Featured Video

Kamis, 28 Juli 2011

MENELITI DEMI KESEJAHTERAAN PETANI


Tingginya belum sampai satu meter, usianya baru delapan bulan, tapi pohon pepaya callina yang merupakan varitas temuan Prof. Dr. Ir. Sriani Sujiprihati, MS dari Institut Pertanian Bogor, sudah bisa menghasilkan puluhan buah lezat siap panen dan siap dipasarkan.
Pepaya callina yang merupakan buah lokal asli Indonesia tersebut, kini banyak ditanam para petani di berbagai daerah karena berbagai keunggulannya dan ting­ginya permintaan pasar.
Pepaya berukuran kecil dengan bobot rata-rata 1,3 kg per buah ini banyak dijual di supermarket-supermarket besar, seba­gian di antaranya dilabel dengan nama “pepaya california”.
“Yang menamakan itu pepaya california bukan kami, tapi pedaga­ngnya. Padahal itu adalah pepaya callina hasil pemuliaan yang kami lakukan bertahun-tahun,” kata Dr Sriani, kepala Divisi Pemuliaan Tanaman, Pusat Kajian Buah Tropika (PKBT) IPB.
“Terus terang saya sedih dan sakit hati dengan pengubahan nama tersebut, tapi kami tidak mungkin mengajukan tuntutan hukum karena nama buah ini tidak dipatenkan,” katanya.

Varitas ini, tambahnya, adalah untuk publik domain, jadi petani pun dapat mengembangkannya sendiri.
“Namun secara etika, seharusnya pengusaha tidak mengganti nama buah tersebut meskipun alasannya agar menarik pembeli,” kata wanita kelahiran Ponorogo, Jatim, 28 Oktober 1955 itu.
Kalangan petani sendiri masih menyebutnya pepaya callina, tapi kemudian oleh pengusaha yang membeli diberi label sebagai pepaya california, sehingga seolah-olah itu pepaya asli dari Amerika Serikat.
Demikian juga dengan pepaya carisya temuan Dr Sriani dkk di PKBT IPB, setelah di su­per­market namanya berubah menjadi pepaya havana.
Namun terlepas dari soal nama tadi, ada hal yang membuat hati Sriani senang, karena itu menunjukkan bahwa hasil kerja keras dan pene­litiannya telah berhasil memberi man­faat kepada para petani, dan mem­buktikan bahwa sebenarnya buah lokal tidak kalah dengan buah impor yang saat ini membanjiri pasar Indonesia.
“Lebih senang lagi jika mendengar laporan dari petani bahwa mereka berhasil mengembangkan pepaya callina ini di daerahnya, dan menda­pat keuntungan yang lumayan,” katanya.
Pepaya callina adalah salah satu satu temuan Sriani yang berhasil dikembangkan petani dan diterima masyarakat. Varitas ini dapat bera­daptasi dengan berbagai jenis tanah, termasuk di tanah berpasir di tepi pantai seperti yang dikembangkan di Jawa Timur.
Sriani menceritakan bahwa varitas callina ini awalnya dari pepaya yang ditemukan di kebun milik seorang warga Bogor bernama Pak Okim. Pemiliknya mengaku bahwa bibit pepaya itu berasal dari Amerika Serikat, meskipun belum ditelusuri kebenarannya.
Kemudian Sriani dan timnya melakukan breeding atau pemuliaan atas buah tersebut dan melakukan penelitian serta uji coba selama tujuh tahun sebelum akhirnya melahirkan varitas yang dinamakan callina atau california-Indonesia.
Atas ketekunannya dalam pemu­liaan buah lokal itu, Sriani mendapat sejumlah penghargaan dari berbagai kalangan. Di antaranya penghargaan Rektor IPB, penghargaan Riset Unggulan Strategi Nasional (Rusnas Award 2004) dari Kementerian Riset dan Teknologi, Satyalencana Kar­yasatya dari Presiden RI tahun 2006, Penghargaan Kepedulian dan Pene­gakan HaKI dari Presiden RI tahun 2007, Anugerah Kekayaan Intelek­tual Luar Biasa tahun 2009, dan tahun 2010 ia mendapat penghargaan dari Persatuan Insinyur Indonesia (PII).
Terkait profesinya sebagai dosen, Sriani juga pernah mendapat peng­hargaan sebagai Dosen Berprestasi IPB tahun 2006 dan juga Dosen Berprestasi Tingkat Nasional pada tahun yang sama.
Biasa di Kebun
Anak pertama dari tujuh bersau­dara pasangan Soedjijo dan Sri Rumiati ini sejak masa kecilnya sudah tidak asing lagi dengan kebun buah-buahan. Kakek saya pernah jadi kepala desa di Ponorogo dan punya tanah cukup luas berisi aneka tanaman buah-buahan.
“Saya tidak akan berhenti di sini saja, banyak potensi-potensi buah lokal yang bisa dikembangkan. Kami di PKBT dituntut untuk bisa menye­diakan varitas-varitas unggul lainnya,” kata ibu empat anak hasil pernika­han­nya dengan Dr Ir Enisar Sangun itu.
Apalagi dengan serbuan buah impor, Sriani khawatir buah lokal makin terpinggirkan. Misalnya saja buah jeruk yang saat ini banyak didatangkan dari China. (ant/teguh handoko)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar