Featured Video

Minggu, 10 Juli 2011

KELUARGA MINANG MENCARI NILAI KEMINANGAN


KRISIS JATIDIRI
Dari semua institusi yang ada, mungkin keluarga adalah yang paling terbaik, karena keluarga menjadi sumber nilai-nilai moral dan fokus perasaan manusia yang unik sehingga Ferdinand Mount menyebutnya institusi subversive yang me­miliki peran sebagai pendidik, penyedia kebutuhan, dan peng­asuh anak-anak yang tidak tertandingi. Keluarga berdiri antara manusia dan visi mimpi-buruk Brave New World atau bahkan republik plato di mana anak-anak diasuh oleh negara. Keluarga sebagai penerus nilai-nilai dari generasi ke generasi, keluarga adalah guru moral yang paling kuat dari pro­paganda pervasive suatu negara totaliter. Keluarga menjadi wadah bagi generasi masa depan menentukan benar dan salah.

Keluarga di Minangkabau merupakan ikatan yang terjalin antara seorang laki-laki dan perempuan yang terikat dalam sebuah pernikahan (syah me­nurut Islam, adat , dan hukum).
Menurut pola ideal, setelah menikah seorang laki-laki di Minangkabau akan menetap di lingkungan keluarga istri yang disebut dengan pola “mat­rilokal”. Dalam pola aktual sekarang ini tidak semua keluarga di Minangkabau bertempat tinggal di lingkungan keluarga istri, tetapi banyak pula yang bertempat tinggal di lingkungan keluarga suami yang disebut “patrilokal”, atau di tempat baru yang bukan lingkungan keluarga istri maupun keluarga suami yang disebut “neolokal”.
Sebaliknya, seorang suami selama berada dalam lingku­ngan rumah gadang, di sam­ping sebagai tamu/urang su­man­do (abu di ateh tungku) dia juga harus menyesuaikan diri dengan norma-norma yang berlaku.
Suasana hubungan dalam rumah gadang inilah yang sesungguhnya menyebabkan seorang suami tidak betah di rumah. Oleh karena itu, pada pagi hari ia pergi dan baru pulang pada malam hari ke rumah istrinya. Di samping itu tidak jelasnya pekerjaan dan tanggung jawab yang akan dipikulnya sepanjang adat atau tradisi yang berlaku. Akibatnya merembet lebih dalam kepada hubungan suami istri dari setiap anak dan menantu yang seha­rusnya tidak terjadi. Seringkali hal yang demikian berakhir dengan perceraian.
Dalam perkembangannya hubungan suami istri dalam keluarga batih berbeda dengan keluarga luas. Keluarga batih terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak yang belum kawin. Pada umumnya keluarga batih ini sudah menempati rumah sen­diri yang letaknya tidak begitu jauh dari rumah gadang. Kepin­dahan mereka dari rumah gadang biasanya disebabkan oleh karena rumah gadang sudah sempit atau karena ingin hidup mandiri lepas dari mertua. Penyebab lainnya bisa juga karena perbedaan pendapat yang berkisar di sekitar pem­bagian pemakaian harta pusaka ataupun perlakuan mertua terhadap menantu dan anak-anaknya.
Sebuah keluarga batih yang menempati rumah sendiri, mereka tidak dapat berbuat semaunya seperti keluarga batih yang tinggal di luar komunitas asal. Hal ini disebabkan karena keluarga batih ini masih terikat dengan norma-norma kaum yang berlaku di bawah peng­awasan mamak kepala waris, karena rumah mereka biasanya terletak di atas tanah suku atau kaum pihak perempuan. Mes­kipun demikian, pola hubungan suami istri di rumah tersebut sudah jauh berbeda dengan pola hubungan yang berlaku di rumah gadang. Di sini sudah terdapat kelonggaran disiplin yang dapat membawa hu­bungan suami istri ke arah yang lebih baik dalam demokratis, secara bertahap juga sudah terjadi pergeseran-pergeseran tanggung jawab. Seorang suami yang sebelumnya tidak tahu menahu dengan kebutuhan keluarganya, sekarang sudah harus mengusahakan dan mencukupinya. Sejalan dengan itu, perhatian, tenaga, dan waktunya sudah banyak dicu­rahkan untuk memenuhi kebu­tuhan rumahtangganya, yang menyebabkan berkurangnya waktu dan perhatiannya ter­hadap rumah ibu dan kemena­kannya. Oleh karena itu, boleh dikatakan hampir seluruh waktunya dicurahkan untuk istri dan anak-anaknya.
Prinsip Dasar Keluarga di Minang
Sebagian besar keluarga Minangkabau  masih memakai prinsip “banyak anak banyak rezeki”, sehingga akibatnya tidak ada pengaturan dan pembatasan yang dilakukan, setiap anak yang lahir adalah rahmat dan anugerah dari Tuhan. Prinsip seperti ini ternyata masih berlaku bagi sebagian masyarakat Sumbar.
Namun beberapa tahun terakhir semua itu mulai agak berkurang dengan sedikit ada perubahan dalam pola pikir masyarakat Minang dalam menanggapi hal tersebut, hal ini dilatarbelakangi oleh per­kem­bangan dunia pendidikan, perkembangan teknologi de­wasa ini yang semakin maju. Keturunan kadangkala dise­suaikan dengan tingkat pere­konomian dalam keluarga dengan harapan dapat mencip­takan keluarga yang sejahtera.
Dalam beberapa kasus yang terjadi belakangan ini, seakan-akan mencitrakan bahwa orang Minang tidak lagi memegang teguh nilai-nilai keminangannya dan orang selalu bertanya, dimana letak raso jo pareso urang Minang kini?
Dalam proses pencarian jati diri, kadangkala orang Minang sendiri tidak menyadari bahwa semua yang dilakukannya telah menenggelamkan semua warisan nilai keminangannya sendiri. Tidak sedikit anak-anak Minang tidak lagi bisa baca Alquran dan mereka lebih senang berada ditempat hiburan daripada di surau atau masjid, anak gadis Minang lebih senang keluar malam dengan menge­nakan celana ala Hollywood dan Bollywood, seringkali terjadi perkelahian antara mamak dengankemenakan, dan tentu saja masih banyak lagi hal-hal yang membuat memudarnya nilai keminangan.
Untuk membatasi dan me­ngu­rangi gerak cepat pemu­daran nilai ini, kita tidak dapat menyalahkan bahwa ini adalah tantangan zaman era globalisasi atau ini sudah menjadi kodrad­nya anak-anak kita menjadi seperti ini, dan kita tidak juga bisa menyalahkan orang lain, tapi disini yang salah adalah kita sebagai pemegang teguh nilai-nilai itu, seharusnya kita mencoba mempertahankan dan melestarikan dan kita gunakan untuk menentang zaman. Se­mua yang baik dan mendukung dalam perkembangan globa­lisasi dapat kita manfaatkan selagi itu sesuai dengan nilai adat istiadat dan norma Islam yang berlaku.

ARI FEBRIANTO
(Aktivis HMI Cabang Padang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar