Featured Video

Rabu, 07 Maret 2012

PANAS, PEMBAHASAN KENAIKAN BBM DI DPR


Pembahasan kenaikan harga BBM di DPR memanas. Dua anggota fraksi di DPR memutuskan untuk menolak rencana pemerintah menaikkan BBM subsidi menjadi Rp6 ribu per liter.
Suasana panas mengemuka  saat berlangsungnya   Rapat kerja antara Komisi VII DPR dengan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Menteri Keuangan dalam membahas legalitas penambahan kuota BBM Rp36 triliun di 2011.
Adu argumen terjadi setelah Menteri ESDM, Menkeu, BP Migas dan Pertamina selesai memberikan pemaparan dan penjelasan penyebab kelebihan pembayaran subsidi alias over kuota.

“Sebenarnya sudah jelas, tidak usah masuk dalam pema­paran, tidak ada yang perlu dipertanyakan karena dasar hukumnya jelas,” ujar anggota Komisi VII, Sukarno Tomo, dalam rapat kerja Komisi VII dengan Menteri ESDM, Menteri Keuangan, BPH Migas dan Perta­mina, Selasa (6/3).
Menurut Sukarno, landasan penambahan dana over kuota, ada 6 (enam) landasan hukum, mulai dari APBN, Perpres dan lainnya. “Ada pasal 17 APBN, Pemerintah diperbolehkan menambahkan pem­belian BBM over quota karena darurat,” ujar Sukarno seperti dikutip detik.com.
Pernyataan Sukarno tersebut sontak ditolak beberapa anggota Komisi VII lainnya. Terdengar sautan. “Kalau tidak perlu keluar saja!”. Maksudnya, keluar dari ruangan Komisi VII.  Teriakan itu tersebut membuat emosi interupsi yang dilakukan Sukarno.
Sebelumnya, Menteri Keuangan, Agus Martowardojo juga mengung­kapkan suasana ketegangan yang dia tangkap saat menghadiri sidang di Komisi VII. “Saya tangkap suasananya tegang,” ujar Agus.
Sementara dalam tanggapan anggota Komisi VII, Andi Kastela, juga mempertanyakan alasan over kuota yang disebutkan salah satunya diakibatkan tambahan jumlah mobil sekitar 900.000 unit di 2011. “Artinya kan BBM bersub­sidi dinikmati orang kaya, karena ada 900 ribu mobil yang menik­matinya,” ujar Ali.
“Saya menduga, karena bapak bilang baru menjabat Menteri ESDM bisa dibilang bapak dika­dalin bapak dibawah kendali, kalau over kuota disebabkan tambahan kendaraan umum tidak masalah, tapi ini kendaraan pribadi, apalagi Mantan BPH Migas bilang 83%-90% BBM subsidi lepas sasaran,” tandas Ali.
Selasa kemarin, secara resmi pemerintah telah mengusulkan kenaikan BBM bersubsidi sebesar Rp1.500 per liter dalam Rancangan Ang­garan dan Pendapatan Belanja Ne­gara-Perubahan (RAPBN-P) 2012. “Ki­ta sekarang itu mengusulkan su­paya ada kenaikan BBM bersub­sidi senilai Rp1.500 per liter di dalam RAPBN-P,” ujar Mekeu Agus Marto­wardojo di Gedung DPR RI,  Selasa
Menkeu memastikan adanya usulan tersebut dalam draf RAPBN-P tersebut karena saat ini harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) minyak sudah sulit diprediksi dan membebani angga­ran negara. “Jadi itu semua pembe­lajaran bagi kita semua dan masya­rakat untuk mencegah risiko naiknya ICP, langsung ke APBN,” ujarnya.
Namun, menurut Menkeu, opsi terbaik pemerintah dalam memu­tuskan kebijakan premium dan solar bersubsidi adalah menetapkan subsidi konstan sebesar Rp2.000. “Yang terbaik menurut pemerintah, subsidi yang dipatok, misalnya Rp.2000 per liter sehingga kemudian nanti bisa ikuti perubahan ICP,” ujarnya.
Ia menambahkan pemerintah juga akan memasukkan pasal dalam RAPBN-P untuk melakukan penyesuaian terhadap harga BBM apabila harga ICP minyak telah terdeviasi sebesar 5 persen dari asumsi yang telah ditetapkan dalam APBN.
Menolak
Dalam pada itu, dua  fraksi di anggota DPR memutuskan untuk menolak rencana pemerintah me­naik­­kan BBM subsidi menjadi Rp6 ribu per liter. “Kami sudah jelas menolak karena pemerintah seha­rusnya bisa melakukan efisiensi yang lain,” ungkap Anggota DPR-RI Komisi VIi dari Fraksi PKS Idris Luthfi Rambey ditemui usai Rapat Kerja bersama Pemerintah di Gedung DPR-RI,  kemaren.
Menurut Idris, fraksinya berpen­dapat bahwa bicara masalah subsidi BBM, selalu terkait dua hal, harga dan kuota. Meskipun dua hal ini saat ini menunjukkan gejala naik di tiga bulan terakhir ini, PKS yakin hal ini tidak akan terjadi sepanjang tahun. “Harga minyak internasional kita percaya akan turun, Amerika Serikat (AS) tidak mungkin me­nyerang Iran lama, ini hanya sementara,” lanjut dia.
Terkait dengan kuota BBM, fraksinya berpendapat saat ini baru tiga bulan pertama. Ke depan, jika pemerintah melakukan konversi dan pembatasan, pasti pemerintah akan bisa menekan kuota BBM subsidi. “Karenanya, BBM subsidi masih bisa dipertahankan,” tambah dia.
Ditemui di tempat yang sama, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) juga telah bulat untuk menolak usulan pemerintah ini. “Belanja pemerintah untuk birokrasi mencapai 51 persen dari total belanja, sementara untuk subsidi pemerintah untuk energi baru  delapan persen, itu sesuatu yang tragis,” tambah Dewi Aryani.
Menurut Dewi, sudah semenjak awal wacana ini dilontarkan, pihaknya telah bulat menolak usulan ini. “Kita sudah konsisten untuk tolak dari awal, ketua umum kami sudah tegaskan. Pemerintah masih begini korup, kita harus bisa ubah ini perlahan-lahan, rakyat harus sejahtera, “ tandas dia.
Sedangkan Ketua Fraksi Partai Demokrat, Jafar Hafzah menga­takan partainya setuju jika harga BBM naik. Dalam hal ini Partai Demokrat mengartikan kenaikan harga BBM sama dengan pengu­rangan anggaran APBN untuk subsidi BBM. “Demokrat tentu mendukung (kenaikan BBM). Pengu­rangan subsidi terjemahannya itu untuk pembangunan yang lainnya,” ujar Jafar.
Kalau harga BBM naik tentu saja memberi dampak kepada semua aspek perekonomian. Untuk itu, adanya sebuah kompensasi yang akan diberikan kepada masyarakat yang merasakan dampak langsung dari kenaikan harga BBM. “Go­longan yang kena dampak langsung bisa berikan kompensasi, seperti padat karya, pemberian lapangan kerja baru,” papar Jafar Hafzah.
Agar kompensasi itu bisa ter­lak­sana dengan baik dan sesuai target, Jafar meminta kepada para stake holder untuk bersatu mem­bantu, agar kompensasi bisa tercapai. “Tentunya stake holder yang lain memberikan dukungan, kita selalu lobi pemahaman penger­tian, terlanjut APBN,” paparnya.
Namun menurut anggota DPR RI dari Fraksi Partai Gerindra Sadar Subagyo, belanja birokrasi yang sangat besar dalam APBN sudah selayaknya dipangkas ketim­bang menghapus subsidi BBM untuk ratusan rakyat Indonesia. “Pantas dan adilkah jika subsidi BBM yang dirasakan oleh ratusan juta rakyat dan dengan nilai yang juga tidak terlalu besar dihapus,  sementara APBN membengkak hanya untuk belanja birokrasi,” tegasnya.
Menurut Sadar, kalau dicermati secara seksama, ada hal yang ironis dalam pengalokasian APBN. Dia menyebut, anggaran  belanja biro­krasi semakin tahun semakin membengkak. Bahkan, dalam kurun waktu 7 tahun sajha dan bahkan dalam kurun waktu 7 tahun (2005-2012) terjadi kenaikan hingga 400 persen.
Pada tahun 2005 saja, anggaran belanja birokrasi dalam APBN sebesar Rp 187 triliun dan jumlah itu terus membengkak dari tahun ke tahun menjadi Rp 733 triliun pada APBN 2012.
Sadar mengemukan,  dilihat dari angka-angka ini, bisa membuat semakin tercengang bila ditilik jumlah aparat birokrasi Indonesia yang hanya 4,6 juta aparat. “Arti­nya setiap satu orang aparat birokrasi mendapatkan porsi belan­ja dari APBN sebesar lebih dari Rp150 juta per tahun,” ujarnya.
Apabila dibandingkan dengan nilai subsidi BBM yang dialo­kasikan dalam APBN untuk kurun waktu yang sama, yakni dari 2005 hingga 2012, kenaikkan untuk subsidi itu hanya sebesar 29 persen saja. Pada 2005, alokasi APBN untuk subsidi BBM adalah Rp95,6 triliun dan pada tahun 2012, alokasi itu menjadi sebesar Rp 123,6 triliun. Dari perbandingan dua pos ang­garan dalam APBN tersebut, menurut politisi Partai Gerindra itu, terjadi ketimpangan luar biasa antara belanja birokrasi dengan subsidi BBM, yakni subsidi BBM untuk ratusan juta rakyat Indonesia nilainya hanya hanya 17 persen saja dari total belanja birokrasi 2012.
Terpisah, Ketua Umum Rela­wan Perjuangan Demokrasi, Masin­ton Pasaribu  menyatakan, peme­rintah SBY-Boediono harus mau mendengarkan aspirasi dan suara penderitaan rakyat, terutama terkait dengan kebijakan menaik­kan harga  BBM “Apalagi kebijakan menaik­kan harga BBM pasti diiku­ti dengan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok dan kenaikan biaya transportasi,” ujar Masinton.
Seharusnya, lanjut Masinton, dengan kenaikan harga minyak internasional, pemerintah tidak asal tunduk pada kepentingan asing dan mekanisme pasar internasional. Apalagi  keputusan Mahkamah Konstitusi tahun 2004 sudah membatalkan Pasal 28 Ayat 2 UU Migas/2001 soal pelepasan harga minyak dan gas bumi untuk mengi­kuti harga pasar. “Karena pasal 28 ayat 2 UU Migas/2001 berten­tangan dengan Pasal 33 UUD 1945,” tegasnya. (h/dn/sam/rm/dtc)
http://www.harianhaluan.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar