Featured Video

Sabtu, 05 Januari 2013

"Mati Ketawa" di Sidang Anggaran


Oleh: Mariska Lubis
Jalan-jalan ke Aceh selalu saja ada sesuatu yang menarik untuk diperhatikan. Ada saja cerita hingga hati tergerak untuk menelusuri dan mencari tahu lebih dalam lagi. Sebuah persidangan kasus korupsi perumahan guru kali ini tanpa sengaja ditemukan. Seru juga, bisa menjadi oleh-oleh bagi semua. Politik Anggaran merupakan kisah yang selalu menarik untuk dihikmati.

Seorang teman wartawan nasional mengajak saya untuk pergi ke pengadilan negeri di Aceh. Saya belum pernah ke pengadilan di sana, rasa penasaran membuat saya menyetujuinya. Sidang kali itu adalah sidang ketiga dari kasus terdakwa Sekretaris Dinas Pendidikan Aceh,  Zulkifli Said alias Zul Namploh. Jaksa sedang menghadirkan saksi-saksi dari para konsultan pengawas proyek dan kontraktor yang memenangkan proyek pembangunan perumahan guru di beberapa kabupaten di Aceh.
Tampak hadir di sana beberapa rekan wartawan baik dari lokal maupun nasional. Saya jadi berpikir, ini pasti menarik. Mana mungkin wartawan nasional sampai bisa hadir ke sana bila tidak menarik untuk diperhatikan. Lagipula, mereka dari sebuah instansi yang sangat berkelas dan terkenal sehingga tidak mungkin bila mereka hadir tanpa ada sebuah kisah yang patut untuk diinvestigasi lebih lanjut.
Sidang baru berjalan sekitar satu jam, saya tidak tahan untuk tidak keluar ruang sidang. Selain karena panas, saya tidak tahan untuk tidak tertawa terbahak-bahak. Tak mungkin saya tertawa di dalam ruang sidang, takut dimarahi hakim! Tak pantas dan tak sopan juga.
Saya ingin tertawa melihat wajah gemas Hakim Ketua dan para anggotanya ketika mengajukan pertanyaan kepada para saksi yang ada. Apalagi ketika hakim berkata, "Kalian harus berterima kasih kepada Jaksa karena seharusnya kalian duduk di sini bukan sebagai saksi tetapi sebagai terdakwa". Soalnya, para saksi itu jelas mengakui bahwa merekalah yang telah melakukan manipulasi dokumen dan menikmati semua uang yang sudah dibayarkan. Mereka juga bercerita kepada siapa saja mereka menyetorkan uang, seperti kepada bagian pemeriksa barang sebesar dua juta rupiah. Wardi, saksi saat itu mengakui telah menyetorkan uang sejumlah itu dengan alasan karena yang lain melakukan hal yang sama.
Nah, yang lebih membuat saya tertawa miris adalah perilaku para jaksanya. Mereka adalah jaksa penuntut umum yang menghadirkan para saksi. Seharusnya, para saksi itu memberatkan terdakwa, tetapi ini terbalik. Para jaksa justru "membantai" saksi mereka sendiri dan malah meringankan terdakwa. Bukan hanya satu saksi saja, tapi semuanya.  Lucu, ya?!
Yang lebih menarik lagi adalah ketika saya mendengarkan cerita rekan wartawan lokal yang juga kebingungan di dalam mengikuti kasus ini. Terdakwa ditangkap sebelum ada barang bukti yang sudah diuji dan jelas. Lalu, orang-orang yang sudah diperiksa dan mengakui bersalah baik secara tertulis maupun lisan, justru malah bebas berkeliaran. Jadilah timbul pertanyaan di dalam benak, "Ada permainan apakah di balik ini semua?!"
Begitu juga ketika mendengarkan dan membaca kronologis kasus ini, saya memang bukan orang hukum, tapi aneh banget kalau ada praktek hukum yang demikian. Setahu saya, sidang TIPIKOR selalu bertujuan untuk mengembalikan aset yang sudah "dicuri" sehingga dapat dikembalikan lagi ke negara. Tapi ini, orang yang didakwa justru bukan orang yang sudah menikmati uang tersebut.
Memang Zul Namploh merupakan KPA dari proyek pembangunan ini, dan beliau harus bertanggung jawab atas tanda tangan yang sudah diberikan beliau atas pencairan dana 100 persen. Jika dipikirkan sulit juga posisi beliau karena semua dokumen lampiran sudah ditandangani oleh semua termasuk PPATK dan pemeriksa barang. Jika tidak ditandatangani maka beliau bisa kena masalah juga, apalagi mengingat waktu sudah sangat mepet sekali. Waktu itu sudah di penghujung tahun dan anggaran sudah hampir ditutup. Lagipula, mana mungkin seorang pimpinan tidak percaya pada bawahannya dan memeriksa semua pekerjaan satu persatu.
Beliau baru tahu semua itu ternyata "ada olah-olah" setelah uang dicairkan dan segera mengeluarkan surat teguran kepada para rekanan kontraktor untuk segera menyelesaikan rumah yang secara laporan "sudah selesai", sementara fakta di lapangan belum selesai dan bahkan ada yang tidak dibangun sama sekali. Terbayang bagaimana keterkejutan beliau mengetahui semua itu. Surat teguran dikeluarkan hingga tiga kali dan rekanan menjawab dengan janji-janji yang tidak mereka penuhi lagi dan lagi. Keluguan ternyata bisa menjebak, ya!
Yang paling membuat saya sakit perut adalah ketika mendengarkan cerita pernyataan Mantan Kepala Dinas Pendidikan, yang waktu itu adalah pimpinan Zul Namploh. Masa,sih, pimpinan bisa tidak tahu ada kasus di tempat yang dipimpinnya?! Beliau mengaku mengetahui setelah membaca dari media massa. Pertanyaannya, "Kok, bisa?! Ke mana saja dia selama ini?" Jangan-jangan beliau tidak pernah masuk kantor dan asyik sendiri. Atau, bisa juga bermaksud mengelak tetapi sayangnya justru menjebak diri sendiri.
Rasa penasaran membuat saya mencari tahu lebih banyak lagi. Saya pun bertanya kepada para penasehat hukum Zul Namploh, Ahmad Benyamin Daniel dari Jakarta dan Kamal Farza dari Aceh. Ada temuan yang menurut saya menarik. Pertama, anggaran turun di bulan Juni sehingga waktu untuk mengerjakan proyek sangat mepet sekali. Kenapa sampai lama turunnya?! Waktu yang "mepet" di dalam melakukan pekerjaan bisa membuat pekerjaan tidak maksimal dan menjadi celah untuk bisa "mengolah". Kemungkinan korupsi sangat besar, apa ada waktu untuk memeriksa lebih detail? Apalagi bila dikaitkan dengan penilaian atas sebuah instansi pemerintahan, di mana target penggunaan anggaran secara maksimal dijadikan acuan kesuksesan dan prestasi kerja. Aduh, pantaslah bila terjadi banyak kekacauan.
Yang berikutnya adalah soal Zul Namploh ternyata ditunjuk menjadi KPA setelah proyek tender selesai dilakukan. Rekanan dan konsultan proyek itu sudah ditunjuk oleh yang bertanggungjawab atas proyek ini sebelumnya. Lantas, ke mana para panitia dan orang-orang yang bertanggungjawab atas tender dan penunjukkan pekerjaan?! Siapakah mereka?! Saksi ada yang mengatakan bahwa mereka ada yang "membeli" proyek tersebut seharga Rp. 90 juta dan ada juga yang mengatakan telah memberikan kepada seseorang berintial "RL" sebesar Rp. 60 juta. Herannya, orang tersebut tidak dipanggil atau diperiksa dengan alasan jauh karena sudah dipindahkan tugas ke propinsi lain. Kalau Nazaruddin saja bisa "dijemput" di Kolombia, kenapa yang hanya pindah ke propinsi lain tidak bisa?!
Lalu, kenapa media massa sudah memberitakan bahwa beliau adalah koruptor 20 Miliar sementara pada saat itu pemeriksaan lebih lanjut atas fakta kerugian negara belum dilakukan. Setelah diperiksa pihak investigator ternyata kerugian negara ada di angka 1,4 Miliar dan itu belum dikurangi uang yang dikembalikan oleh kotraktor dan pekerjaan-pekerjaan yang sudah diselesaikan kemudian. Nilainya pasti lebih kecil lagi. Siapakah yang memberikan dan menyebarkan informasi tersebut?! Apa maksudnya?!
Saya prihatin dengan media massa yang melakukan hal ini karena efeknya sangat "mematikan". Opini masyarakat sudah terbentuk dan membuat Zul Namploh seolah benar koruptor sehingga hukuman sosial berlaku. Padahal, belum ada bukti dan juga belum pasti benar, namun saya juga bisa membayangkan bagaimana istri, anak, dan keluarga beliau menghadapi cemooh dari masyarakat. Jika pun nanti beliau diputuskan tidak bersalah melakukan tindak korupsi, maka pasti tetap akan ada kontradiksi di dalam opini masyarakat.
Tidak bisa dipungkiri, tingkat kepercayaan masyarakat kepada hakim dan jaksa sangat rendah. Bisa saja orang berpikir, jika bebas maka Zul Namploh "membayar" untuk kebebasannya tanpa mengindahkan kebenaran yang ada. Maklum, masyarakat kita memang manusia penonton (audience people) yang senang mengolah-olah konspirasi untuk berkonflik. Lagipula, media massa dengan kebebasannya untuk berekspresi dan mengeluarkan pendapat pun tetap memiliki etika untuk memberikan berita secara objektif, kan?! Kalau sampai terjadi hal demikian, beranikah untuk bertanggung jawab?! Bila memiliki hak maka juga memiliki kewajiban, bukan?!
Oh ya, sebelum saya menulis tulisan ini di Jakarta, saya mendapat telpon dari rekan saya yang bekerja di Dinas Pendidikan Aceh. Dia bercerita ada yang "mengurung diri di kamar mandi" kantor Dinas Pendidikan selama dua jam lebih karena katanya takut diwawancara oleh media televisi nasional yang melakukan investigasi kasus ini. Orang tersebut disebut-sebut oleh saksi di persidangan sebagai yang menerima uang Rp. 2 juta untuk mendapatkan tanda tangan hasil pemeriksaan barang. Bukan hanya saksi tersebut yang melakukannya tetapi dia mengikuti yang dilakukan oleh rekan-rekan sesama kontraktor proyek.  Terlepas dari salah atau benar, namun biasanya orang yang bersalah pasti ketakutan banget. Sampai rela mengurung diri di kamar mandi sekian lama, tentunya bukan hal yang lucu. Yah, sekali lagi, entah benar atau salah, tetap saja konyol.
Politik anggaran merupakan sebuah masalah besar bagi negara ini. Menjadi lebih bermasalah lagi bila ada yang olah-olah dan lugu di dalam praktek lapangannya juga di dalam penegakkan hukum serta keadilan. Zul Namploh bisa saja juga benar bersalah bisa tidak, namun, apakah kemudian orang-orang yang sudah mengaku bersalah telah menipu dokumen dan menikmati uang hasil menipu negara ini patut untuk dibiarkan bebas berkeliaran? Kenapa jaksa dan pihak-pihak yang jelas menyaksikan semuanya tidak melakukan tindakan cepat?! Nanti kalau mereka kabur dan melarikan diri, mau bagaimana?! Bila alasannya proses hukum, maka kenapa Zul Namploh bisa dipenjara tanpa bukti yang sah bahkan setelah para pengacara meminta kejelasan hukumnya?! Ada apa sebenarnya?!
Saya jadi teringat dengan kata-kata seseorang di nasional yang aktif di dalam kegiatan hukum dan politik, "Untuk menjadi kambing hitam adalah harga yang sangat mahal di negeri ini. Itulah bahayanya elitisme politik ekonomi." Entahlah, konspirasi kambing hitam keroyokan bersama bisa saja terjadi. Terlalu banyak kemungkinannya. "Lagak" dan "Lagu" bisa membuat orang berpikir negatif dan langsung memberikan tuduhan serta hukuman, apalagi bila sudah ada unsur yang lain.
Yah, buat saya, oleh-oleh dari Aceh kali ini seru banget. Olah-olahnya, keluguannya, politik ekonomi dan anggarannya, juga keadilan hukum serta pengadilan masyarakatnya sangat seru untuk bisa dijadikan bahan terus berkonflik dan berkorupsi jika tidak segera diselesaikan demi hukum dan keadilan, juga demi masa depan bersama. Untung saya hanya sebentar masuk ruang sidang, kalau sampai jam 11 malam seperti yang lainnya, maka pasti akan lebih banyak lagi cerita, ya?! Seperti tayangannya di Kompas TV dalam acara "Berkas" yang tayang tanggal 3 Januari 2013 itu! 


s

Tidak ada komentar:

Posting Komentar