Featured Video

Selasa, 07 Februari 2012

Peneliti: Pancasila diajarkan tanpa keteladanan


Ilustrasi Pancasila. (FOTO ANTARA News/ferly)
 Penanaman nilai-nilai Pancasila masih dalam tataran kognisi belum sepenuhnya mampu menyentuh tingkatan afeksi maupun psikomotorik. Hal itu menunjukkan telah terjadi inkosistensi dalam proses internalisasi nilai-nilai Pancasila pada anak-anak.

Yogyakarta  - Pola pendidikan anak usia dini masih terfokus pada upaya untuk menumbuhkan kecerdasan kognitif, sehingga nilai-nilai Pancasila diajarkan dengan setengah hati dan tanpa keteladanan, kata peneliti Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada Surono.

"Penanaman nilai-nilai Pancasila masih dalam tataran kognisi belum sepenuhnya mampu menyentuh tingkatan afeksi maupun psikomotorik. Hal itu menunjukkan telah terjadi inkosistensi dalam proses internalisasi nilai-nilai Pancasila pada anak-anak," katanya di Yogyakarta, Sabtu.

Menurut dia, berdasarkan penelitiannya, hal itu dipengaruhi banyak faktor, di antaranya adalah faktor kualitas sumber daya manusia yang dalam hal ini tenaga pengajar. Dalam kegiatan belajar mengajar, para pengajar cenderung bertindak sesuka hati, asal memenuhi kewajiban saja.

"Hal itu memang tidak dapat disalahkan, karena mereka hanya diberi honor Rp5.000 sekali datang. Namun, yang menjadi persoalan berikutnya adalah untuk urusan pembangunan karakter bangsa hanya dihargai Rp5.000," katanya.

Ia mengatakan, satu kasus ditemukan pada sebuah lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) nonformal yang sedang melakukan upaya internalisasi nilai-nilai religiusitas. Ketika salah seorang guru PAUD memimpin doa, pada saat yang bersamaan, guru-guru yang lain justru sibuk dengan aktivitasnya masing-masing.

"Hal seperti itu jelas sekali menunjukkan sebuah kontradiksi. Pada satu sisi, para guru ingin menanamkan nilai-nilai religiusitas, tetapi di sisi lain tidak ada `keteladanan` yang bisa memperkuat dan meyakinkan pada anak-anak bahwa berdoa itu adalah upaya meminta kepada Tuhan pencipta alam, sehingga harus dilakukan dengan khusyuk," katanya.

Menurut dia, anak-anak diajarkan agar bersikap baik dan khusyuk dalam berdoa, tetapi para guru dan pegawai lembaga PAUD justru menunjukkan sikap sebaliknya.

Oleh karena itu, masyarakat dan pemerintah diimbau agar lebih serius menghidupkan PAUD nonformal, karena lembaga tersebut memiliki posisi yang sangat strategis dalam pembentukan karakter Bangsa Indonesia. Hal itu penting karena di lembaga tersebut para anak dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi, dan budaya berkumpul.

"Posisi PAUD dalam upaya internalisasi nilai-nilai Pancasila sangat strategis. Apalagi dengan melihat data dari Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini 2009, selama tujuh tahun terakhir perkembangan Angka Partisipasi Kasar (APK) PAUD di Indonesia mencapai 15,3 juta atau 53,6 persen," katanya.

Ia mengatakan, ke depan perlu adanya evaluasi kritis terhadap visi, misi, dan pilar kebijakan PAUD di Indonesia agar jenjang PAUD bisa mencapai tujuan pendidikan nasional.

"Selain itu juga perlu mendesain PAUD sebagai fondasi pendidikan untuk semua, melakukan penambahan materi yang berkaitan dengan nilai-nilai kepancasilaan dan kebangsaan, dan meningkatkan kualitas dan penyamaan persepsi sumber daya manusia PAUD," katanya.
Editor: Ella Syafputri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar