Featured Video

Jumat, 22 Juli 2011

MEMBENTUK KARAKTER MUSHALLI



Dirikanlah shalat; Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. (Qs. Al-Ankabut/29: 45)
Ayat di atas demikian jelas dan tegas bahwa shalat mence­gah seseorang dari perbuatan keji dan munkar. Namun, dalam realitas sosial umat Islam, masih saja ditemukan orang-orang yang shalat tetapi masih gemar bermaksiat. Ko­rupsi, manipulasi, menggunting dalam lipatan, menggunjing, dendam, hingga menindas antar sesama justru menjadi bagian dari hidup mereka.

Dalam al-Qur’an, perintah Allah adalah mendirikan shalat (iqam/aqim as-shalat), bukan melaksanakan. Kata Aqimi atau Iqama (mendirikan) mengan­dung makna al-istimrar (berke­sinambungan, kontiniu). Jika shalat dilakukan secara kontiniu dan sempurna maka shalat sebagai kontrol bagi diri agar terhindar dari perbuatan nahi munkar bagi seorang mushalli (orang yang mendirikan shalat).
Selain makna di atas, Allah juga mencela orang yang lalai dari shalatnya. Firman-Nya: Maka kecela­kaanlah (wail) bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya (Qs. Al-Ma’un/107: 4-5).
Kata wail di atas bisa diartikan dalam tiga hal. Per­tama, wail sebagai penyiksaan hari akhir yang membakar orang tertentu, yaitu di neraka. Bahkan ‘Atha’ bin Yasar menye­butnya sebagai salah satu lembah di neraka jahannam.
Kedua, wail sebagai pe­nyiksaan di hari awal, yaitu di dunia ini ketika manusia masih hidup. Penyiksaan adalah pembakaran jiwa dalam bentuk batin, kegelisahan terus-mene­rus, hingga tak tertahankan sakitnya dalam dunia psikologis karena ia melakukan pen­dustaan.
Ketiga, wail sebagai meta­fora untuk menunjukkan besar­nya sebuah celaan. Wail adalah kata untuk mewakli betapa perilaku tertentu betul-betul jelek, buruk, tercela, bejat dan bajingan.
Perlu dipahami bahwa yang celaka adalah orang yang lalai dari shalatnya (‘an shalatihim sahun); bukan fi shalatihim sahun (lalai dalam shalatnya). Jika dikatakan lalai dalam shalat (khusyu’), maka betapa banyaknya di antara kita yang celaka, sebab tidak semua orang mencapai tingkat ke-khusyukan yang sesungguhnya.
Tetapi, Allah mencela orang yang lalai dari shalatnya. Kata “dari shalatnya” menunjukkan bahwa mereka melaksanakan shalat gerakan demi gerakan tetapi tidak berpengaruh/berbekas dalam perilakunya. Hatinya kosong, tidak meng­hayati apa yang diucapkan dan apa makna yang terkandung dari gerakannya itu.
Ia memang ruku’, tetapi masih lebih taat kepada ata­sannya dari pada perintah Allah, ia bertakbir dan sujud tetapi hatinya masih menyimpan rasa sombong/takabur, ia mengu­capkan salam tetapi sifat dendam dan permusuhan tetap dipeliharanya.
Tegasnya, ia melaksanakan shalat, tetapi perilakunya menampilkan sikap seperti orang yang tidak pernah shalat, malah lebih parah darinya.
Padahal shalat mengajarkan perilaku positif dalam setiap aktivitasnya.
Sebelum melak­sanakan shalat, misalnya, kita mesti suci dari Hadas dan Najis pada diri, tempat dan pakaian. Hal ini mengajarkan agar hidup setiap muslim senantiasa bersih dan suci. Bersih berarti terhindar dari kotoran dan najis. Se­dangkan suci berarti terpe­liharanya diri dari dosa dan maksiat.
Wudhu’ memiliki makna terapi baik jasmani maupun rohani. Secara jasmani, wudhu’ menjadi: hydro therapy, yaitu terapi dengan air; terutama menyembuhkan penyakit inso­mnia, stres, naik darah (mudah marah), dll.
Wudhu’ juga menjadi mas­sage-therapy: terapi dengan pijatan-pijatan refleksi pada bagian-bagian tertentu di muka, tangan dan kaki.
Secara rohani, wudhu’ dapat mengikis dan menghapus dosa akibat perilaku maksiat. Ru­kun-rukun wudhu’ dapat menghilangkan dosa-dosa yang dilakukan oleh mata, mulut, hidung, telinga, tangan dan kaki.  Wudhu’ juga mengajarkan agar manusia konsisten memelihara anggota tubuhnya agar terhindar dari perbuatan maksiat.
Menghadap kiblat; menga­jarkan muslim agar menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan. Memiliki visi yang jelas ber­pusat kepada Allah SWT, apapun aktivitas yang ia laku­kan.
Begitu pula dengan menutup aurat. Seorang yang shalat mesti menutup auratnya. Aurat arti­nya kekurangan (al-naqsh), aib atau cacat. Menutup aurat berarti menutup aib dari lahir, jika aib terbuka maka kehor­matannya hilang atau paling tidak mengundang nafsu orang lain yang dapat mengecam kehormatan.
Jika seseorang membuka auratnya, maka akan mudah terjerumus pada perbuatan maksiat, zina, mengundang fitnah. Bahkan Rasulullah SAW sangat mengecam orang yang membuka auratnya.
Ia bersabda: Dua kelompok dari penghuni neraka yang merupakan umatku belum saya lihat keduanya. (pertama) wanita-wanita yang berbusana (tetapi) telanjang serta ber­lenggok-lenggok dan melang­gak-lenggokkan (orang lain); di atas kepala mereka (sesuatu) seperti punuk-punuk unta. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak juga menghirup aromanya. Dan (kedua) laki-laki yang memiliki cemeti-cemeti seperti ekor sapi. Dengannya mereka menyiksa hamba-hamba Allah (HR. Muslim melalui Abu Hu­rairah).
Jika shalat mesti menutup aurat, maka sesudah shalat sejatinya seorang mushalli juga menutup auratnya, terutama ketika berhadapan dengan orang yang bukan mahram-nya.
Shalat tepat pada waktunya, mengajarkan pembentukan karakter disiplin, beraktivitas sesuai jam yang ditentukan, tidak terlambat, dan tidak mengurangi jam kerja.
Demikiann pula aktivitas pada rukun shalat juga men­didik seorang mushalli untuk membentuk karakter yang positif. Niat mengajarkan setiap pekerjaan dilandasi dengan lillahi ta’ala. Huruf lam per­tama pada kata lillahi me­ngandung tiga makna; makna sebab: karena Allah Ta’ala; makna tujuan: untuk Allah Ta’ala; dan makna ke­pemilikan: Semuanya hanya Milik Allah Ta’ala. Maka segala aktifitas yang kita lakukan pada tiap-tiap profesi hen­daklah dilakukan karena dan untuk Allah Ta’ala sebab semuanya adalah milik-Nya semata.
Berdiri tegak, mengajarkan agar manusia istiqamah (teguh pendirian), tidak plin-plan. Berdiri di atas kaki sendiri, mandiri, tidak tergantung pada orang lain.
Takbiratul Ihram mem­ben­tuk karakter seseorang agar tidak sombong/angkuh/takabur. Bahkan dalam sehari semalam, shalat lima waktu, terdiri dari 17 rakaat, tidak kurang dari 89 kali mengucapkan takbir, Allah Akbar, Allah Maha Besar.
Hal ini menunjukkan bah­wa manusia memang ber­potensi untuk menyombongkan dirinya. Dengan banyaknya takbir yang diucapkan diharap­kan mampu meredam rasa sombong tersebut.
Apalagi Rasulullah SAW pernah bersabda: Tidak akan masuk sorga seseorang yang masih terdapat rasa sombong dalam hatinya walau pun sebesar dzarrah. Ketika ditanya sahabat, siapa mereka? Jawab Rasul: Mereka adalah orang yang menolak kebenaran dan merendahkan orang lain.
Sifat sombong ini pula yang menjadi dosa pertama yang dialami oleh Iblis. Maka de­ngan takbir dalam shalat sesungguhnya akan terbentuk karakter yang rendah hati.
Membaca al-Fatihah me­ngajarkan agar seorang muslim senantiasa dekat dengan Allah; berkomunikasi (al-ittishal) dan berinteraksi (al-tafa’ul) secara ilahiah. Jika hamba bertanya, Allah akan menjawab; jika hamba meminta, Allah akan memberi; jika hamba berdosa, Allah mengampuni.
Thuma’ninah, mengajarkan agar setiap muslim tenang, tidak tergesa-gesa dalam setiap aktivitas kehidupan. Thu­ma’ninah juga mengajarkan agar manusia perlu bersantai, tidak tegang dalam melakukan kegia­tan yang dapat menimbulkan berbagai penyakit.
Ruku’ merupakan simbol ketaatan dan kepatuhan kepada Allah. Orang yang melak­sanakan shalat, mesti tunduk dan patuh terhadap segala perintah Allah, seperti zakat, puasa, haji, shadaqah, dsb. Rasul bersabda: Amal yang pertama kali akan dihisab untuk seseorang hamba nanti pada hari kiamat adalah shalat. Maka apabila shalatnya baik maka baiklah seluruh amalan­nya yang lain, dan jika shalatnya itu rusak, maka rusaklah segala amalannya yang lain (HR. Thabrani).
Hadis ini mengisyaratkan bahwa orang yang benar sha­latnya adalah orang yang taat kepada seluruh perintah Allah. Jika ada orang yang shalat tetapi melanggar aturan Allah, hal ini menunjukkan bahwa shalatnya belum sempurna.
I’tidal membentuk karakter khalifah Allah di muka bumi. Meskipun manusia diberi amanah, tetapi semuanya milik Allah semata.
Maka seorang mushalli mesti bertanggung jawab me­nge­lola alam ini sesuai dengan kapasitas dan perannya masing-masing. I’tidal juga mendidik manusia agar bersikap lurus, tegas, berwibawa dan adil dalam menjalankan perannya sebagai khalifatullah di muka bumi.
Sujud, mengajarkan keta­wadhu’an. Akal mesti tunduk kepada aturan Allah, meskipun ia diakui oleh banyak orang pintar dan segudang prestasi. Akan tetapi semuanya harus tunduk pada-Nya.
Duduk antara sujud mem­bentuk karakter hidup mesti berusaha dan berdoa. Ber­mohonlah kepada Allah agar senantiasa memperoleh kebu­tuhan asasi manusia: keampunan, kasih sayang, kekurangan yang tertutupi, kedudukan yang tinggi, rezki yang halal, hidayah, kemaafan, dan keafiatan.
Doa tasyahud memberi penghormatan kepada yang patut dihormati, yaitu: Allah, Nabi Muhammad SAW, diri sendiri, dan orang-orang shaleh. Kesucian ruhaniyah seseorang lebih patut dihormati dari pada kekayaan, pangkat/jabatan yang dimiliki seseorang.
Shalawat membentuk karakter yang cinta kepada Rasulullah SAW. Shalawat memupuk rasa cinta kepada Rasul sehingga risalah yang diajarkannya mudah diikuti tanpa ada rasa terpaksa. Shala­wat bukan mendewakan Nabi, tetapi berdoa agar keselamatan tetap terlimpah padanya, se­hing­ga keselamatan itu pun diberikan pula kepada kita.
Sedangkan salam men­doakan keselamatan pada orang lain, terutama sesama muslim. Sungguh tidak patut jika se­orang muslim membaca salam, tetapi ia masih menyimpan rasa iri, benci, dendam atau sakit hati pada sesama saudaranya, apalagi dengan sengaja menzalimi atau menyakiti orang lain.
Maka sia-sialah shalatnya, bahkan ia termasuk dalam kategori celaka yang sesungguhnya.
Dengan demikian, shalat bukan sekedar gerakan-gerakan dan doa-doa rutinitas semata, tetapi lebih dari itu, shalat sesunguhnya mendidik manusia agar berkarakter, berakhlak mulia baik hubungannya dengan Allah (hablun mi­nallah), dengan diri sendiri (hablun minannafsi), dengan sesama (hablun minannas), dan dengan alam semesta (hablun minal ‘alam).
Maka umat Islam yang mendirikan shalat, ber­upa­yalah agar istiqamah mena­rapkan nilai-nilai shalat tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, shalat akan jelas mampu mencegah seseorang dari perbuatan yang keji lagi munkar. Wallahu a’lam.

MUHAMMAD KOSIM
(Mahasiswa S3 IAIN IB Padang)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar