Featured Video

Sabtu, 02 Juli 2011

MENYOAL PEMBERIAN GELAR ADAT MINANGKABAU


Urang lintau pai barotan, nan kapulang hari lah sanjo
Dahulu asa nan rang tanyoan, kini nan kayo nan paguno
Perubahan sikap dan men­talitas dalam menjalani kehi­dupan beradat dan berbudaya demikianlah kira-kira makna isi pantun yang diungkapkan di atas. Berbagai perubahan yang terjadi dalam masyarakat dipengaruhi oleh berbagai hal, terutama lingkungan, pen­didikan, pengetahuan dalan sebagainya. Demikian juga yang terjadi pada budaya Minang­kabau pada saat ini, hasilnya bisa mengarah pada sikap mentalitas yang baik atau buruk.

Tulisan almarhum Wisran Hadi, Haluan Selasa (28/6) di rubrik Refleksi berjudul Pang­hulu Padang Manjagokan Ula Lalok, sekaitan pemberian gelar adat yang dilakukan oleh para penghulu pengurus Kerapatan Adat Nagari (KAN) Nan Sala­pan Suku Nagari Padang kepa­da Ferryanto Gani dengan ge­lar Sutan Rangkayo Nan Mudo yang sebelumnya juga pernah diberikan kepada Wi Hook Cheng (Setia Budi) dengan gelar Datuk Rajo Putih yang keduanya di luar etnis Minang dan bukan beragama Islam.
Wisran Hadi mengatakan, pemberian gelar itu tak bisa diterima karena Minangkabau memiliki pedoman dan menjun­jung tinggi adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (ABS-SBK). ABS-SBK sebagai way of life masyarakat Minang­kabau yang terus diamalkan sampai sekarang adalah sebuah bakuan/patron/rujukan dari kehidupan sosial-budaya masya­rakat Minangkabau.
Menurut Wisran Hadi, dengan berpegang kepada ABS-SBK tersebut, berarti setiap orang Minangkabau adalah seorang Islam yang taat. Bila gelar adat Minangkabau tersebut dalam tingkat apa­pun diberikan kepada sese­orang di luar Islam, maka tidak dapat tidak, akan ada penghulu, sutan yang tidak beragama Islam.
Jika hal ini terus ber­lanjut, pemberian gelar d­e­ngan cara demikian sama dengan menghancurkan ABS-SBK itu sendiri secara nyata, terencana dan tentu saja akan berakibat pula kepada para anak-kemenakan orang Mi­nang itu sendiri nantinya. Artinya, Islam atau tidak, Minang atau tidak, basuku atau tidak bukan lagi ukuran yang harus dijadikan syarat utama dalam memilih pe­mimpin-pemimpin suku, datuk-datuk, sutan-sutan bagi masa depan Minangkabau.
Lalu pertanyaan pen­ting­nya, mengapa ini bisa terjadi?  Inilah salah satu dampak dari perubahan mentalitas masyarakat, yang tidak lagi mengedepankan nilai dan budi pekerti rela “menjual” harga diri dan sukunya demi kepentingan pragmatis.
Sikap pragmatis orang Minang pada saat ini sudah tak lagi dapat ditolerir. Agaknya semua kejadian ini merupakan akumulasi seja­rah dimana Minagkabau adalah negeri kalah dan selalu terjajah sehinga menghasilkan manusia-manuasia yang tidak lagi punya idealisme dan rasa kebangsaan. Yang ada Cuma kepentingan dan keuntungan.
Hakekat gelar adat bagi masyarakat Minangkabau merupakan simbol dan iden­titas kesukuan yang disan­dangkan pada orang yang jadi pimpinan dalam suku terse­but. Tak sembarangan orang dapat menyandang gelar adat maupun pusaka tersebut. Dalam prosesnya dilalui berbagai persyaratan, dikaji darimana asal usul, hubungan kekeluargaan, garis turunan dan sebagainya. Hanya pe­­mim­­pin dalam suku yang berhak diberi gelar pusaka tersebut.
Yang dikataan pemimpin dalam masyarakat Minag­kabau bisa kita lihat dari pimpinan tertinggi dalam satu kaum yang disebut dengan datuk, sampai pada pimpinan terendah dalam rumah tangga dikenal dengan gelar biasa yang dimiliki kaum tersebut dianugrahkan saat menjalani kehidupan berumah tangga.
Sistem penganugerahan gelar dalam masyarakat Mi­nangkabau dari niniak turun ke mamak dari mamak turun ke kemenakan merupakan hal yang sudah jamak dan sangat dipahami oleh semua kalangan. Orang Minang­kabau tidak akan mengambil gelar pusaka dari luar suku atau kaummnya, sebaliknya dia juga tidak akan pernah memberikan gelar pusaka yang dimiliki kaumnya pada orang diluar kaumnya dengan alasan apapun.
Sebabnya  karena gelar yang dimiliki satu kaum atau suku merupakan marwah suku yang tidak bisa dinilai dan dibeli dengan apapun. Gelar adat atau gelar pusaka tidak semata identitas bagi penyandangnya, tapi yang paling esensial di dalamnya terkandung harga diri, nilai kesukuan sekaligus norma agama yang dianut. Menyan­dang gelar pusaka artinya menyandang tanggung jawab secara kultural dari bangsanya.
Persoalan penganugrahan gelar adat bukan hal baru yang terjadi di Minangkabau. Sebelumnya lembaga-lembaga adat sangat getol menganugerahkan gelar pada tokoh-tokoh masyarakat yang berpengaruh dan kaya diluar etnis Minangkabau, tidak jelas entah gelar pusaka siapa yang diberikan dan apa kriterianya. Kalau kita pela­jari  semua motif dari berba­gai anugrah tersebut tidak lepas dari masalah uang dan kepentingan politik serta kekuasaan.
Sebenarnya kondisi ini juga pernah terjadi pada tahun 1957 dimana salah satu etnis yang ada di Kota Padang pada saat itu juga minta dianugrahi salah satu gelar adat dari suku tertentu, tapi ditolak oleh masyarakat adat yang diwakili oleh Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau (MTKAAM) yang sudah terbentuk pada saat itu. Begitu kerasnya penolakan sehingga keinginan mereka untuk diberi gekar pusaka jadi tidak terwujud.
Hal ini terulang lagi pada saat ini, kembali penga­nugrakahn gelar adat dan pusaka yang dianugerahkan secara tidak selektif dan sembarangan oleh pengurus KAN Nan Salapan Suku Naga­ri Padang. Gelar terse­but diserahkan pada orang luar yang tidak seakidah dengan orang Mi­nangkabau. Tidak jelas kri­teria yang dipakai dalam penganugrahan tersebut. ­Agaknya  perjanjian Bukit Marapalam tentang adat dan agama mulai coba dilang­gar oleh segelintir oknum yang mengaku orang beradat dan mengerti adat demi uang dan keuntungan sesaat.
Hal ini sesungguhnya tamparan keras bagi budaya Minang dan orang Minang­kabau sendiri. Kalau ini dibiarkan sebentar lagi akan bermunculan gelar datuk pusaka orang Minagkabau yang diselibkan dengan nama babtis penyandangnya, misal­nya  Felix Ahmad Datuak Marajo Nan Kuniang, atau  Fransiscus Amirudin Datuak  Rajo Nan Labiah dan seba­gainya. Agaknya barangkali inilah  yang dimaui KAN Nan Salapan Suku Nagari Padang. Dan kondisi ini semestinya sudah harus jadi peringatan bagi yang mem­beri maupun yang menerima gelar tersebut.
Dalam konteks keber­samaan, menghargai perbe­daan yang lazim disebut sebagai pluralisme atau kebe­ragaman bukan diwujudkan secara serampangan. Masya­rakat etnis Minangkabau selama ini tidak pernah punya masalah dengan perbedaan. Senyampang ingin juga mem­berikan penghargaan kepada orang berjasa di luar etnis Minang, tetapi bukan dengan cara memberinya gelar adat dan datuk. Sementara itu, semenjak dulu tak ada ma­salah dengan kehadiran etnis luar Minang untuk berkiprah di sini. Malah masyarakat Minang sangat me­nga­ko­modasinya.
Buktinya, keberadaan berbagai etnis tersebut ditan­dai dengan dibangunnya komunitas atau kampung oleh mereka seperti Kam­pung Nias, Kampung China, Kampung Keling, Kampung Jawa dan sebagainya. Sampai sekarang antar etnis tersebut berdampingan dengan baik rukun dan damai, tidak pernah terjadi gesekan.
Demikian masyarakat Minangkabau dalam meman­dang perbedaan. Tetapi apa bila harga diri dan marwah wangsa yang sudah terusik hal ini tentu tidak bisa dito­leransi lagi.  Pemberian gelar adat bukan hal yang biasa, tapi sesuatu yang berkaitan dengan kehormatan suku dan kaum bagi orang Minang­kabau, apalagi bagi yang menyandangnya juga tidak mampu bersikap sebagai­mana orang Minangkabau bersikap. Beragama sebagai­mana orang Minangkabau beragama.
Dalam hal ini peran lem­baga adat yang ada dikabu­paten dan kota serta peme­rintah daerah sangat diha­rapkan dalam mengontrol segala kegiatan yang bersifat adat dan budaya. Jika hal ini tidak dilakukan akan muncul masalah sensitif memicu berbagi konflik dan gesekan dalam masyarakat. Dan ini tentu kita tak ha­rapkan.

SYUHENDRI DATUAK SIRI MARAJO

Tidak ada komentar:

Posting Komentar