Featured Video

Senin, 11 Juli 2011

GELAR SEBAGAI IDENTITAS SUKU DAN KEMINANGKABAUAN


Menanggapi tulisan Al­wi Karmena, di kolom ref­leksi Harian Haluan Rabu (6/7) saya mempunyai beberapa catatan. Pert­a­ma,  ia menyatakan pan­dangan yang sangat per­sonal, tetapi me­nga­tasn­a­makan pandangan orang banyak dengan me­nya­takan: bagi awak apolah gala.  Gelar bagi Alwi pribadi mungkin memang boleh ada atau tidak. Bergelar atau tidak bergelar tidak ada dampaknya pada seseorang, karena lingkup sosial yang dimasuki dan tataran pembicaraan pada ruang yang berbeda, ruang sosial yang lebih cair seperti di terminal bis atau lapau kopi misalnya—tentu saja penghormatan akan lebih diberikan pada mereka yang berkantong tebal—dan itu terpisah dari lingkungan adat.

Naifnya lagi ia mengambil contoh pada satu petikan dialog dalam naskah drama Inggris karya Shakespeare untuk menyatakan betapa tak bermaknanya sebuah nama: “Apalah artinya sebuah nama”.  Untuk ini pun Alwi mengatasnamakan pula sebagai pandangan semua orang Inggris. Sementara, pada kenyataannya untuk dapat diketahui, kerajaan Inggris pun juga punya tradisi gelar yang tidak pula dipakai serampangan. Lima gelar utama benar-benar disandang oleh orang-orang pilihan, kemudian tradisi penganugerahan gelar pada orang yang dinilai berjasa seperti salah satunya dengan sebutan Sir, sudah tentu dilakukan dengan sangat selektif dan tidak serampangan seperti kasus yang terjadi di Kota Padang. (Saya belum pernah mendengar bahwa Kerajaan Inggris pernah memberi gelar kehormatan kepada seorang muslim.
Kedua, antara nama dan gelar bagi orang Minagkabau juga berbeda seperti yang dituangkan dalam adagium ketek banamo, gadang bagala. Nama kecil pemberian kedua orangtua dan gelar adat diberikan oleh mamak, Kutiko ketek disabuik namo alah gadang dimbaukan gala.
Kondisi ini menyiratkan tanggung jawab dan kewajiban, bahwa saat dewasa orang Minangkabau sudah harus menjalankan aturan adat karena sudah memiliki posisi dalam adat dengan pemberian gelar tesebut. Bagi yang sudah bergelar tapi tidak menjalankan adat, maka sudah layak dia disebut tidak beradat.
Ada lima tingkatan gelar menurut adat Minangkabau berdasarkan tali darah (sangsako), tali aka ( Sangsako yang diwariskan secara balega dalam dua suku yang sama jika salah satunya punah), batali aie ( gelar sako dari ayah ). Batali ameh dan batali budi.
Khusus untuk dua yang terakhir bisa diberikan pada orang di luar suku asal memenuhi syarat yang ditetapkan adat Minangkabau: adaik diisi, limbago dituang yang berarti orang yang dianugerahi gelar masuk ke dalam suku, dan beradaptasi dengan tata aturan yang tentu saja tak lepas dari religiositas dan adab yang dianut dalam masyarakat suku Minangkabau itu.
Gelar yang disandang bagi orang Minangkabau merupakan identitas kesukuan. Orang yang tidak bergelar di Minangkabau berarti dia tidak mempunyai suku. Seperti yang dituturkan dalam tulisan Alwi Karmena gelar adat di Minangkabau merupakan hal yang nisbi. Kalau kita lihat dari konteks materi itu benar adanya, gelar tidak akan membuat orang jadi kaya dan banyak duit, tapi akan jadi mulia jika dia sudah bergelar dan menjalankan aturan adat serta memelihara harga dirinya.  Dalam tulisan tersebut sudah nyata bahwa perubahan akhlak dan moralitas orang Minangkabau seakan saat ini suka menggampangkan persoalan, pragmatis, mudah dibeli dengan uang dan kekuasaan.
Ketiga, masalah gelar adat bukan merupakan adat salingka nagari, tapi mengacu pada tata aturan yang berlaku di seluruh alam Minangkabau.  Jadi pembenaran pernyataan salah satu tokoh dalam Pangulu nan Salapan Suku sebagaimana yang dikutip Alwi Karmena, mengindikasikan tidak adanya pemahaman tentang adat Minangkabau. Sebagai pribadi dan di lingkungan yang tidak begitu mempertimbangkan tingkah pola. Silakan saja mampaolok-olokkan gelar, akan tetapi dalam adat alam Minangkabau tentu ini tidak bisa dibenarkan. Mengolok marwah dan identitas bukanlah sikap orang yang tahu adat, akan melukai hati etnis pemangku budaya Minangkabau.
Dalam kepercayaan masyarakat Minangkabau, khususnya di wilayah rantau (Padang) ada kebiasaan dalam pidato adat saat pemberian gelar adat muncul ungkapan bahwa ketika anak kemenakan laki-lakinya menikah, sang kemenakan dianugrahi gelar adat, jika yang bersangkutan tidak menyahut saat diimbaukan gelarnya, maka akan tumbuh satu borok di badannya, dalam satu hari dan yang hanya bisa sembuh satu borok dalam setahun.  Kenyataannya juga begitu ada yang mengabaikan dan borok secara fisik memang tidak tumbuh. Tapi jika kita memaknai borok sebagai moral, harga diri, dan cacatnya identitas tentu akibatnya akan jadi lain. Kecacatan identitas tersebutlah yang menjadi persoalan yang dicemaskan oleh almarhum Wisran Hadi dan orang Minangkabau lainnya.
Tulisan Alwi Karmena yang ia duga akan terjadi kalebuik pula, saya pikir tidak akan terjadi. Sebab apa yang dipaparkannya, saya tangkap sebagai cara pandang yang sangat awam dalam memahami budaya dan tradisi yang dianut masyarakat adat Minangkabau. Dan tanggapan ini bagi saya hanya sekadar menjelaskan tentang adanya perbedaan posisi tempat kita masing-masing tegak berdiri.

SYUHENDRI DT SIRI MARAJO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar