Featured Video

Sabtu, 02 Juli 2011

MANGGALEH LOKAN SAJAK AMEH TIGO RIBU


Kulitnya sudah keriput. Gi­gi­nya pun hanya tinggal hitu­ngan jari. Tapi se­ma­ngatnya masih tetap me­nyala menga­lahkan yang muda-muda. Di usia yang sudah lanjut, wanita berumur 80 tahun yang akrab di sapa Uwo Lokan ini masih bersemangat berjualan lokan di Pasar Raya Padang.
Sambil mengunyah sirih, ia tampak mahir membersihkan lokan-lokan yang telah dike­lupas­kan kulitnya itu. Bahkan ketika seorang pem­beli datang, ia dengan ramah melayani. Usa­ha ini telah ditekuninya sejak puluhan ta­hun yang lalu. Ketika ditanya kapan tepatnya, ia tak mampu mengingat tahun pastinya.

Sajak harago ameh tigo ribu sa ameh,” katanya sambil tersenyum.
Jawabannya itu menyiratkan lokan telah menjadi bagian dari hidupnya sejak dulu. Wanita asal Indropuro, Pesisir Selatan ini mulai berjualan sejak suaminya meninggal. Lokan inilah yang menghidupi ia dan keempat anak-anaknya. Sebelum­nya, ia hanya mengandalkan pengha­silan dari suaminya yang bertani. Namun demi kelangsungan hidup, ia terpaksa berpikir keras bagaimana cara menghasilkan uang dan lokan ternyata menjadi pilihan Uwo.
Kini, usahanya berjualan lokan diteruskan oleh cucu-cucunya. Di Pasar Raya itu, Uwo ditemani tiga orang cucunya berjualan. Salah seorang cucunya, Alex (25) terlihat sibuk membersihkan kulit lokan. Setelah dibersihkan, lokan-lokan itu direbusnya. Kemudian baru dijual.
“Tidak ada yang mau bekerja membersihkan kulit lokan. Apalagi merebusnya. Pekerjaan itu berat dan gajinya kecil. Dulu ada, tapi bebe­rapa hari sudah berhenti. Katanya tangannya sakit kena kompor saat merebus,” ujar Alex, Jumat (1/7).
Dilarang Cucu
Alex mengatakan, neneknya itu telah dilarangnya untuk ikut berjualan di pasar, tapi ia tak suka tinggal di rumah. Uwo lebih suka member­sihkan lokan. Kalau di rumah ia tak melakukan apa-apa, paling hanya nonton dan tidur saja.
Hal itu dibenarkan Uwo. Ia mengaku lebih senang di pasar membantu cucu-cucunya berjualan. “Kalau di rumah Uwo bosan. Indak ado nan ka dikarajoan,” ujarnya sambil terus mengunyah sirih.
Akhirnya Uwo dibiarkan saja oleh cucunya ke pasar. Namun ia datang pukul 08.00. Sedangkan cucunya memulai beraktivitas sejak pukul 05.00. “Uwo nanti pulang jam setengah enam untuk sekadar mene­mani kami karena kami hanya berjualan sampai pukul dua siang,” jelasnya.
Dikatakan Alex, lokan-lokan itu diperolehnya dari daerah Pasaman. Usai diterima, lokan itu tak langsung dijualnya. Mula-mula kulitnya dikelupaskan, lalu dibersihkan dengan air. Kemudian direbus sebentar. Lokan yang direbus bisa sampai 25 karung per hari. Sedangkan yang laku sebanyak 20 karung. Sisanya dijual lagi keesokan harinya.
Terlihat kulit-kulit lokan itu dikumpulkan hingga berkarung-karung. Ketika ditanyakan mau diapakan, ternyata hanya dibuang saja.
“Dulu ada juga yang mau beli. Tapi sekarang sudah tidak ada lagi. Ya, terpaksa dibuang,” katanya lagi.
Padahal jika dikemas dengan baik, kulit lokan ini bisa menjadi hiasan atau karya seni yang amat cantik.
Hasil berjualan lokan ini cukup lumayan. Penghasilannya cukup limayan untuk menghidupi keluar­ganya. Pembeli biasanya tukang sate di Pasar Raya dan di tempat-tempat lainnya di Kota Padang. Ibu rumah tangga juga banyak yang membeli lokan dagangannya meski dengan jumlah yang tak begitu besar. Harganya Rp35 ribu per kg.
Uwo dan cucu-cucunya ternyata akan segera pindah dari Pasar Inpres II, tempat ia kini berjualan. Hal itu di­ka­renakan renovasi yang dilakukan pe­merintah. Namun Uwo belum tahu mau pindah ke mana karena belum ada kejelasan. (laporan: Sonya Winanda)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar