Featured Video

Kamis, 28 Juli 2011

MUNGKINKAH NKRI ADA TANPA PDRI?


Bulan Juli ini, 62 tahun lalu, merupakan penggal terakhir perjalanan sejarah PDRI (Des 1948-Juli 1949). Klimaksnya terjadi di Koto Kociek, Padang Jopang, 50 Kota. Tepatnya tanggal 7 Juli 1949, sebuah rapat umum diadakan antara pemimpin PDRI dan utusan dari pusat di bawah pimpinan dr. Leimena, Moh. Natsir dan dr. Halim. Mengambil tempat di rumah Ibu Djawahir, Koto Kociek, agenda rapat para para petinggi itu hanya satu, yakni untuk menjemput kembali Mr. Sjafruddin Prawi­ranegara selaku Kepala Pemerintahan PDRI untuk diajak kembali ke ibukota Yogyakarta.
Rapat dimulai jam 8 malam sampai menjelang subuh, tetapi tanpa mencapai keputusan akhir.
Penggal terakhir perjalanan sejarah PDRI itu sesungguhnya mengandung pesan sejarah yang amat penting. Penting karena persoalan bangsa ternyata diputuskan di sebuah desa kecil. Di situ  berlangsung suatu dialog ’kebangsaan’ yang penuh emosional, tetapi juga mengandung sisi rasional-intelektual. Dan yang pasti ia tetap relevan sampai sekarang. Mengapa demikian?  Pertama-tama, kilas balik peristiwanya dulu. Tahun terakhir dari perjuangan kemerdekaan Indonesia (1949) disebut ‘zaman darurat’. Selama tujuh bulan nasib RI yang diproklmasikan 17 Agustus 1945 itu dipertaruhkan lewat pemerintahan darurat (PDRI) setelah Sukarno-Hatta ditangkap Belanda dengan beberapa menteri kabinet. Kepala pemerintahan PDRI dipacit oleh Syafruddin Prawiranegara, orang Sunda keturunan orang Minang juga.  Pusatnya di Sumatera Barat, dengan kedudukan berpindah-pindah tempat. Setelah berjuang dengan pahit getir mempertahankan NKRI dalam hutan yang penuh onak dan duri, tiba-tiba ada yang mengebiri PDRI. Para pemimpin yang tadinya menyerah pasrah dan ditawan di Bangka, kini tiba-tiba mengambil prakarsa. Bertindak  atas nama Republik, mereka berunding dengan Belanda di bawah pengawasan UNCI, tetapi kehadiran PDRI tidak diusik-usik. Itulah yang terjadi dalam perundingan Roem-Royen (Maret-Aril 1949) yang penuh intrik.
Penggal terakhir perjalanan sejarah PDRI (Juli 1949) di Koto Kociek, menyisakan sisi sejarah yang penuh emosi, tetapi juga sangat manusiawi dan penuh empati. Siapa yang tidak kan berang, manakala dilangkahi secara yang sewenang-wenang. Setelah bersudah payah menegakkan NKRI, kini PDRI ditinggal sendiri. Silantai, Sumpur Kudus jadi saksi. Di Koto Kociek, Padang Jopang kemelut sesama pemimpin Republik diakhiri. Tatkala kecintaan terhadap negara dan bangsa mengatasi segala-galanya. Ketika nasionalisme jadi acuan pemimpin rakyat, pemimpin yang tak mau kehilangan akal sehat, memikirkan nasib rakyat agar bangsa ini bermartabat.
Penggal terakhir perjalanan sejarah PDRI di Koto Kociek, juga menyisakan sisi sejarah kearifan lokal. Ketika lewat perundingan formal sampai subuh nyaris gagal. Karena rapat berlangsung emosional dan vokal. Tiada keputusan yang dapat diambil secara kolegial. Maka rundingan cara Minanglah jalan yang ditempuh. Lobi-lobi pribadi di pencuran sewaktu mandi subuh. Tadi rapat semalaman berlangsung gaduh, gagal menjernihkan masalah yang keruh. Hasilnya ternyata cukup ampuh. Musyawarah dan mufakat cara Minang menjadi obat penyembuh. Yang membuat hati Pak Syaf jadi luruh. Hingga bersedia kembali ke Yogya tanpa disuruh-suruh.
Penggal terakhir perjalanan sejarah PDRI (Juli 1949) di Koto Kociek, jelas-jelas menyisakan sisi nasionalisme puritan. Watak pemimpin yang mendahulukan kepentingan orang banyak ketimbang kepentingan pribadi atau handaitolan. Itulah kepemimpinan altruisme orang sebutkan, yang lebih peduli dengan rakyat banyak ketimbang yang selalu dijerat kesulitan dan kemiskinan. Itulah pemimpin tulen yang tak mau mengambil kesempatan dalam kesempitan, yang tak suka menyabet ’cekeran’. Lewat mark-up pejualan tanah atau lahan pembangunan. Akhirnya dikirim masuk tahanan. Mereka ini bukan pemimpin ’benaran’, melainkan pejabat karbitan, yang membayar mahal untuk mendapatkan kursi jabatan.
Akan halnya Mr. Syafaruddin Prawiranegara, setelah berangkat meninggalkan 50 Kota menunju Yogyakarta, menyerahkan kembali mandatnya secara suka rela. Dalam sebuah upacara negara, 13 Juli 1949, di keraton Yogya, PDRI berganti nakhoda kepada Sukarno-Hatta. Sejak itu persiapan perundingan Indonesia Belanda diputuskan di Den Haag. Di sanalah berlangsung pertarungan menang atau kalah.  Yang berakhir dengan penyerahan kedaulatan kepada pemimin rakyat negeri yang pernah dijajah. Di Jakarta dan dan daerah persitiwa besar itu disambut meriah. Namun di balik menyerah kalah, Belanda pun meninggalkan rimah. Pertama, Irian Barat atau Papua tak hendak diserahkan pasrah. Kedua Indonesia digantung dengan utang haram jadah. Odius debt istilah pakar ekonomi dan sejarah, sebab Indonesia harus memikul biaya perang Belanda untuk membunuh orang Indonesia yang memerdekakan negeri mereka dari penjajah. Ketiga, masalah Uni-Indonesia Belanda, yang memaksa Indonesia tetap berada di bawah ketiak Belanda. Ketiganya terpaksa diterima delegasi Indonesia di Den Haag, asalkan Indonesia segera memiliki kedaulatan penuh. Nyatanya Belanda terkecoh sudah. Sebab tahun 1950 Perdana Menteri Moh. Natsir membubarkan RIS versi Belanda lewat “Mosi Natrsir” yang penuh amanah.  Maka sejak itu selamatlah NKRI dari niat Belanda memecah belah. Di situ jasa PDRI tergores dalam tinta sejarah.
Merdeka itu ternyata tidak mudah. Enam puluh enam tahun berlalu sudah. PDRI malang melintang menyusun barisan yang terpecah-pecah. Setelah terbebas dari penjajah, banyak orng yang mendambakan masa depan yang cerah. Nyatanya kini makin lama orang makin gerah. Karena tak tersua antara perkataan dan kenyataan yang makin parah. Karena pemimpin lebih suka berwacana dan membangun citra ketimbang memajukan kesejahteraan rakyat di daerah.  Akhirnya agar kemerdekaan tidak digebyak-uyah, marilah kita peringati PDRI dengan penuh khidmad dan meriah, agar bangsa ini tak lupa sejarah, bahwa negeri ini dimerdekakan dengan nyawa dan darah. Demi masa depan bangsa yang merdeka dari penjajah. Bangsa Indonesia kini seharusnya berani tegak tengadah, dalam pergaulan dunia global yang makin kehilangan arah. Tanpa PDRI, NKRI yang kita cintai ini tak mungkin bersatunya pusat dan daerah. Karena berkat PDRI-lah kita bersatu mempersambungkan matarantai perjuangan yang terpecah-pecah, tatkala negeri bagai anak ayam kehilangan induk tanpa ada yang memerentah.

MESTIKA ZED

Tidak ada komentar:

Posting Komentar