Featured Video

Sabtu, 11 Februari 2012

KITA LUPA DENGAN PERJUANGAN PRRI


Saat itu tanggal 10 Februari 1958. Sudah 54 tahun berlalu. Saat itulah genderang perang dengan pusat ditalu. Daerah melawan. Pemicunya, ketidakpuasan daerah kepada pemerintah pusat: banyak senjang, tak sedikit yang timpang dalam roda pemerintahan. Gerakan koreksi ini dinamakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Maka, 10 Februari 1958, lewat Radio Republik Indonesia (RRI) Padang, PRRI yang disebut dengan Dewan Perjuangan membacakan tuntutannya untuk pemerintahan pusat yang dikenal dengan “Piagam Perjuangan”. Isinya: 1). Bubarkan Kabinet Djuanda dan kembalikan mandatnya ke presiden, 2). Bentuk zaken kabinet nasional dibawah suatu panitia pimpinan M. Hatta dan Hamengkubuwono IX, 3). Beri kabinet baru mandat sepenuhnya untuk bekerja sampai pemilu mendatang, 4). Presiden Soekarno/Pj. Presiden agar membatasi diri menurut konstitusi. 5). Bila tuntutannya tak dipenuhi dalam tempo 5x24 jam, Dewan Perjuangan akan mengambil kebijaksanaan sendiri.
Militansi para pejuang koreksi jalannya pemerintahan pusat itu—pemerintah pusat menyebut PRRI sebagai pemberontak—membuat murka pusat. Pemerintah Pusat terasa diultimatum. Digaham oleh daerah, tentu saja Pusat murka. Jika orang pusat murka, alamat hancur negeri ini. Lima hari setalah ancaman itu, Pusat kirim tentara ke Padang sebanyak 7500-10000 personil terdiri dari Kodam Diponegoro, Siliwangi, Brawijaya dan elit Banteng Raiders juga KKO khusus Marinir AL ke Sumatra Tengah (Minangkabau). Tidak cukup? Pusat memperkuat lagi dengan mengirim 5-7 kapal perang dan ditambah dengan pesawat tempur. Kolonel Ahmad Yani memimpin penyerangan.
Galibnya sebuah pertempuran, tentu pakai sandi. Namanya Sandi Operasi 17 Agustus. Maka, berdarah-darahlah negeri ini. Dentuman dan raungan senjata perang sahut-menyahut. Perang sesama saudara sendiri. Saling mengunus senjata dengan saudara yang pernah sama-sama berjuang mengusir penjajah. Peristiwa yang sangat ironis, dan terkesan naif.
Di Pasa Ateh Kota Bukittinggi, saat pagi masih merangkak, ratusan pedagang dibantai tentara pusat karena dicurigai ada tentara pro PRRI yang menyelinap di dalamnya, ternyata dugaan itu salah. Rakyat sipil yang akan menggelar dagangan pagi itu terbunuh sia-sia. Dan tak ada yang bertanggung-jawab. Di Nagari Simarasok, Kabupaten Agam, kepala seorang datuk dipancung oleh OPR lalu diarak keliling kampung untuk ditonton ramai-ramai. Semua di luar batas kemanusiaan. Harga diri telah hancur. Masyarakat yang tidak tahu apa-apa menjadi tumbal kekejaman ambisi dan ketaatan terhadap perintah.
Saat itu, masyarakat tidak mengetahui secara pasti apa sebenarnya yang terjadi di negerinya. Mengapa tiba-tiba saling bunuh sesama bangsa. Meletusnya perang sesama saudara ini hingga kini tidak pernah jelas berapa jumlah nyawa manusia yang terbunuh. Negara Indonesia (pemerintah pusat atau pun daerah) sebenarnya harus menjelaskan sejarah hitam ini secara transparan kepada publik, apa sebenarnya yang terjadi.
Banyak pelaku dan juga sejarahwan mengatakan, semula gerakan itu tidak tampak berniat ingin menghancurkan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tetapi, pemberontakan itu akhirnya dikenal sebagai “gerakan anti-Jawa”, karena kesenjangan pembangunan antara Pulau Jawa dan luar Jawa dianggap semakin besar.  Namun peristiwa itu, perjuangan koreksi itu, yang kini baru sebagian terealisasi dengan adanya otonomi daerah, tenggelam begitu saja. Kemarin, tak ada secercah pun peristiwa peringatan PRRI itu, terutama di Sumatera Barat, digelar.
Kita menyadari, mungkin pelaku-pelaku PRRI itu tak begitu banyak yang masih hidup sekarang ini. Kita berharap, ada upaya pemerintah daerah untuk menggelar peringatan PRRI ke depan, kendati mungkin sulit menerima, apa yang dilakukan para pejuang PRRI itu benar adanya. Stigma pemberontak memang sangat sulit terhapus.
Peristiwa berdarah itu memang membuat luka. Luka bagi siapa saja. Tetapi, saat kini, barangkali, luka itu sudah dilupakan. Dilupakan oleh perjalanan masa. Dilupakan oleh pemerintah yang semakin tidak menghargai rakyatnya. Lima puluh empat tahun memang rentang waktu yang tidak panjang.  Karena masih segar, tentu tidak menutup kemungkinan peristiwa yang sama akan muncul lagi, jika negeri ini masih tetap dijarah, diperkosa, dikuras, dan rakyat makin menderita dari hari ke hari. Kita lihat saja.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar