Featured Video

Sabtu, 14 Juli 2012

"Intrusi kapitalisme" hambat perkembangan koperasi

Hasil kajian riset Kelompok Studi Perdesaan Universitas Indonesia menemukan bahwa "intrusi kapitalisme" yang kian mendalam adalah salah satu faktor paling utama koperasi di Indonesia belum bisa berkembang dengan baik.

"Dan juga ditambah dengan berkembangnya demokrasi liberal di Indonesia," kata anggota peneliti Kelompok Studi Perdesaan Universitas Indonesia Nia Elvina, MS.i di Jakarta, Sabtu.

Ia mengemukakan kondisi  tersebut menyebabkan luntur atau lemahnya rasa solidaritas dan kesadaran akan harga diri yang merupakan basis utama berdirinya koperasi yang baik. 

Ia mengatakan bahwa dalam situasi semacam itu, orang lebih cenderung mengutamakan kepentingan pribadi dan merasa terlepas dari ikatan masyarakat. 

"Partisipasi masyarakat untuk memperjuangkan dan membela kepentingan bersama itu mengalami degradasi yang sangat tajam," katanya.

Hal lainnya yang menjadi masalah adalah basis dari struktur sosial masyarakat yang sangat lemah.

"Misalnya untuk petani tanah merupakan basis struktur mereka, tetapi kebanyakan petani merupakan buruh tani atau "landless" (tidak memiliki tanah), sehingga mereka tidak mempunyai faktor produksi," katanya.

"Bagaimana mereka bisa membentuk koperasi jika`resources` mereka tidak punya," katanya.

"Begitu juga dengan nelayan. Jika mereka tidak mempunyai kapal yang mumpuni sebagai alat tangkap mereka. Kapal bagi nelayan mereka basis struktur sosial mereka," tambah Nia Elvina, yang juga Sekretaris Program Ilmu Sosiologi Universitas Nasional (Unas) Jakarta. 

Faktor yang terakhir, kata dia, adalah kebijakan pemerintah seharusnya sinergis jika mereka sungguh-sungguh ingin memajukan perekonomian masyarakat Indonesia khususnya kelas bawah.

Ia mengatakan, dulu dikenal kementerian yang menangani masalah perekonomian masyarakat dengan Menteri Transmigrasi, Koperasi dan Pembangunan Perdesaan. Kemudian, ada Menteri Distribusi, Menteri Produksi.

"Kadang-kadang para pengambil kebijakan di negara kita ini sangat sering a-historis, sehingga lebih senang mengimpor kebijakan dari luar ketimbang menggali dari sejarah dan masyarakat kita sendiri," katanya.


antaranews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar