Featured Video

Selasa, 27 Desember 2011

Mengapa Peneliti Indonesia Pilih Hijrah ke Luar Negeri?


ShutterstockIlustrasi

JAKARTA,
 Lemahnya perhatian pemerintah dan kurangnya lembaga donor yang bersedia menyokong seorang peneliti untuk melakukan dan mengembangkan penelitian adalah penyebab utama larinya para peneliti Indonesia ke luar negeri. Hal itu diungkapkan Riza Muhida, dosen peneliti Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Surya, saat ditemui Kompas.comdalam kompetisi robot internasional, di Universitas Tarumanagara, Jakarta, pekan lalu.


Riza, yang pernah tercatat sebagai dosen peneliti di International Islamic University Malaysia, mengatakan, bagaimana pun juga, seorang peneliti tetap harus memenuhi kebutuhan di luar penelitiannya. Kebutuhan itu, paparnya, menyangkut kebutuhan finansial untuk keluarga. Ketika hal itu tidak didapatkan di Indonesia, maka saat itulah para peneliti hijrah ke negara lain yang dianggap lebih baik memberikan apresiasi kepada mereka.
Di Inggris ada peneliti kita yang menjadi dosen peneliti teladan tingkat universitas, ada peneliti Indonesia yang menjadi peneliti muda terbaik di Asia Pasifik, dan banyak ilmuwan kita diluar negeri yang memperoleh penghargaan atas dedikasinya
“Saya rasa wajar jika banyak peneliti Indonesia yang melirik luar negeri. Alasannya banyak, pertama alasan ekonomi, dan kedua adalah dukungan untuk melakukan penelitian,” kata Riza, yang kini menjabat Wakil Ketua Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4).

Ia menambahkan, seorang peneliti sejatinya memerlukan sokongan dana yang cukup untuk melakukan dan mengembangkan penelitiannya. Selain itu, diperlukan pula tempat untuk berkonsentrasi, asupan jurnal-jurnal ilmiah, buku, dan menambah wawasan melalui konferensi internasional.

“Di luar negeri itu mudah didapatkan. Tetapi, di Indonesia semua menjadi sulit. Banyak yang mengajukan, tapi yang menyediakan sedikit,” ujarnya.

Riza, yang pernah menjabat Ketua Indonesian Lecturers and Researchers Association in Malaysia (ILRAM), sebuah organisasi yang ditujukan membuka forum komunikasi antar ilmuwan Indonesia dan Malaysia ini membandingkan, kesejahteraan peneliti Indonesia dengan peneliti yang ada di Malaysia. Menurutnya, saat menjadi dosen peneliti di Malaysia, ia mendapatkan gaji 8000 Ringgit (sekitar lebih dari Rp 20 juta) per bulan. Selain itu, ia juga mendapatkan berbagai tunjangan seperti tempat tinggal, kesehatan, dan tunjangan pendidikan anak. Sementara di Indonesia, kata dia, meski mendapatkan penghasilan yang setara, tetapi tidak ada tunjangan lain di luar gaji.

Ia menyayangkan lemahnya perhatian pemerintah terhadap para peneliti. Menurutnya, banyak peneliti asal Indonesia yang memiliki daya saing kuat dan prestasi di kancah internasional.

“Banyak yang sukses sebagai dosen peneliti. Di Inggris ada peneliti kita yang menjadi dosen peneliti teladan tingkat universitas, ada juga peneliti Indonesia yang menjadi peneliti muda terbaik di tingkat Asia Pasifik, dan ada banyak ilmuwan kita diluar negeri yang memperoleh penghargaan atas dedikasinya,” ungkapnya.

Riza berharap, pemerintah dapat lebih mendayagunakan para peneliti, dengan melibatkan para peneliti untuk mengelola sumber daya alam.

“Bagaimana menggali kekayaan alam agar bisa lebih menghasilkan dengan potensi dan peran peneliti yang sudah ada. Tapi tentunya harus ada promosi yang jelas, dan dibuka kesempatan kita untuk mengembangkan diri,” kata Riza.KOMPAS.com


TERKAIT:


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar