Featured Video

Kamis, 09 Agustus 2012

ALQURAN DAN KEBANGKITAN UMAT


Alquran yang diturunkan pada malam lailatul qadhar di bulan Ramadan sesungguhnya memberi spirit bagi umat Islam untuk me­ning­katkan penguasaan dan pengem­ba­ngan ilmu pengetahuan sehingga terjadi kebangkitan umat. Sebab kebangkitan umat Islam tidak akan dapat terwujud tanpa pe­ngu­asaan ilmu pengetahuan.

Namun kenyataannya, umat Islam kerap kali dipan­dang sebagai umat ter­bela­kang yang tidak mampu ber­saing di tingkat internasional, terutama dalam penguasaan ilmu pengetahuan. Umat Is­lam acap kali terjebak pada romantisme sejarah masa lalu dengan kemajuan dan keja­yaan Islam yang pernah terja­di pada masa daulah Umay­yah, terutama di Spanyol/Andalusia dan daulah Abba­siyah yang berpusat di Bagh­dad.
Pertanyaan besar pun muncul: kenapa umat Islam terbelakang? Banyak pakar menjawab, termasuk As-Sakib Arsalan dalam bukunya: “Li­madza taakhkharal muslimun wa limadza  taqoddamu ghairuhum?” menegaskan bahwa umat Islam terbe­lakang karena meninggalkan Alquran.
Hal ini berlasan mengingat kemajuan umat Islam di masa lampau juga dimotivasi oleh pemahaman mereka terhadap ayat-ayat Alquran. Ibn Sina, misalnya, dunia lebih menge­nalnya sebagai tokoh di bidang ilmu kedokteran, tetapi pada usia 10 tahun ia telah hafal Alquran.  Begitu pula Ibn Rasyd yang dikenal dengan ahli filsafat dan tokoh pemba­haru di Spanyol, ternyata ia ahli di bidang Fiqh dengan kitab Bidayatul Mujtahid-nya.
Masih banyak tokoh-tokoh intelektual muslim yang berpe­ngaruh di bidang sains. Na­mun sebelum mereka mem­pelajari beragam ilmu di bidang sains itu, terlebih dahulu mereka mempelajari Alquran dan ilmu-ilmu yang terkait dengannya. Dengan begitu, Alquran menjadi moti­vasi bagi mereka untuk meng­kaji dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Selain itu, wahyu pertama sekaligus perintah pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW adalah perintah membaca (surat al-‘Alaq ayat 1-5). Agaknya, suatu perintah yang aneh ketika itu, sebab masyarakat Arab tidak peduli terhadap aktivitas membaca.
Apalagi budaya mereka yang mementingkan daya ingat (hafalan); muncul rasa malu jika syair-syair yang mereka bacakan dengan meli­hat teks yang ditulis. Bagi mereka, membaca yang tertu­lis merupakan lemahnya daya ingat seseorang.
Namun, perintah membaca dari ayat pertama Alquran yang diturunkan tersebut telah menjadi fondasi utama bagi umat untuk membangun suatu peradaban. Membaca yang dimaksud tidak hanya ditujukan kepada ayat-ayat qauliyah (Alquran) yang ter­tulis saja, tetapi membaca ayat-ayat kauniyah (alam).
Sebab secara garis besar, ayat-ayat tersebut ada dua, yaitu ayat-ayat qauliyah, yaitu Alquran, dan ayat-ayat kau­niyah, yaitu fenomena alam semesta. Biasanya ayat-ayat qauliyah melahirkan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang bersifat keislaman, seperti tafsir, ilmu fiqh, ‘ulumul qur’an dan sebagainya yang selan­jutnya masyarakat lebih mengenalnya dengan sebutan “ilmu agama”.
Sedangkan ayat-ayat kau­niyah akan melahirkan ber­bagai disiplin ilmu seperti sains, sosiologi, psikologi, dan sebagainya yang selanjutnya masyarakat sering menyebut­nya dengan “ilmu umum”. Padahal kedua istilah terse­but—ilmu umum dan aga­ma—tidaklah tepat karena dapat menimbulkan dikotomi ilmu. Hal ini berangkat dari pema­haman akan sumber kedua bentuk ilmu tersebut, yaitu sama-sama berasal dari Allah SWT.
Dengan demikian, perintah membaca sebagai wahyu per­tama sekaligus perintah pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad SAW meng­i­syaratkan bahwa ayat-ayat qauliyah turut mendorong manusia untuk membaca dan menelaah ayat-ayat kauniyah.
Sebaliknya, ayat-ayat kau­niyah juga mendorong manu­sia untuk merenungkan ayat-ayat qauliyah. Sebab ketika kita menyaksikan berbagai fenomena alam, dengan sen­dirinya muncul kesadaran bahwa apa yang disaksikan merupakan sebagian kecil dari bukti kekuasaan Allah SWT. Semuanya adalah ciptaan Allah, dalam pengawasan dan pemeliharaan-Nya.
Al-Qur’an memang bukan kitab ilmiah (science), sebab yang disebut ilmiah adalah produk akal manusia serta bersifat relatif dan berubah-ubah. Sementara al-Qur’an merupakan wahyu Allah SWT yang memiliki kebenaran mutlak. Meskipun demikian, ayat-ayat al-Qur’an mengan­dung isyarat-isyarat ilmiah, sehingga setiap orang yang mengkajinya akan meng­hasilkan ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi kemas­lahatan umat.
Banyak penelitian menun­jukkan bahwa temuan ilmiah mutakhir ternyata relevan dengan ayat-ayat Alquran. Dalam surat al-Furqan ayat 53, misalnya, Allah berfirman: “dan Dialah yang membiarkan dua laut yang mengalir (ber­dampingan); yang ini tawar lagi segar dan yang lain asin lagi pahit; dan Dia jadikan antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi”.
Ternyata ayat di atas dibuktikan dengan penemuan air tawar yang terdapat di lautan. Dr. Amal al-Iraqi di Saudi Arabia bersama pene­liti Perancis Pierre Becker dan Thierry Carlin menemukan bahwa di sepanjang dasar laut Merah yang asin terdapat beribu-ribu titik sumber mata air tawar.
Sumber air ini terus-menerus mengeluarkan air tawar dan tidak bercampur dengan air laut di sekitarnya yang asin. Peneliti asal Peran­cis ini juga menyebutkan titik itu terdapat di seluruh laut dunia. Menurut mereka, hal ini bisa terjadi karena di zaman purbakala, mata air ini berada di daratan, karena gerakan geologis daratan tadi terbenam, tetapi tidak meng­hentikannya dalam meman­carkan air tawar.
Air tawar yang dipancar­kan dengan tingkat keasinan (sanitasi) kurang dari 1,4 gr/liter dan temperatur 170C. Debitnya dimusim panas 80 liter/detik dan di musim lain 120-150 liter/detik. Dengan teknologi khusus, air tadi tinggal dialurkan melalui pipa atau dikemas dalam botol.
Masih banyak contoh ayat lain yang relevan dengan temuan ilmu pengetahuan. Sayangnya, banyak kasus yang menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan mutakhir terse­but justru ditemukan oleh ilmuan non-muslim, setelah mereka menemukan, barulah umat Islam menyadari bahwa Alquran pun berbicara tentang temuan tersebut. Idealnya suatu temuan ilmiah diha­silkan oleh ilmuan muslim karena didorong oleh bacaan dan pemahaman mereka ter­hadap ayat-ayat Alquran.
Karena itu, kajian Alquran mesti dibudayakan, terutama di lembaga pendidikan formal. Namun ironis, lembaga pen­didikan yang berkembang, meskipun peserta didiknya mayoritas beragama Islam, cenderung mengabaikan kajian terhadap Alquran.
Paradigma ilmu yang di­kem­bangkan pun bersifat dikotomis. Bahkan yang lebih ekstrim, ada yang ber­pen­dapat bahwa jangan campur adukkan antara Alquran sebagai wahyu yang bersifat transcendental dengan kajian ilmu pengetahuan (science), sebab Alquran bisa merusak objektivitas pengembangan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Padahal, dalam perspektif Islam, ilmu itu bukan bebas nilai, tetapi bebas dinilai. Artinya, pengembangan ilmu pengetahuan tidak boleh ber­tentangan dengan nilai-nilai Islam. Hal ini pula yang tersirat pada surat al-‘Alaq ayat 1. Membaca dengan bismi rabbika (dengan menye­but nama Tuhanmu) meru­pakan syarat untuk membaca dan mengembangkan ilmu pengetahuan, yaitu karena Allah dan mesti sejalan de­ngan aturan Allah.
Selain itu, ayat-ayat Al­quran sebagai ayat-ayat qau­liyah tidaklah bertentangan dengan temuan ilmiah yang banyak berkembang dari ayat-ayat kauniyah. Ahmad Bai­quni pernah menegaskan bahwa jika terjadi ketidak sesuaian antara ayat-ayat Alquran dengan temuan ilmi­ah, kemungkinan disebabkan oleh dua hal, yaitu: pertama, temuan ilmiahnya keliru, atau kedua, manusia belum mampu memahami ayat-ayat Alquran tersebut.
Jadi, Alquran mesti men­jadi spirit bagi umat untuk mengembangkan ilmu penge­tahuan, baik yang bersifat qauliyah maupun kauniyah. Keduanya sejatinya dikaji dan dikembangkan secara seim­bang, sehingga corak ilmu pengetahuan yang dikem­bangkan dan dihasilkan oleh umat Islam bersifat teo-antropocentris. Maksudnya ilmu pengetahuan yang dikem­bangkan tersebut mengandung nilai-nilai keilahiyahaan dan nilai-nilai kemanusiaan. De­ngan demikian, ilmu tersebut akan menjadi kebangikatan bagi umat Islam itu sendiri.
Jika umat Islam masih mengabaikan Alquran maka kebangkitan umat Islam ha­nya angan-angan belaka. Alquran memang diakui sebagai kitab petunjuk dan penyelamat bagi umat Islam. Tetapi banyak di antara umat Islam tidak lagi menelaah kandungannya untuk diamalkan dalam kehi­dupan sehari-hari.
Alquran kadang diper­lakukan hanya sebagai hiasan lemari, diakui kesuciaannya tetapi kandungannya tidak menjadi pedoman hidup. Kan­dungannya yang sarat dengan ilmu pengtahuan tak mampu diangkat kepermukaan, se­hingga Alquran bagaikan mutiara yang terpendam di dasar lautan.
Ingatlah pesan Nabi SAW: Aku tinggalkan bagimu dua perkara, jika kamu berpegang teguh kepada keduanya kamu tidak akan tersesat selama-lamanya yaitu kitab Allah dan Sunnah Rasul(hadits). Dan janganlah menjadi umat seperti yang dijelaskan dalam firman-Nya: Berkatalah Rasul: Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur’an itu sesuatu yang tidak diacuh­kan (Al-Furqan ayat 30).
Atau jangan sampai kita termasuk kelompok yang disinggung Allah: Maka apa­kah mereka tidak mem­per­hatikan Alquran ataukah hati mereka terkunci? (Qs. Muham­mad/47: 24). Wallahu a’lam.

MUHAMMAD KOSIM

sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar