Featured Video

Selasa, 05 Juli 2011

DARI LORI BELANDA KE TITIAN BUAI


Malang benar nasib warga Koto Kabun, Nagari Pelangai, Kecamatan Ranah Pesisir, Pesisir Selatan. Sejak zaman Belanda hingga kini belum mendapat sarana penyeberangan yang baik. Sarana yang ada saat ini berupa jembatan lapuk dan sangat membahayakan peng­guna. Menurut keterangan waga setempat, dulu untuk melintasi Batang Pelangai, warga setempat menggunakan lori seukuran dua kali empat meter. Lori yang dibuat sejak jaman Belanda itu meluncur di atas dua utas kawat dan bisa menampung empat hingga lima penumpang. Ditarik oleh operator di salah satu ujungnya. Lori itu akhirnya sering macet dan kadang mengancam penggunanya hinga tidak digunakan lagi.

Karena berbahaya menggunakan lori seperti itu, maka tahun 1980-an masyarakat setempat oleh peme­rin­tah dihadiahi sarana penyeberangan yang oleh warga setempat disebut titian buai. Jarak titian buai dengan lori tidak terlalu jauh, sekitar seratus meter. Lori tua itu kini istirahat dan saban waktu bisa dilihat menggantung memotong sungai.
Dinamakan titian buai, karena sarana penyeberangan ini hanya bisa untuk meniti dengan dua bilah papan memanjang saja, goyangan jemba­tannya bukan ke atas dan ke bawah, tetapi berayun ke samping atau berbuai.
“Itu makanya diberi nama titian buai. Melewatinya tidak boleh banyak, cukup dua atau tiga orang saja, jika tidak buaiannya akan terasa kuat dan membahayakan,” kata Titi (40), warga Koto Kabun saat menye­berang kepada Haluan.
Meski telah diganti dengan titian buai menurut Titi, kekhawatiran kami juga tidak hilang, karena jembatan buai tidak memiliki sistem pengamanan yang baik. Tidak ada dinding kecuali kawat kawat ukuran kecil tegak.
Buaian titian ini terasa sangat kuat bila pengguna berada ditengah. Peng­guna selain harus ekstra hati hati, harus memiliki keseimbangan badan yang bagus dan harus pandai pula memilih pijakan pada lantai yang teleng.
“Maka pengguna jembatan harus ekstra hati hati. Satu satunya tempat berpegang adalah kawat di samping kiri dan kanan, namun tidak bisa dipegang keduanya, jaraknya tidak cukup untuk dijangkau tangan,” kata Titi yang hampir setiap hari menggu­nakan jembatan dengan panjang sekitar 70 meter tersebut.
Disebutkannya, jembatan ini biasanya digunakan oleh warga Kampung Koto Kabun ke Kampung Pelangai Gadang. Dengan kondisinya yang seperti itu warga terpaksa menggunakan satusatunya sarana penyeberangan. Kondisi jembatan bila dititi sangat berayun dan berpotensi mengancam jiwa peng­gunanya. “Mau apalagi, kami harus tetap mempergunakan jembatan gantung berusia puluhan tahun tersebut,” kata Titi.
Setiap hari tidak kurang dar 200 orang pengguna jembatan. Sementara jumlah KK yang berada di ujung titian tersebut sekitar 75 KK. Bebagai keperluan masyarakat diangkut melalui jembatan ini, mulai dari hasil panen hingga untuk keperluan sekolah anak anak.
Sementara Kepala Dinas PU Pessel, Ir Ichsanusataruddin menga­takan, tahun ini belum ada anggaran untuk pembuatan jembatan perma­nen di Koto Kabun.
(laporan harid­man kambang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar