Featured Video

Rabu, 23 November 2011

KONFLIK TANAH DAN NASIB RAKYAT


Di Sumatera Barat, konflik tanah tersebut sering terjadi bahkan berujung pada tin­da­kan kekerasan. Terakhir, anta­ra petani dengan  pe­rusahaan pengembang sawit yang ter­ja­di pekan pertama November 2011 lalu di Jo­rong Maligi, Kenagarian Sa­sak, Kecamatan
Sasak Ra­nah Pesisir Ka­bu­paten Pasaman Barat. Sebuah persoalan serius yang harus diselesaikan dengan cepat, kalau tidak akan banyak memakan korban.

Suatu hal yang tak bisa terban­tahkan sampai sekarang ini kalau kita sigi dari perspektif historis dalam memahami persoalan konflik tanah bahwarakyat badarai selalu pihak yang dirugikan. Fenomena ini sudah terfondasikan pada masa jauh sebelum negara kita terbentuk bahkan dalam bentuk kerajaan persoalan tersebut sudah muncul. Dengan sistem politik yang sentralistik, telah memungkinkan terbentuknya pola hubungan agrarian mengikuti pola hubungan feodal  dalam kera­jaan yakni tanah adalah milik raja. Rakyat hanyalah pengarap tanah dan hanya berhak meminjam saja.
Masa pemerintahan Belanda, nampaknya tak jauh berbeda kondi­sinya dimana rakyat masih dalam posisi yang dirugikan. Dengan sistem ekonomi uang yang dikem­bang­kannya telah memungkinkan banyak tanah rakyat yang dijadikan tempat usahanya terutama untuk lahan perkebunan. Protespun dari rakyatpun tak dapat dihindarkan.
Dilanjutkan masa Orde Lama, di bawah kepempinan Soekarno. Permasalahan tanah nampaknya mulai agak membaik. Namun posisi petani masih pihak yang terugikan. Terutama dengan dikeluarkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960. Dari segi materi undang-undang  ini telah cukup bisa dikatakan telah memenu­hi keingginan dari masyarakat seperti adanya pengakuan terhadap hukum adat yang dijadikan sebagai dasar hukum tanah nasional. Selain itu dalam materi undang-undang ini juga mengatur tentang tanah sebagai fungsi sosial, dimana masyarakat boleh memiliki hak milik tetapi itu semua tidak boleh merugikan kepentingan umum. Hal lain yang paling utama dari itu semua adalah upaya untuk melakukan redistribusi tanah kepada masyarakat oleh negara atau yang sering dikenal dengan land reform. Namun dalam kenyataannya masih banyak penyimpangan yang dilaku­kan dalam melaksanakan undang-undang tersebut yang masih merugi­kan rakyat kecil. Apalagi PKI yang dekat dengan Soekarno telah menja­dikan isu land reform ini sebagai isu politik sehingga tidak heran jika kemudian Soekarno menyetujui undang-undang agrarian tersebut.
Masa Orde Baru, konflik perta­nahan yang muncul terutama antara rakyat dengan pemerintah. Muncul konflik tersebut disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut Pertama,pelaksa­naan keharusan musyawarah antar panitia pembebasan tanah dengan pihak yang terkena pembebasan tanah. Kedua, penetapan ganti rugi yang sering dikatakan jauh dari memadai. Ketiga, pembayaran ganti rugi yang adakalanya mengalami keterlambatan. Keempat, prosedur ganti rugi tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Orde reformasi yang seharusnya merubah kesemuanya itu, namun apa yang terjadi pada masa sebelumnya tetap terjadi bahkan semakin kom­pleks. Rakyat masih dalam pihak yang terugikan jua. Menurut penulis, saat sekarang ini konflik tanah tersebut dapat kita bagi menjadi tiga yakni  Pertama, antara sesama anggota masyarakat. Konflik antar sesama anggota masyarakat terjadi berkaitan dengan penguasaan oleh pihak yang tidak berhak, dalam arti orang luar masyarakat hukum adat tersebut. Konflik antar anggota masyarakat ini biasanya dapat diselesaikan secara bersama-sama dengan berperannya ninik mamak atau melalui proses peradilan.
Kedua, antar masyarakat hukum adat dengan pemerintah. Konflik ini dalam arti perjuangan pengakuan keberadaannya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini terjadi karena ketentuan yang tidak memungkinkan  masyarakat hukum adat akses ke tanah ulayatnya. Sebagai contoh dalam bidang kehuta­nan, selama ini masyarakat mengam­bil hasil hutan untuk meme­nuhi kebutuhan hidupnya, karena sumber daya hutan mengan­dung kekayaan alam yang cukup besar, maka untuk meningkatkan nilai ekonominya dilakukan ekploitasi secara besar-besaran. Tentunya dalam eksploitasi yang demikian masyarakat yang sangat sederhana tersebut tidak tahu dan tidak mampu untuk akses. Ketidaktahuan dan ketidakmampuan masyarakat ini kurang atau hampir tidak dilirik, akibatnya mereka terabaikan atau terkesampingkan. Hal ini dapat diketahui dari HGU (Hak Guna Usaha) yang telah diberikan kepada pengusaha perke­bunan. HGU diberikan dengan melakukan konversi hutan produksi untuk dijadikan areal perkebunan. Konversi hutan produksi untuk dijadikan areal perkebunan. Konversi hutan produksi untuk dijadikan areal perkebunan. Konversi hutan produksi berarti melakukan pengambilan hasil hutan berupa kayu, dan lainnya, maka perusahaan pemegang HGU yang diuntungkan.
Ketiga, antar masyarakat hukum adat dengan pengusaha (investor). Sesungguhnya dalam pembangunan perkebunan di Indonesia ini tidak begitu saja adanya namun dibingkai oleh payung hukum. Berdasarkan Pasal 14 ayat (1) d UU Nomor 5 Tahun 1960 menegaskan bahwa pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu rencana umum mengenai persedian, perun­tukan dan pengunaan bumi, air dan  ruang angkasa serta kekeyaan alam yang terkandung di dalamnya untuk  keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan dan perkebunan serta yang sejalan dengan itu. Dengan mengacu kepada isi pasal ini dan dikaitkan dengan Pasal 6 UUPA, maka dalam rangka mening­katkan produksi pertanian dilakukan pembangunan perkebunan.
Secara idealnya, kegiatan pemba­ngunan ini dinyatakan yakni  dilakuan dengan pelepasan tanah ulayat oleh masyarakat adat. Dinyatakan pelepa­san oleh masyarakat dengan pembe­rian “siliah jariah” tidak dapat disamakan dengan jual beli, tetapi berarti siliah yang dilakukan oleh pihak lain kepada pemilik tanah selama tanah tersebut digunakan oleh orang lain. Tidak mengunakan selama waktu tertentu tersebut harus dibayar jariahnya. Siliah jariah tidak dapat dapat diartikan pelepasan tanah untuk  selamanya. Karena pada masyarakat Minangkabau misalnya dikenal konsep “ kabau tagak kubangan tingga” artinya jika pihak luar yang meng­gunakan tanah tersebut tidak lagi mengunakan tanahnya, maka tanah tersebut kembali kepada masyarakat. Namun banyak sekali kejadian yang memperlihatkan kepada kita, protes yang dilakukan oleh masyarakat disekitar perkebunan misalnya akibat tindakan dari para investor yang merugikan masyarakat setempat.
Akhirnya, pada masa reformasi ini hendaklah mulai kita memikirkan bagaimana persoalan konflik tanah bisa diatasi. Untuk itu perlu kiranya semua elemen masyarakat yang ada, mulai bergendengan tanggan meme­cahkan persoalan konflik tanah sehingga tidak ada pihak yang terugikan lagi, rakyat badarai hidup dengan tentram,  para investor senang menanamkan modalnya lagi. Sehinga memunculkan negeri kita yang benar-benar negeri yang terbebas dari persoalan konflik  tanah. Wassallam.

UNDRI
(Peneliti di Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tra­disional Padang)haluan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar