Featured Video

Minggu, 08 April 2012

KOMUNITAS TEATER PADANG PANJANG MENGUAK RUANG PUBLIK


Ditulis oleh Teguh
CATATAN IVEN PANGGUNG PUBLIK SUMATERA 2012
Kesadaran untuk men­ciptakan ruang kehidupan kesenian di luar tembok lemb­aga pendidikan yang beran­gkat dari kesadaran kepada betapa terbatasnya ruang ruang kelas, dan pada sisi lainnya menjawab tantangan atas tudingan sejumlah kal­angan masyarakat terha­dap lembaga, dalam hal ini Instit­ut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang (PP) yang dianggap hanya menciptakan produk dan karya yang hanya dinik­matinya sendiri. Tentu saja berbagai tudingan itu tak sepenuhnya benar.

Tak sedikit karya yang bisa kita anggap produk yang bisa kita anggap mengisi khasanah konte­mporer di dalam seni pert­unjukan, musik dan tari sepa­njang beberapa dekade ter­akhir menjadi tolok ukur perkembangan seni panggung di tanah air. Mungkin yang ditudingkan oleh sejumlah kalangan terhadap ISI-PP adalah, posisi ISI-PP di lingku­ngan terdekatnya: ba­gaimana kontribusi lem­baga pendidikan tinggi kesenian yang bergengsi itu kepada masyarakat seki­tarnya.
Di antara silang sengkarut opini itulah sejumlah aktivis teater di Padang Panjang yang dimotori oleh Teater Sakata dan dengan dukungan Jurusan Teater ISI-PP dan Wawalkot Padang Panjang menyusun rencana kerja untuk me­masu­ki berbagai ruang-ruang publik, menghadapkan teater dengan warga di lingkungannya. Acara yang diselenggarakan pada tanggal 26-27 Maret itu, berkaitan dengan World The­atre Day 2012 (Hari Raya Teater se Dunia), dengan tema Panggung Publik Sum­atera.
Rencana disusun sejak berbulan-bulan yang lalu, dengan prinsip, bagaimana memasuki dan menguak rua­ng-ruang publik. Kesadaran untuk memasuki dan ber­dialog dengan publik terasa begitu menggetarkan, sebagai otokritik terhadap dunia teater itu sendiri dan sekaligus sistem pendidikan kesenian yang dianggap telah mem­asuki kotak-kotak yang me­mbuat dirinya dan anak didiknya bagaikan ikan-ikan hias di dalam akuarium: su­atu kondisi yang mengingkari posisi kesenian di dalam sejarah sosial di lin­gku­ngannya.
Namun, nampaknya upaya untuk menggugat dan m­enguak ruang-ruang publik yang didasarkan kepada ke­sad­aran ku­ltural itu, na­mpaknya tak sepenuhnya mendapatkan sambutan yang se­me­stinya. Sejarah sosial politik yang disisakan oleh rejim Orba melalui birokrasi dan politik perijinan sebagai alat kontrol terhadap warga, sa­mpai kini masih me­ngun­gkung. Di balik k­ungku­ngan itu, juga te­rdapat  sejenis pat guli­pat yang sudah me­njadi bagian dari pe­mbusukan birokrasi: “amplop”, agar perijinan dan ruang dapat terbuka bagi warga untuk mengisi ruang publik itu. Di sini kita menemukan realitas, bahwa kom­odifikasi ruang publik bukan hanya dalam be­ntuk bagaimana peng­elola kota melakukan politik eko­nomi dengan menggusur dan menjual lahan kepada pemilik kapital kelas kakap, mi­salnya untuk mall atau real estate. Tapi juga bagaimana politik dan birokrasi perijinan m­enerapkan kekuasaannya untuk memeras warga.
Ruang Publik yang Berb­ayar
“Amplop” itulah yang diha­d­api oleh panitia Panggung Publik Sumatera: pengelola Stasiun Padang Panjang meminta tiga juta rupiah jika panitia ingin menggunakan halaman dan ruang stasiun sebagai ruang pertunjukan. Sementara itu, lapangan di dekat Koramil Padang Pa­njang, secara tak langsung dengan dalih birokrasi peri­jinan, ujung-ujungnya “amplop” pula yang diminta. Ironi dari politik birokrasi perijinan keramaian di ruang publik ini, nampaknya pihak pengelola instansi sipil-polisi-militer tak mengetahui dan memahami Surat Keputusan Bersama (SKB) Empat Menteri Tahun 1995, yang menyatakan bahwa kegiatan warga di bidang apapun khususnya senibudaya di ruang publik, tak diperlukan perijinan. Yang dibutuhkan hanya pemberitahuan, dan instansi berwewenang be­rkewajiban memberikan pela­yanan. Namun, realitas yang ada di hadapan warga jauh berbeda dengan harapan: tatanan hukum hanya di atas kertas!
Di antara sengkarut dan pembusukan birokrasi yang ada di sekitar kita, nam­paknya masih ada pel­uang yang memungkinkan grup teater, pelaku monolog, per­formance artserta mime theatre menyajikan dirinya, dan menyapa warga dengan karyanya. Maka dengan sigap panitia mengalihkan kebe­berapa lokasi. Dan lokasi sebagai ruang publik itulah yang menjadi batu ujian bagi mereka untuk mencoba men­guak kemungkinan keha­diran seni pertunjukan di hadapan publik Padang Panjang.
Maka Teater Sakata me­milih lokasi di per­ta­mbangan batu kapur Bukit Tui dengan lakon Dongeng Mande Dari Bukit Tui yang didasarkan kepada pengamatan posisi dan nasib kaum perempuan pekerja pertambangan. Pilihan ini memiliki resiko atas per­tunjukan itu sendiri, yang nampak terasa akrab karena menggunakan bahasa lokal, yang menjadi elemen penting di dalam penyajiannya, di samping tema yang terasa sebagai bentuk “teater ter­libat”. Namun penyajian pada sore hari, pada waktu mereka bekerja, bukan pilihan yang tepat waktu. Saya me­m­bayangkan, jika saja pem­entasan itu sehabis wa­k­tu isya, sangat mungkin warga di sekitar akan ikut me­nyaksikannya.
Yang menarik monolog Complicated, garapan Kurnia­sih Zaitun dalam pola tukang obat memilih lokasi pe­rto­koan Pasar Padang P­anjang. Garapan yang pas dengan situasi pasar dan aktor mo­nolog yang menguasai materi dengan baik, melibatkan penonton. Jika pada tahun 1970-an orang bicara tentang “teater total”, pola garapan inilah yang bisa kita katakan jenis teater itu. Berbeda dengan Lee Production dengan lakon yang sesungguhnya milik warga, Malin Kundang, bukan saja tak ada tafsir yang baru atas cerita itu, bahkan sa­jiannyapun terasa gagap dan gugup. Dalam konteks Malin Kundang inilah dari pers­pektif eksistensial kita men­yaksikan tubuh aktor yang terbelah dan sekaligus term­arjinalkan oleh sistem: ruang publik membuatnya menjadi terasing, dan pada sisi lainnya sistem pendidikan tak men­gantarkannya ke dalam pem­ahaman ruang sejarah sosial lingkungannya, di sa­mping tehnik yang tak cukup me­madai.
Tentu, semua pelaku teat­er mengalami kegamangan ketika memasuki ruang publik. Namun selalu pula ada upaya bagaimana ruang yang sesu­ngguhnya bagi pergaulan biasa tak asing, kenapa di dalam dunia kesenian menjadi asing. Untuk itulah, proses ke a­rah pemahaman melalui se­jenis “riset” dan memasuki p­erga­ulan secara akrab, dan tentu saja dibutuhkan berbagai “teknik” agar jarak sosial bisa diatasi. Dalam konteks itulah Teater 9 Ruang dengan lakon karya Arifin C. Noer, Matahari di Sebuah Jalan Kecil di Pasar Sayur terasa dekat, dan ter­asa pula ada keinginan untuk memahami ruang secara akrab, yang disesuaikan de­ngan lakon garapannya, dan tanpa pernak pernik tata lampu, yang biasanya bisa jadi beban. Di lokasi yang sama pula mime theatre mengusung lakon Batu bertema para penambang batubara di jaman kolonial yang ditimba dari hasil pengamatan di Sawah Lunto, dengan sedikit besutan, lumayan berhasil menciptakan efek dramatis.
Perlu dipikirkan secara mendalam oleh pelaku teater apa yang diungkapkan oleh Yusril, Dosen Jurusan Teater ISI-PP, “kemungkinan pelaku teater hanya seperti mem­indahkan panggung”. Dan itu menjadi otokritik penting, seperti kritik kepada dirinya yang mengusung Orang-Orang Bawah Tanah yang disajikan di halaman Gedung Sjafei, yang dibiarkannya cair, untuk menghindari kesan pemi­ndahan panggung. Dan hal itulah yang diupayakan oleh pelaku teater dalam bentuk monolog dan grup di halaman Gedung Sjafei, walaupun masih juga terasa terjebak ke dalam garapan pola panggung teater di dalam gedung, terkec­uali Andi Jagger yang men­gu­sung Ko­ruptor Yang Budi­man.
Memasuki ruang publik memil­iki resiko eksistensial bagi­ siapa saja, bukan hanya dala­m dunia kesenian. Seg­regasi sosial akibat perk­embangan ekonomi yang tim­pang dan pola konsumsi serta life style, dan di sisi lain k­etercerabutan dari ruang kesejarahan di mana tradisi berhimpitan dengan mo­dere­nisasi menciptakan batas ambang yang membuat siapa saja tertatih-tatih, bahkan gagap dan gugup. Untuk itulah, memasuki dan ber­usaha menguak ruang publik, seperti pernyataan Yusril, “menjadikan teater milik semua orang” sesungguhnya mempertaruhkan seluruh makna diri. Dan keseluruhan mak­na diri ini membutuhkan perangkat analisis dan kehe­ndak yang bukan hanya pada waktu peringatan World The­atre Day.
Pengamatan secara intensif, pergaulan sosial dengan  lingkungan yang akan dimasuki dan menjadi bagian kehidupan, semuanya hanya bisa dikerjakan secara ko­ntinyuitas, bukan sepotong-potong dan sporadis. Sebab, perlu kita renungkan, pikirkan secara mendalam dan me­nyusun rencana kerja kebu­dayaan. Itulah berkah dari apa yang telah terjadi pada tanggal 26-27 Maret, di mana kita merasakan antusiasme warga menyaksikan teater. Dan ini suatu bukti bahwa warga Padang Panjang memiliki watak terbuka, dan masih dalam kondisi yang cair. Pada sisi lainnya, seperti yang diungkapkan oleh Wawalkot Padang Panjang, “mari kita coba lagi pada bulan D­esember 2012”.


HALIM HD
(Networker Kebudayaan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar