Featured Video

Jumat, 01 Juni 2012

KWAK DESAK LANTAMAL II HENGKANG-TINDAK KEKERASAN TERHADAP WARTAWAN

Koalisi Wartawan Anti-Kekerasan (KWAK) mendesak agar Lantamal II hengkang dari Kota Padang dan meminta agar komandannya dicopot. Aksi solidaritas digelar di pelbagai kota di Sumbar.




 Sekitar 150 wartawan tergabung dalam Koalisi Wartawan Anti-Kekerasan (KWAK) Sumbar mendatangi gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Barat di Jalan Khatib Sulaeman Padang, Rabu (30/5), terkait kekerasan, perampasan dan penga­niayaan yang dilakukan sejumlah prajurit TNI Angkatan Laut terhadap enam wartawan yang sedang mela­kukan tugas jurnalistik di Batu Cadas, Kelurahan Gates Nan XX, Lubuk Begalung, Padang, Selasa (29/5) lalu.
KWAK Sumbar mendesak agar Pangkalan Utama TNI Angkatan Laut (Lantamal) II Padang, hengkang dari Kota Padang karena dinilai tak memberi rasa nyaman bagi masyarakat. KWAK terdiri organisasi wartawan, antara lain Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), Persatuan Jurnalis Indonesia (PJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), dan juga wartawan independen tanpa organisasi.
Menjelang menuju kantor dewan, ratusan wartawan berasal dari berbagai lintas organisasi itu, melakukan konvoi.
Sesampai di Kantor DPRD, wartawan menggelar orasi dan aksi penorehan tanda tangan di benta­ngan kain putih yang isinya mengu­tuk tindak kekerasan marinir itu.
“Kami meminta DPRD Sumbar ikut mendesak agar Komandan Lantaman II Padang dicopot dari jabatannya,” kata Hendra Makmur, Ketua AJI Padang, dalam orasinya.
“Kami meminta agar Polisi Militer Lantamal mengusut tuntas secara transparan proses hukum tindak pidana penganiayaan dila­kukan terhadap wartawan,” ujar Rino Zulyadi, Koordinator Lapangan Aksi, yang juga Ketua IJTI Sumbar.
Sekitar pukul 11.00 WIB, Ko­mandan Lantamal II Padang, Brigadir Jenderal (Mar) Gatot Subroto tiba di gedung DPRD bersama jajarannya. Ia disambut teriakan ratusan wartawan. “Usut tuntas! Usir Marinir!”
Ia datang atas desakan war­tawan agar hadir untuk menun­taskan masalah kekerasan itu. Tak mau diiming-imingi dengan per­damaian dan negosiasi, perwa­kilan wartawan memaparkan aksi ke­kera­san dan kerja sama yang berjalan baik selama ini dengan TNI AL. Pertemuan difasilitasi Ketua DPRD Sumbar Yultekhnil digelar di Ruang Khusus yang juga dihadiri wartawan senior Gusfen Khairul, Khairul Jasmi, Asril Koto, dan lainnya.
Roni Putra, Ketua Koordinasi KWAK, dalam pertemuan itu menyebutkan kronologis dan latar belakang terjadinya aksi kekerasan puluhan prajurit TNI AL yang telah merusak, merampas dan meng­hancurkan kamera dan memori data wartawan yang meliput.
“Kami melihat, perampasan itu merupakan upaya penghapusan barang bukti adanya bisnis lendir dan kafe ilegal di Kota Padang yang dibeking prajurit TNI AL di sepan­jang Bukit Lampu dan Batu Cadas itu?” kata Roni Putra disambut yel-yel: “Hidup Wartawan!”
Aksi kekerasan ini harus disikapi dengan pemindahan Lantamal dan peme­catan oknum yang diduga telah menganiaya dan merampas kamera dan memori wartawan.
“Pekerjaan jurnalistik dilindungi oleh UU Pokok Pers tahun 1999. Untuk itu kekerasan terhadap wartawan yang sedang menjalankan tugasnya mesti ditindak secara tegas dan transparan, tanpa ada upaya-upaya pendamaian. Kami sangat menghormati UU TNI, tapi tolong hargai UU Pers,” tegas Hendra Makmur, yang sehari-harinya bekerja di Harian Media Indonesia.
Sementara dalam pernyataan sikapnya, para wartawan diwakili Rino Zuliadi, mengutuk aksi kekerasan yang dilakukan oknum TNI AL terhadap wartawan, meminta polisi mengu­sut tuntas kasus secara transparan, memastikan proses hukum pidana penganiayaan dilaksanakan secara benar dan seadil-adilnya.
“Kami juga meminta Danlan­tamal mengganti dan mengem­balikan kamera yang dirusak serta kaset dan memori yang dirampas,” tegasnya.
Usut Tuntas
Yulteknil mengatakan, selain mengapresiasi upaya penghapusan penyakit masyarakat, DPRD Sum­bar, juga mendukung pengusutan secara tuntas kasus kekerasan dan penganiayaan.
“Untuk pemecatan, harus dikoor­dinasikan dengan institusi yang diduga melakukan tindak penga­niayaan tersebut,” kata Yulteknil.
Selain itu, DPRD Sumbar dalam unjuk rasa kemarin juga me­nya­takan sepakat untuk memindahkan Lantamal kembali ke Kepulauan Mentawai.
Roni Saputra dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Pa­dang juga meminta pernyataan tegas DPRD Sumbar untuk men­desak pihak kepolisian mengusut penganiayaan, tak hanya kepada wartawan, namun juga beberapa warga sipil yang menjadi korban.
“Ini merupakan kekerasan kedua yang dilakukan TNI terhadap wartawan. Harus ada komitmen yang jelas dari DPRD dan polisi untuk menindak tegas oknum yang tidak manusiawi ini,” kata Roni Saputra.
Ketua PWI Cabang Sumbar H. Basril Basyar mengatakan, seorang wartawan dalam menjalankan tugasnya dilindungi undang-undang.
“Menghalangi wartawan saja mendapatkan informasi, bisa dituntut di pengadilan, apalagi sampai dipukuli dan dirusak alat kerja mereka. Ini jelas tidak bisa dibiarkan,” kata Basril Basyar.
Ia meminta untuk segera menun­taskan kasus tersebut hingga ke akar-akarnya. Sebab bila tidak, kata dia lagi, maka hal ini akan jadi preseden buruk di kemudian hari.
Gubernur Sumbar Irwan Prayitno menegaskan, tidak ada tempat untuk berbuat maksiat di daerah ini. Masyarakat Sumbar adalah masyarakat religius dan mayoritas memeluk agama Islam. Program yang diusung pemerintah pun mengutamakan pemberantasan maksiat.
“Masyarakat Sumbar sangat religius, tidak ada tempat untuk maksiat di daerah ini. Untuk mewujudkan hal itu diharapkan  dukungan dari semua elemen termasuk TNI dan Polri,” kata Irwan.
Pihaknya tidak menampik adanya dugaan pondok-pondok yang dibongkar itu dibekingi anggota TNI, tetapi itu adalah oknumnya. Sebab diyakini secara stuktural TNI AL tidak akan mendukung aksi terse­but. Dalam kasus ini, hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu.
Dari Kota Bukittinggi dila­porkan, puluhan puluhan wartawan dari berbagai media melakukan aksi solidaritas terkait kasus kekerasan yang dilakukan marinir kepada wartawan. Aksi solidaritas tersebut berpusat di kawasan Jam Gadang dihadiri Adeks Rossye Mukri, Ketua PWI Bukittinggi.
Wartawan Bukittinggi mendesak Panglima TNI untuk mengusut tuntas kasus kekerasan tersebut dan memberikan sanksi seberat-beratnya bagi anggotanya yang bersikap premanisme kepada wartawan, karena profesi wartawan dilindungi oleh undang-undang pers. Dan meminta Panglima TNI meng­kaji kembali keberadaan Lantamal II di Kota Padang.
“Kawasan marinir adalah di laut, dan lebih cocok markasnya berada di sekitar perbatasan perairan Sumbar. Jika di Kota Padang, kinerjanya tidak akan maksimal, dan bisa saja aksi kekerasan itu akan terulang terus menerus pada masa mendatang,” ujar Adeks Rossye Mukri.
Ketua PWI Pessel Rinaldi Dasar menyebutkan, reformasi TNI yang digaungkan itu ternoda oleh tinda­kan oknum TNI AL tersebut.
“Jikalau wartawan bersang­kutan tidak melakukan tugas sesuai aturan atau tidak sesuai dengan hukum dan perundangan yang berlaku, maka TNI dapat me­nempuh jalur hukum, jadi tidak main pukul seperti itu,” katanya. (h/dla/nas/ang/wan/vie/naz/met)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar