Featured Video

Sabtu, 14 Juli 2012

Jam Gadang Direhab


 Jam Gadang sebagai ikon Kota Bukittinggi dan Provinsi Sumbar pada umumnya, kembali direhabilitasi.
Pada rehab tahap kedua ini hanya berfokus pada per­baikan drainase, perbaikan lantai, serta perluasan pema­garan di sekitar Jam Gadang.

Dilihat dari kondisi sebe­lumnya, sistem drainase di sekitar Jam Gadang agak sedikit tak terawat. Ketika hujan mengguyur, lantai dasar Jam Gadang sering digenangi air, sehingga dikhawatirkan mempengaruhi keawetan stuk­tur lantai dasar di Jam Ga­dang. Atas dasar tersebut, perbaikan drainase Jam Gadang dilakukan.
Setelah sistem drainase tersebut selesai, lantai kera­mik  di lantai dasar Jam Gadang akan ditukar, agar terlihat bersih dan indah. Selain itu, pagar yang seka­rang ada di Jam Gadang juga akan dicopot dan dipasang lagi, yang luasnya sedikit lebih lebar dari sebelumnya.
“Rehab Jam Gadang ini merupakan rehabilitasi tahap kedua. Pada tahun lalu juga dilakukan rehab struktur bangunan dan pengecatan ulang. Rehab ini dilakukan agar Jam Gadang tetap ter­lihat indah, tidak rapuh dan tidak kusam meski telah berusia tua,” ujar Yusrizal, Koordinator Pelaksana Lapa­ngan Rehabilitasi Jam Ga­dang Tahap II, dari Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kota Bukittinggi.
Yusrizal mengatakan, pro­ses rehab Jam Gadang tahap kedua telah dimulai semenjak 28 Juni 2012. Namun Ia belum memastikan kapan rehabilitasi tahap dua itu akan selesai, karena tidak ada target waktu rehabilitasi yang ditetapkan.
Ia menjelaskan, dana reha­bilitasi ini merupakan dana swakelola atau hibah dari Badan Pelestarian Pustaka Indonesia (BPPI) Jakarta. Namun Yusrizal mengaku tidak mengetahui jumlah dana hibah tersebut, dan menga­takan bahwa dirinya hanya sebagai pelaksana lapangan yang tak pernah diberitahu berapa jumlah dana rehab tersebut.
Dilihat dari sejarah berda­sarkan Wikipedia, Jam Ga­dang dibangun pada tahun 1926, sebagai hadiah dari Ratu Belanda kepada Rook Maker, sekretaris atau contro­leur Fort de Kock (sekarang Kota Bukittinggi) pada masa pemerintahan Hindia Be­landa. Arsitektur menara jam ini dirancang oleh Yazin Sutan Gigi Ameh, sedangkan pele­takan batu pertama dilakukan oleh putra pertama Rook Maker yang pada saat itu masih berusia 6 tahun.
Pembangunan Jam Ga­dang menghabiskan biaya sekitar 3.000 Gulden, biaya yang tergolong fantastis untuk ukuran waktu itu. Sehingga sejak dibangun dan sejak diresmikannya, menara jam ini telah menjadi pusat per­hatian setiap orang. Hal itu pula yang mengakibatkan Jam Gadang kemudian dija­dikan sebagai penanda atau markah tanah dan juga titik nol Kota Bukittinggi.
Sejak didirikan, menara jam ini telah mengalami tiga kali perubahan pada bentuk atapnya. Awal didirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, atap pada Jam Gadang berbentuk bulat de­ngan patung ayam jantan menghadap ke arah timur di atasnya.
Kemudian pada masa pendudukan Jepang diubah menjadi bentuk kalenteng. Terakhir setelah Indonesia merdeka, atap pada Jam Gadang diubah menjadi bentuk gonjong atau atap pada ru­mah adat Minangkabau, Ru­mah Gadang.
Renovasi terakhir yang dilakukan pada Jam Gadang adalah pada tahun 2012 oleh Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI) dengan duku­ngan pemerintah Kota Bukit­tinggi dan Kedutaan Besar Belanda di Jakarta. Renovasi tersebut diresmikan tepat pada ulang Kota Bukittinggi yang ke-262 pada tanggal 22 Desember 2010. (h/wan)

harianhaluan.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar