Featured Video

Senin, 26 Maret 2012

Koreografer Indonesia-SaningBakar


Biografi
Ery Mefri lahir 23 Juni 1958 di nagari (desa) Saningbakar, Kecamatan Singkarak, Kabupaten Solok, Sumatera Barat.Ia dibesarkan di lingkungan masyarakat Minangkabau yang sangat kuat tradisinya. Anak tunggal dari pasangan Jamin Manti Jo Sutan dan Nurjanah ini mewarisi darah seni dari kedua orang tuanya.Ayahnya,
Jamin Manti Jo Sutan (almarhum) adalah seorang penari tradisi yang disegani. Sampai sekarang banyak karya beliau yang wajib dipelajari di sekolah kesenian di Sumatera Barat. Di samping sebagai tokoh tari tradisi Minangkabau, pak Manti (ayah Ery) juga dikenal sebagai pemuka adat. Kata “Manti” dalam rangkaian namanya, sesungguhnya adalah gelar tradisi yang berarti pemangku adat. Ibunya bernama Nurjanah, seorang penenun benang emas yang juga pandai berdendang atau melantunkan nyanyi-nyanyian tradisi Minang.
Pada usia 3 tahun, Ery telah pandai menari dan berdendang. Suatu ketika ia mengikut ayahnya yang diundang mengisi acara perhelatan Nagari di desa lain. Ery kecil diminta masyarakat untuk menari. Tanpa pernah latihan dan tanpa pikir panjang ia dapat menampilkan gerak-gerak tari dengan lincah di depan umum. Padahal sebelumnya ia hanya mengamati dan menikmati apa yang dilakukan ayahnya.
Setamat SD dan SMP di Solok, Ery meneruskan belajar di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) di Padangpanjang. Semasa belajar di SMKI itulah disiplin Ery berlatih tumbuh. Setelah jam belajar wajib selesai, ia tekun berlatih sejak sore hingga malam hari. Terkadang bahkan sering tidur di rumah penjaga sekolah. Inilah yang mengawali kemampuan Ery Mefri sebagai penari hingga akhirnya terpilih menjadi penari Gusmiati Suid.
Ery mewarisi sikap ayahnya yang tegas, keras dan ulet. Ketegasan terlihat ketika ia melakukan proses latihan bersama kelompoknya. Kekerasan hati tercermin dalam menimba ilmu dan pengalaman yang sangat berguna dalam proses kreatif. Sementara keuletan terlihat pada kemampuan dia dalam mencari bentuk-bentuk baru karya tari.
Minangkabau memiliki begitu banyak ragam seni tradisi: petatah-petitih, tarian, pencak silat, dan randai yang memperkenalkan Ery Mefri dengan idiom-idiom Minang-kabau. Kenyataan ini sangat mempengaruhi perjalanan karier Ery sebagai koreografer. Falsafah Minang, Alam takambang jadi guru, merupakan pegangan proses kreatif Ery Mefri.Untuk setiap koreografi, Ery dan penari-penari Nan Jombang melakoni proses pencarian yang panjang karena ia memerlukan eksplorasi maksimal. Ery Mefri yakin bahwa di tengah-tengah gerak yang sedang berjalan dan tarian yang sedang berlangsung, akan lahir musik yang mengalir dan menggelitik kepekaan diri dan kesungguhan.
Memasuki usia 52 tahun, Ery Mefri terus berjuang melahirkan karya-karyanya. Tahun 2010 ini bersama kelompok Nan Jombang ia akan melawat ke beberapa negara membawa pesan pribadi yang tegas, “Jerit kesakitan kita, takkan mungkin diteriakkan orang lain!” Saat ini, Ery Mefri telah memiliki estetika dan pendekatan koreografinya yang khas. Ia mencoba mengekspresikan esensi dari tradisi melalui gerakan-gerakan baru para penari yang lahir dari pengolahan yang tekun dari khasanah tradisi Minang.
Ery Mefri tak henti mengolah tradisi dan mengeksplorasi kemampuan penari. Baginya, penari tidak hanya harus mampu menghadirkan gerak di atas panggung, tetapi juga mengekspresikan musik (suara-suara). Gerakan tubuh, permainan kostum, dan suara-suara yang dihadirkan penari, ketiganya tampil dalam Syarikaik karya Ery yang telah membuka mata dunia, yang dipertunjukkan di Australia.
Kurniasih Zaitun – Penulis
Sal Murgiyanto – Editor
Profil
Tahun 1982 merupakan tonggak penting dalam kehidupan Ery Mefri. Tamat Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Padangpanjang, ia mendirikan kelompok tari Nan Jombang, mengikuti Festival Koreografi se-Sumatera Barat dan menjadi Juara III. Prestasi ini mendorong Ery meneruskan jejak sang ayah: serius menekuni dunia tari dan menjadi koreo-grafer. Tak ada misi khusus, selain meneladani yang diperbuat ayahnya, yaitu komitmen. “Pekerjaan apapun harus dicintai. Jangan terlalu dipikirkan hasilnya. Prinsipnya, terus bekerja dan berusaha, karena apapun pekerjaan itu jika dikerjakan dengan sungguh-sungguh hasilnya akan bagus!”tegas Ery.Sejak kecil Ery akrab dengan tradisi Minang, a.l. Randai, Saluang Jo Dendang, Tari Piriang, Tari Adok, Randai Ilau (yang tanpa cerita), dan Saluang Pauah yang dilatihkan ayahnya ke anak-anak muda di kampungnya. Ery sangat mengenal dan menjiwai seni tradisi Minang, terutama Randai, dimana pelakon bukan hanya menari tetapi juga membuat ”musik” melalui tepukan-tepukan di badan dan pada kostum yang dipakainya.
Tahun 1994, Ery mendapat undangan dari Asian Cultural Council di New York untuk mengikuti workshop koreografi selama 6 minggu di American Dance Festival di Durham, North Carolina, A.S. Kembali dari perjalanan penting ini, Ery menumpahkan pengalamannya dalam karya Big Question (1994) yang ditampilkan di Indonesian Dance Festival III di Jakarta.
Nampaknya, interaksi Ery dengan budaya dunia menghasilkan bukan hanya ”pertanyan besar” tetapi juga perubahan besar dalam dirinya, setidaknya menurut pengamatan mantan gurunya, Gusmiati Suid. ”Ery memasuki babak baru dalam penciptaan tari. Dalam tempo singkat, ia mampu merubah penari-penari belia tampil cukup kuat!”
Proses berkesenian Ery dan Nan Jombang dimulai dari evaluasi diri yang kemudian dikembangkan dengan menitikberatkan pada persoalan-persoalan realitas konkrit dimana individu itu berada. Karya yang dilahirkan dalam bentuk pertunjukan tari akan bisa dinikmati oleh individu pelaku tari itu sendiri dan masyarakat yang menontonnya. Umumnya karya-karya Nan Jombang lahir dari sebuah proses yang panjang dan memiliki bentuk tersendiri: karya tari kontemporer yang merupakan pengembangan dari tradisi.
Pertanyaan besar yang dihadapi Ery tak membuatnya bergeming dari tradisi tapi dengan arif memadukannya. Karya-karya Eri Mefri berangkat dari falsafah dan fenomena kehidupan masyarakat Minangkabau. “Saya mencintai Minangkabau. Tradisi Minang yang kaya menjadi inspirasi, ruh, atau semangat di dalam karya-karya saya. Modern atau passca-modern hanyalah cara pelahiran gerak,” Ery menggaris-bawahi.
Sementara inovasi tetap dipegang dan telah menjadi kekuatan Nan Jombang. “Pemanfa-atan celana galembong, tubuh, dan suara yang dipadu dengan teknik gerak yang kuat dan bersih merupakan salah satu bentuk inovasi yang kami lakukan di Nan Jombang,” Ery mencontohkan.
Sepuluh tahun terakhir, Ery yang total, serius, dan intens menekuni tari telah melahirkan lebih dari 10 karya yang semakin matang dengan nilai-nilai kesederhanaan hidup dan mengkritisi kerancuan batas antara yang benar dan yang salah dalam era globalisasi. Kerja keras Ery Mefri berdampak kuat bukan hanya bagi dirinya dan kelompok Nan Jombang, tetapi juga masyarakat Minang.
Tahun 2005 Ery diundang ke Australia mementaskan Garih ka Pintu, Cangka, dan Sangketo Kato. Tahun-tahun berikutnya ia bersama kelompok Nan Jombang melawat ke Singapore dan Tokyo. Tahun 2008, Ery tampil lagi di IDF IX menggarap Malinkundang dan mendapat Penghargaan “Tuah Sakato” dari Gubernur Sumatera Barat.
sumber : bujangkatapel foundation

Tidak ada komentar:

Posting Komentar