Featured Video

Sabtu, 23 Juni 2012

NAGARI DIGULUNG OLEH RUU DESA


Rancangan Undang-Undang (RUU) Desa yang belum kunjung menjadi Undang-Undang di DPR RI itu masih saja belum bisa mengakomodir semangat kearifan lokal dengan tetap memperta­hankan sebutan ‘nagari’ untuk Sumatera Barat dan bukan dengan sebutan ‘desa’ sebagaimana ada di Jawa.

Kemarin misalnya, di gedung DPR juga berlangsung diskusi hangat tentang RUU yang tergantung-gantung itu.
Ketua Pansus RUU Desa Akhmad Mugowam menyatakan sudah mengunjungi Sumatera Barat dan menyebutkan dirinya telah menerima aspirasi dari daerah khususnya dari Sumatera Barat bahwa masyarakat menolak penyebutan ‘desa’ sebagai sebutan pemerintahan terdepan.
Kita merasa ada semangat dalam RUU itu untuk menyamaratakan saja dari Sabang hingga Merauke penyebutan nomenklatur pemerintahan terendah dengan sebutan desa.
Padahal istilah desa lebih banyak dikenal di Jawa dan jika tetap menggunakan nama ‘desa’ sepertinya ada pemaksaan untuk penyeragaman. Salah-salah, itu bisa ditafsirkan publik sebagai sebuah upaya jawanisasi.
Sebuah wacana dari Peneliti Institute for Research and Empowerment, Sutoro Eko Yunanto, menyebutkan bahwa nama ‘Desa’ harusnya jadi nama Bahasa Indonesia yang mempersatukan. Sepertinya Sutoro tidak memahami apa dan bagaimana tata nagari di Minangkabau. Bahwa Nagari tidak sekedar bentuk pemerintahan terdepan, tetapi juga merupakan institusi budaya.
Jadi sangat naif jalan pikiran Sutoro kalau akan menyamaratakan penyebutan nomenklatur pemerintahan terdepan itu.
Mestinya RUU Desa itu mempersatukan, dan bukan bersemangat menceraiberaikan. Penyeragaman yang dimaksud dalam RUU Desa itu tentu membuat ada akar budaya yang tergerus di Minangkabau. Dulu saja ketika nagari dipecah menjadi desa-desa, lembaga Nagari masih tetap ada.
Sekarang dengan menjadikan nagari-nagari setingkat desa-desa di luar Sumatera Barat dan kemudian menyebutkan sebagai desa, maka Nagari mau dikemanakan? Bukankah dengan demikian berarti terjadi perpecahan dan ketidakbersatuan?
Pancasila sudah memberi isyarat kepada kita, bahwa keanekaragaman budaya itu adalah ujud dari persatuan. Ia dibingkai dalam satu kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jangankan penyebutan nama yang berbeda dari satu daerah dengan daerah lain, bangsa yang jumlahnya lebih 200 juta ini pun memiliki agama yang berbeda-beda, tetapi tetap bersatu dengan senantiasa menghormati eksistensi tiap agama. Penghormatan kita pada eksistensi tiap agama, suku dan ras, kurang lebih harus seperti itu juga kita berikan kepada budaya. Jika Nagari adalah sebuah institusi budaya, lalu ia diganti dengan desa demi sebuah RUU, tidakkah itu kita mencederai persatuan?
Kita justru jadi sangsi dengan semangat yang ada dalam RUU Desa itu sebagai sebuah semangat memperbaiki pembangunan di daerah. Justru itu agak mirip dengan cara orde baru yang sangat sentralistik. Penyeragaman yang sentralistik itu seperti kasus desanisasi dalam UU No 5 tahun 1979, Nagari di Sumbar jadi kehilangan marwah.
Tak hanya sistem Nagari yang sudah hidup berabad-abad yang hilang, di Bali sistem Desa Adat, Mukim di Aceh, Marga di Sumsel dan Negeri di Maluku ikut hilang dari nomenklatur tata pemerintahan paling bawah akibat penyeragaman desanisasi oleh UU No 5 tahun 1979 itu.
Sekarang UU baru akan dibuat lagi dengan mengulang masalah yang sama. Tidakkah itu sebagai bentuk dari penyengajaan dari pemerintah pusat untuk tidak peduli dengan kearifan lokal.
Dan yang paling tidak enak itu adalah ketika kita di daerah harus mempertanyakan apakah semangat otonomi yang didengungkan sejak awal reformasi hanya isapan jempol?
Meskipun mengalami ‘luka’ di sana-sini tetapi desentralisasi yang ditetapkan di Indonesia sejak beberapa tahun lalu sempat membawa rasa optimisme bagi bangsa ini tentang masa depan politik lokal menuju level tertingginya.
Kita sudah menjadi gembira ketika ada sejumlah urusan yang sudah dan seharusnya bisa ditangani orang daerah lalu diserahkan kepada daerah. Sejumlah kewenangan yang tidak perlu dikakok (dipegang) oleh orang Jakarta sudah diserahkan kepada pemerintahan di daerah.
Lalu sekarang ini dengan kembali menghilangkan Nagari dan atau nama lain yang dipakai di berbagai Provinsi di luar Jawa dari nomenklatur tata pemerintahan, apakah itu tidak berarti kita memperolok-olok otonomi daerah?
Kita menaruh harapan kepada 14 anggota parlemen dari Sumatera Barat di DPR RI dan 4 Senator di DPD RI untuk mempertahankan dengan gigih keberadaan Nagari. Kita tunggu makan tangan mereka. Jika gagal, jangan pernah percaya lagi kepada mereka.***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar