerintahan desa. Kebijakan dan regulasi tentang desa ke depan harus lebih dari sekadar pemerintahan desa itu. kebijakan dimaksud haruslah mengarah pada realisasi penga­kuan atau hak asal usul yang melihat desa sebagai persekutuan sosial budaya, yakni, desa sebagai persekutuan hukum, politik, dan pemerintahan dan desa sebagai persekutuan ekonomi, sebagai ekspresi dari penguasaan desa atas sumber-sumber kehidupan yang menjadi ulayatnya.
Untuk Sumatera Barat, lanjut Budiman, jumlah desa berda­sarkan jumlah nagari, yakni 754. Oleh karena itu, alokasi anggaran untuk Sumatera Barat lebih besar dari daerah lain. Untuk tiap nagari di Sumbar, anggaran secara garis besarnya sebanyak Rp 1,8 miliar setahun, bila dibanding dengan Aceh yang hanya Rp 1,1 miliar dan Beng­kulu yang hanya Rp 1 miliar setahun. Namun jumlah ini belum pasti, karena sedang dibikin Peraturan Pemerintahnya, yang selesai paling lambat pada tahun 2015. Saat ini, ada tiga PP yang sedang dibentuk, yakni PP masa jabatan kepala desa, PP teknik alokasi anggaran, dan Perpu desa adat.
Sementara itu, Yando Zaka­rian, salah satu anggota Pansus UU Desa mengatakan, demi untuk memenuhi hak-hak konsti­tusional desa atau yang disebut dengan nama lain, melalui undang-undang ini, dimung­kinkan berbagai perubahan. Yakni, desa dapat menjadi desa adat, kelurahan dapat menjadi desa, kelurahan dapat menjadi desa adat, desa dapat menjadi kelurahan, dan desa adat dapat menjadi kelurahan.
“Yang penting, desa atau desa adat dapat berubah status, digabung, dimekarkan atau dihapus berdasarkan prakarsa masyarakat dan ditetapkan dalam Peraturan Daerah (provinsi atau kabupaten/kota), yang disertai peta wilayah,” tuturnya.
Ketua LKAAM Sumbar M Sayuti Dt Rajo Pangulu yang tidak hadir saat itu, ketika dihubungi Haluan mengatakan, ia tetap menolak UU Desa karena Desa bukan istilah Minangkabau. Ia ingin istilah desa diganti menjadi Pemerintahan Terendah dan Pemerintahan Terdepan. Tidak hanya itu, UU Desa akan berdampak pada banyak hal, salah satunya adalah, tidak adanya kedudukan niniak ma­mak di nagari karena nagari dipimpin kepala desa.
s

Tidak ada komentar:

Posting Komentar