Featured Video

Minggu, 18 Maret 2012

BUDAYA INDONESIA DIHARGAI DI MALAYSIA


TANGGAPAN TERHADAP TULISAN DARMAN MOENIR
Pengertian konsep Nusantara bagi kebanyakan orang Indo­nesia mempunyai arti negara Indonesia, akan tetapi bagi international yang disebut Nusantara adalah mencakup Indonesia, Singapura, Malay­sia, Brunei Darussalam serta Pilipina Selatan dan Thailand Selatan dimana bangsa Me­layu menetap seperti yang ditulis  pada Ensiklopedia Sejarah dan Kebudayaan Melayu yang diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Ma­laysia Kuala Lumpur 1998.

Penyumbang tulisan untuk ensiklopedia ini selain para cendekia, profesor dan bu­dayawan dari Malaysia juga dari Singapore dan Indonesia di antaranya H.B Jassin,  A.A Navis dan beberapa pensya­rah/dosen serta profesor dari beberapa Universitas Negeri di Indonesia.
Dalam Ensiklopedia ter­sebut tertulis: Nusantara boleh dimengerti dari sudut geografi, etnik, politik, budaya dan ideologi. Dari sudut geo­grafi, Nusantara terdiri dari­pada rantau yang luas dan memanjang dari Indochina (selatan Vietnam dan Kem­boja), menurun melalui Segen­ting Kra hinggalah selatan Burma dan Semenanjung Tanah  Melayu termasuk Temasik (kini Singapura). Kawasan ini boleh disebut sebagai Nusantara bahagian utara atau Dunia Melayu di utara. Ke arah selatan pula (boleh disebut sebagai Dunia Melayu di selatan), terdiri daripada wilayah kepulauan yang dipisahkan oleh laut dan selat. Ke arah tenggara, kawasan ini terdiri daripada Pulau Kalimantan dan Ke­pulauan Philipina di Laut China Selatan, manakala di barat daya dan selatan meren­tasi Selat Melaka terdapat Kepualuan Indonesia.
Dalam sejarah Indonesia juga disebutkan bahwa Patih Gajah Mada terkenal dengan “Sumpah Palapa” yaitu Sum­pah Patih Gajah Mada yang berkeinginan memersatukan Nusantara. Yang dimaksud Nusantara oleh Patih Gajah Mada pada saat itu tentu saja bukan hanya wilayah dari Sabang sampai Merauke.
Sejak ratusan tahun lalu warga yang bermukim di Nusantara saling berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Diantaranya dari Su­lawesi, Kalimantan, Sumatra dan Jawa, dan lain-lain (se­karang wilayah itu disebut Indonesia) banyak yang me­ran­tau/berpindah ke tanah semenanjung yang sekarang dikenal Malaysia dan kini keturunannya, yang tetap mengamalkan budaya turun temurun dan tetap merasa menjadi orang Melayu Banjar, Melayu Minang dan Melayu Jawa dan tentu saja ber­kewarganegaraan Malaysia.
Di Negeri Sembilan (salah satu negeri/provinsi di Malay­sia) penduduknya berasal dari Minangkabau Sumatra Barat yang berpindah sudah sejak permulaan abad ke-14. Ke­mudian berlakulah pernikahan antara perantau dari Minang dengan penduduk setempat dan keturunannya disebut suku Biduanda. Dan pada abad ke-17 anak raja Minang­kabau dari Pagarruyung, Raja Melewar datang ke Negeri Sembilan untuk memerintah di Negeri yang hingga kini penduduknya masih menga­malkan budaya Minangkabau dan Raja di Negeri Sembilan sekarang adalah keturunan dari Raja Melewar.
Di Melaka ada sebuah kampung, namanya Kampung Bukit Nibong yang pen­duduk­nya keturunan perantau dari Jawa yang datang ke Melaka sekitar tahun 1900-an dari Pacitan. Kabupaten Pacitan terletak di ujung barat daya Provinsi Jawa Timur. Wilayah­nya berbatasan dengan Kabu­paten Ponorogo di sebelah Utara.  Menurut warga di Kampung Bukit Nibong ba­nyak juga warga keturunan dari kabupaten Ponorogo di Johor yang sudah menetap di sana ratusan tahun.
Saya pernah diundang untuk menghadiri perayaan Israq Mikraj di Masjid Kam­pung Bukit Nibong, dan saya diundang pula saat diadakan Kenduri Nasi Ambeng yang cukup meriah karena mengun­dang masyarakat dari kam­pung sekitarnya dan dihadiri oleh Raja Melaka (TYT) dan Gubernur Melaka (Ketua Menteri).
Ketika pertama kali tiba di Kampung Bukit Nibong untuk menghadiri   perayaan Israq Mikraj saya sangat terkejut karena di pintu gerbang perkampungan, yang penduduknya 95 persen adalah masyarakat Jawa keturunan Pacitan ini, disambut dengan gapura yang bertuliskan ba­hasa Jawa,  “Sugeng Rawoh” yang artinya selamat datang. Warga di sini masih menga­malkan budaya Jawa, masih menggunakan bahasa Jawa ketika bercakap-cakap dalam kesehariannya antara anak dan orang tua mereka yang sudah sepuh, yang lahir di Pacitan. Dan makanan yang mereka masak adalah ma­sakan Jawa.
Setelah salat Magrib di masjid yang berukuran sedang dan dilengkapi AC ini, be­berapa warga kampung sibuk menyiapkan masakan Sego Udok yang dilengkapi dengan “Jangan Lombok” dan “Ayam Inkung” yang diletakkan de­ngan nampan yang beralaskan dan ditutup daun pisang.
“Sego Udok” dalam bahasa Indonesia disebut “Nasi Udok” yang rasa dan bentuknya mirip dengan nasi uduk di Jakarta atau nasi lemak di Malaysia. “Jangan Lombok” secarah harfiah berarti Sayur Lombok tetapi tentu saja bukan sayur yang isinya hanya cabai atau lombok saja. Tetapi campuran antara tahu, tempe, kacang panjang dan  irisan cabai hijau dan cabai merah yang sangat banyak sehingga terasa pedas dan dimasak dengan santan dan berbagai bumbu seperti bawang merah, bawang putih, kemiri, lengkuas, daun salam dan lainnya sehingga terasa gurih. Ada yang menambahkan udang ada pula yang menambahkan jeroan seperti hati, babat atau paru pada masakan “Jangan Lombok” ini. Dan Ayam ling­kung adalah ayam yang di­masak dan disajikan utuh yang dipadu dengan bumbu-bumbu yang mempunyai ke­nikmatan tersendiri.
Masakan yang pedas, gu­rih dan mengundang selera ini dibuat secara berkelompok. Beberapa kelompok keluarga membuat masakan tra­disio­nal ini dan setiap kelompok membuat satu nampan dan dibawa ke masjid dan di­kumpulkan. Yang datang ke masjid pada waktu itu hampir semua bapak-bapak dan anak laki-laki, hanya beberapa ibu-ibu yang hadir pada saat itu.
Selepas Isya masih ada bacaan doa dan ceramah agama yang disampaikan ketua kampung. Setelah itu barulah Sego Udok dengan Jangan Lombok dan ayam Ingkung dibagi-bagi lagi untuk dibawa pulang ke rumah, jadi tidak dimakan disana. Satu kelompok keluarga memasak nasi Udok lengkap dengan Jangan Lombok dan Ayam Ingkung. Kelompook lain juga memasak menu yang sama tetapi tentu rasa setiap dari air tangan akan berbeda. Kemudian mereka saling membawa pulang masakan dari kelompok lainnya. Ber­tukar masakan yang sama.
Beberapa hari kemudian pada saat ada perayaan Kenduri Nasi Ambeng saya juga diundang dan datang. Program yang bertema Merak­yatkan Seni Budaya yang diadakan pada tanggal 1 July 2011 mengundang warga kam­pung sekitarnya dan dihadiri sekitar 2000 orang. Pada acara ini warga tidak meng­gunakan jasa katering tetapi mereka bekerja secara gotong royong memasak dalam me­nyiap­kan segalanya bersama.
Acara yang cukup meriah yang diselenggarakan oleh warga setempat dan bekerja sama dengan Jabatan Kebu­dayaan dan Kesenian Melaka ini dihadiri oleh TYT Tun Datuk Seri Utama Mohd Khalil Bin Yaakob, Yang Di-Pertua Negeri Melaka beserta istri, YABhg Toh Puan Datuk Seri Utama Dato’ Zurina binti Kassim.  Hadir pula YAB Datuk Seri Hj Mohd Ali Bin Mohd Rustam, Ketua Menteri Melaka.
Melaka setingkat dengan provinsi dalam bahasa Ma­laysia disebut Negeri Melaka dan ketua pemerintahannya disebut Ketua Menteri. Se­dangkan Raja Melaka disebut TYT, dan TYT bukanlah ketu­runan dari Sultan sebelumnya seperti negeri-negeri lainnya tetapi dipilih/ditugaskan dan anaknya belum tentu menjadi Raja Melaka/TYT. TYT kepen­dekan Tuan Yang Terutama dan singkatannya dibaca sesuai dengan ejaan bahasa Inggris [ti-why-ti], tidak seperti raja-raja di Negeri lain dise­but Sultan Selangor, Sultan Kedah, Sultan Perak dan Sultan ini adalah keturunan dari Sultan sebelumnya.
Hal ini karena Sultan terakhir di Melaka, Sultan Mahmud Shah (1428-1528) yang kekuasaannya direbut oleh Portugis pada tahun 1511, melarikan diri ke Muar di Johor dan salah satu anaknya, Raja Kassim dino­batkan menjadi Raja Perak pertama (salah satu negeri di Malaysia). Ironis memang tanah dan tempat di mana Kesultanan Melayu bermula, kini tidak memiliki Sultan.
Pada saat Kenduri nasi Ambeng ini TYT dan Ketua Mentri menggunakan blankon yang diserahkan oleh seorang warga yang berperan sebagai Ki Lengger. Lengger-Calung sebenarnya adalah nama ta­rian yang berkembang di wi­layah banyumas dan pe­na­rinya disebut Lengger. Karena pada saat sebelum menyam­paikan blankon ini diper­tunjukkan gerakan-gerakan seperti tengah menari se­hingga pria ini sering disebut Ki Lengger.
Selain itu acara dimeriah­kan dengan pameran masakan Jawa yang mereka masak diantaranya adalah: rujak bebek (bukan rujak itik) yaitu campuran buah-buahan di antaranya jambu biji/jambu klutuk, bangkuang, kendon­dong dan lain-lain diberi gula merah dan cabai rawit dan ditumbuk/dibebek dan terasa pedas; getuk gula abang, (penganan dari singkong) tiwul (bahan dasar dari sing­kong) sego uduk, (nasi uduk) pecel, (sayur-sayuran yang direbus yang disiram kacang tanah yang digoreng dan dihaluskan) rondo royal, (tapai goreng) bubur abang (bubur merah). Gemunak (penganan dari singkong dan ketan) krawon, di minangkabau biasa disebut anyang, rebusan sayur yang diberi parutan kelapa. Selain itu dipamerkan juga peralatan yang dipakai ketika mereka datang pertama kali ke Melaka yang kala itu masih dalam keadaan hutan yaitu gergaji panjang, alu serta lumpang, keris dll yang seka­rang nampaknya jarang dipa­kai karena kebanyakan pen­duduk kampung ini (anak-anak dari perantau) telah berpendidikan dan bekerja di sektor pemerintahan atau sektor industri.
Sambil menikmati hiburan di panggung para hadirin menikmati Nasi Ambeng yang disediakan dengan nampan dialasi daun pisang. Dalam nampan berisi nasi putih,  jangan lombok, serundeng, terung dan ayam goreng. Satu nampan dimakan bersama sama sekitar 4 atau 5 orang dengan menggunakan tangan, tidak menggunakan sendok.
Begitulah kebudayaan Indonesia hidup dan dihargai di Malaysia, dan itu saya lihat langsung dengan mata kepala saya sendiri. Yang meng­hidupkan budaya Indonesia itu bukan orang Malaysia, melain­kan orang Indonesia (Jawa, Minang, Bugis, Batak, dll) yang merantau di negeri jiran itu. Jadi sangat keliru saya kira bila ada produk-produk budaya Indonesia yang “diram­pas” Malaysia seperti pem­beritaan sejumlah media yang cenderung sepihak dan tentu saja itu memecahbelah hu­bungan baik Indonesia-Ma­laysia sebagai negeri serum­pun yang penduduknya ma­yoritas muslim.
Perekat Budaya
Temu Sastrawan Nusan­tara Melayu Raya (TSN) di Padang pada 16-18 Maret 2012 mendatang, hendaknya di­harapkan dapat merekatkan hubungan baik ini kembali dengan mengedepankan kon­sep silaturahim yang tentu saja akan menguntungkan kedua belah pihak, Indonesia-Malay­sia. Konon lagi, peserta TSN sepengetahuan saya di­do­minasi oleh sastrawan-sas­trawan dan penulis muda Indonesia yang tentu lebih arif dan bijaksana dalam menyi­ka­pi berbagai persoalan khu­sus­nya terkait kebudayaan.

LILY SITI MULTATULIANAhttp://www.harianhaluan.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar