Featured Video

Sabtu, 11 Februari 2012

MERAMPOK LAHAN RAKYAT SECARA KONSTITUSIONAL?


Prihatin, itulah kata yang paling pas jadi pembuka tajuk rencana ini tatkala kita si­mak kejadian amuk massa di kantor Bupati Agam (Ha­luan, 04/02). Sedih  dan ironis sekali,  jangan-jangan peme­rintah selama ini benar-benar tidak pernah mengurus  dan respons terhadap masalah yang sedang dihadapi rakyat­nya.

Konflik lahan merebak di hampir seantero negeri. Kor­ban tewas juga sudah ba­nyak. Baik dari perusa­haan ma­u­pun para petani. Dan ce­lakanya, entah sam­pai kapan kita lelah dan ber­henti de­ngan konflik  yang hampir sama  polanya de­ngan kasus  sangketa lahan daerah lain.
Seringkali ketika pe­ngusa­ha, petani, dan pe­merintah  sudah berkumpul untuk du­duk bersama  me­lalui forum musyawarah,  seringkali yang dirugikan dalam pertemuan tersebut tetap rakyat. Peme­rintah melempem, konflik lahan kian marak, sudah banyak lahan rakyat yang sudah dirampok melalui legalitas hukum.
Femomena seperti itulah yang seringkali terja­di, dan puncaknya ketika gerakan petani menguat karena pendu­dukan lahan mereka yang diambil oleh peru­sahaan, mereka memprotes elit agar hak-hak mereka dibela, na­mun terkadang bupati/wa­likota dan guber­nur tidak menemui dan turun untuk men­dengar aspirasi­nya, akhi­n­ya mun­cullah ke­ma­rahan, seperti yang terjadi bebe­rapa waktu lalu di Ka­bupaten Agam yang meru­sak Kantor Bupati, sebab massa mulai gerah  karena Bupati Indra Catri dan pejabat lain­nya tidak ada yang mau menemui mereka.
Dari berbagai penjuru nusantara, masalah konflik lahan antara perusahaan dengan rakyat muncul satu demi satu di berbagai me­dia. Kasus Mesuji di per­batasan Lampung dan Su­matera Sela­tan, kasus Desa Seny­erang Kabupaten Tan­jung Jabung Barat, ka­sus Kabupaten Seruyan di Kal­teng, kasus Pulau Pa­dang, Kepulauan Me­ranti, kasus Pulau Rupat, Kabu­paten Bengkalis, dan yang sedang saya tulis dalam tulisan ini konflik lahan antara PT Mutiara Agam dengan  Pasu­kuan Tanjung Manggopoh, te­patnya di Ka­bu­paten Agam, Sumatera Barat.  Per­seng­kongkolan  dan Kejahatan Negara
Seorang mantan “pe­main” IMF, Jhon Perkins, dalam buku­nya Confussion Of an Economic Hit Man, pernah berkisah, tentang bagai­mana caranya sebuah korporasi atau sekelompok pemilik modal masuk dan menguasai sebuah wilayah yang me­limpah potensi sumber daya alamnya. Jhon perkins men­jelaskan, sebuah korporasi tidak akan bisa menguasai sebuah lahan per­tam­bangan, industri, perke­bunan jika tidak ada ker­jasama atau izin dari pemerintah atau stack holder (Presiden, Guber­nur, Wali­kota, Bupati, Camat atau kepala desa) setempat. Kerja­sama yang di maksud­kan oleh Jhon Perkins, ada­lah sebuah bentuk ker­jasama tran­saksional, yang berujung pada ke­untung­an Pemodal dan pe­nguasa.
Pemerintah di daerah selalu gamang dan loyo dalam menyelesaikan konflik antara pemilik modal dalam hal ini pengusaha dengan masya­rakat pemilik lahan mereka yang diambil, merin­dukan sekali bupati/walikota dan gubernur yang  menjadi me­­­­­­dia­­tor yang adil,  tapi dalam banyak kasus peme­rintah cenderung berpihak kepada pengusaha, sehing­ga kuasa rakyat tercabut, aki­batnya pemilik modal di­menangkan di putusan pe­ngadilan, ini adalah bentuk kejahatan negara terhadap rakyatnya yang dilegitimasi melalui putusan pengadilan.
Konflik lahan antara ma­­­­sya­­­rakat Pasukuan Tan­jung Manggopoh sudah ter­jadi sejak tahun 1984, pa­dahal sudah ada itikad baik untuk melakukan penguku­ran ulang lahan yang ada  dalam keca­matan Tanjung Mutiara, namun dalam reali­tasnya tidak pernah pengu­kuran ulang dilakukan, res­pon pe­ngu­saha dan peme­rintah melemahkan semua keinginan tersebut, bisa saja pe­me­rintah telah masuk angin. Beginilah jadi­nya, sebagian besar konflik ter­sebut adalah konflik anta­ra masyarakat setempat dengan perusa­haan perke­bunan. Ma­lang­nya, ma­syarakat se­ring berada di pihak yang lemah karena status legalitas formal kepe­milikan lahan.
Banyaknya ditemukan kejanggalan dan indikasi putusan Pengadilan yang relatif putusannya meru­gikan rakyat dalam konflik lahan, ini juga akar masalah sehing­ga munculnya perla­wanan pe­milik lahan ter­hadap tanah yang diambil oleh perusa­haan dengan cara legitimasi pengadilan yang memenang­kan pengusaha.
Pola yang sama juga ter­jadi antara PT Muatiara Agam dengan masyarakat Pasukuan Tanjung Mang­gopoh.  Di ting­kat Pengadilan Negeri masya­rakat Tanjung Mang­gopoh menang, namun di ting­kat Pengadilan Tinggi, peru­sahaan PT Mutiara Agam yang me­nang. Masya­rakat tidak dapat menerima kepu­tusan itu, karena dinilai penuh dengan kejanggalan. Ini adalah bentuk kejahatan  negara terhadap rakyatnya, beginilah nasib petani dan rakyat yang menye­dihkan sekali.
Jadi menurut saya, Bu­pa­ti Agam harus me­nye­­lesai­kannya secara kon­ferehensif, jangan ter­jebak kepada lega­litas hu­kum formal yang kaku, tapi harus sampai kepada substansi hukum, yaitu kea­dilan bagi rakyat kecil, jangan lagi keadilan melukai hati kecil rakyat. Cabut saja izin perusahaan kalau tidak per­nah menguntungkan rak­yat selama ini. Sekali lagi jangan sampai masyarakat marah hingga melakukan tindakan anarkis baru.
Peristiwa kekerasan di Sape, Bima, Nusa Teng­gara Barat, hendaknya menjadi acuan  dan pembelajaran bagi daerah lainnya, khu­susnya Bupati Agam dalam megan­tisipasi konflik lahan perta­nian antara masya­rakat dengan perusa­haan swasta. Pada konflik lahan di Bima Nusa Teng­gara Barat, misal­nya Bupati Bima akhirnya menyerah dan mencabut surat kepu­tusan­nya guna meme­nuhi tuntutan masyarakat, tapi tindakan terlambat karena kantor pemerintah daerah sudah terlanjur diba­kar. Perlu keberanian dan itikad baik seorang elit di tingkat dae­rah, sehingga integritas dan kedamain terwujud di daerah-daerah.
Pembaharuan dan refor­masi agraria bisa menjadi jalan keluar konflik keke­rasan lahan di dalam sektor  agraria tersebut. Konflik agraria terus berlangsung sepanjang pem­ba­haruan agraria dan reformasi agraria yang men­jadi mandat TAP MPR No 9 tahun 2001 tidak dija­lankan pemerintah. Kemba­likan lagi apa yang menjadi hak masyarakat, sebelum revolusi hijau kem­bali terjadi, jangan rampok  lagi tanah rakyat. Semoga!

PANGI SYARWI
(Peneliti di Indonesian Progressive Institute Jakarta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar