Featured Video

Jumat, 30 Agustus 2013

DENDANG PAUAH YANG KIAN MENEPI



Dendang Pauah, sudah makin menepi di tengah semaraknya kesenian kontemporer yang serba urban. Yang tersisa dari kegiatan yang digelar Sanggar Nan Jombang, Rimbo Tarok, Kelurahan Gunung Sarik, Kecamatan Kuranji, Padang beberapa waktu lalu adalah penam­pilan dendang pauah ini.

Suasana alam Minangkabau terasa makin kental saat Mak Pono mulai memainkan saluang dengan irama yang khas. Diiringi pula oleh dendang kaba oleh Zamris dan Syamsudin secara bergantian. Ketiganya merupakan seniman tradisi dari Nagari Pauah Limo, Pauah, Padang. Mak Katik yang tampil sebagai janang, yakni pemandu yang menjembatani pe­main dengan penonton, berhasil menghidupkan suasana dan menye­mangati penonton.
Celetukannya merespon kaba yang disampaikan tukang dendang di sela-sela permai­nan, selalu mengundang tawa dan sorak-sorai penonton. Meskipun hujan berderai selama permainan berlangsung, tak menyurutkan semangat penonton untuk menyak­sikan hingga akhir.
Mak Katik menjelaskan, Sa­luang jo Dendang Pauah memiliki empat tingkatan permainan. Perta­ma, dibuka dengan Pado-pado sebagai intro permainan. Kemudian, disusul Pokok Anam yang berisi kata-kata serupa ramah tamah kepada tamu. Pada tingkatan ini, suara masih lunak. Selanjutnya beralih kepada Lereang Limo. Pada tingkatan ini suara mulai mening­kat. Pada saat inilah bakandak carito atau kaba sebagai inti permainan dibawakan tukang dendang.
Terakhir, permainan ditutup dengan Lambok Malam. Pada bagian ini, dendang tidak lagi diiringi dengan saluang. Tujuannya, agar peniup saluang dapat beris­tirahat sejenak setelah tak putus-putus memainkan saluang dari awal permainan.
“Pada bagian terakhir ini, dendang dimainkan tanpa saluang. Tujuannya supaya si tukang saluang dapat beristirahat sejenak, marokok agak satangah batang, setelah itu menutup permainan,” jelas Mak Katik.
Saluang jo Dendang Pauah memiliki kekhasan tersendiri yang membuatnya berbeda dari saluang jo dendang dari darek. Seniman Taman Budaya Syuhendri menje­laskan, perbedaan keduanya terle­tak pada sistem memainkan sa­luang, bentuk saluang, serta lagu kaba yang didendangkan.
“Saluang Pauah memiliki enam lubang nada. Sedangkan saluang dari darek yang lazim disebut saluang gadang atau saluang panjang hanya memiliki empat lubang nada. Kaba yang dilagukan tukang dendang pada saluang jo dendang Pauah dapat didengar oleh segala usia. Sebab, ia bercerita tentang kemanusiaan, sejarah, serta mengkaji asal usul nagari. Sedang­kan lagu kaba yang dibawakan pada Saluang jo Dendang dari darek, adakalanya tidak patut didengarkan oleh anak-anak dan remaja, karena bercerita perihal yang berkaitan dengan persoalan orang dewasa,” terangnya seperti dikutip koran digital padangmedia.com..
Sementara itu, keunikan lain dari kesenian Saluang jo Dendang Pauah ini terletak pada kesesuaian melodi saluang dengan nada suara tukang dendang. Mak Katik menje­laskan, melodi saluang dan nada suara tukang dendang pada kese­nian asal Pauah ini tidaklah mesti bertemu, namun tetap sejalan.
“Melodi saluang jo suaro ndak batamu, tapi bajalan sapijak tapak, itulah uniknya kesenian yang satu ini. Kenapa bisa demikian, cobalah diteliti lebih dalam lagi,” ujar Mak Katik memancing keingintahuan para generasi muda yang hadir untuk menyaksikan pertunjukan malam itu.
Kesenian tradisi Minangkabau, seperti Saluang jo Dendang Pauah serta kesenian tradisi lainnya yang hampir punah, ungkap Syuhendri, mesti dihidupkan kembali di tengah-tengah kehidupan kebu­dayaan. Seperti Saluang jo Dendang Pauah, kini pemainnya yang berta­han tidak lebih dari sepuluh orang. Salah satu upaya menyelamatkan kesenian tradisi tersebut ialah, dengan menampilkannya kembali di tengah-tengah masyarakat melalui Festival Nan Jombang Tanggal 3, yang diluncurkan pada tanggal 3 Maret lalu.
“Program Festival Nan Jombang Tanggal 3 ini berupaya mengan­tispasi kepunahan itu. Hal ini tanggung jawab kita bersama. Sasarannya tentu saja para generasi muda sebagai pewaris kebudayaan, agar mereka mengenali, belajar, serta menjadikan ini sebagai identitas kebudayaan yang dibawa dalam diri. Identitas kita bukan hiphop, bukan gangnam style, melainkan kesenian tradisi inilah identitas kita yang sebenarnya,” ungkap Syuhendri selaku kurator untuk kegiatan Nan Jombang.
Syuhendri mengaku, program kebudayaan ini terlaksana berkat semangat kebudayaan yang diusung oleh para seniman serta budayawan Sumatera Barat. Meskipun dana yang dibutuhkan untuk terseleng­garanya kegiatan pelestarian budaya ini masih didapatkan secara swada­ya, upaya ini akan terus dilakukan demi kelestarian adat dan budaya Minangkabau, khususnya di bidang kesenian tradisi.
“Kita sering mendengar, program pemerintah dalam hal pem­bangu­nan selalu meletakkan kebudayaan pada urutan nomor satu. Meskipun pada pembukaan program ini juga dihadiri oleh pejabat Pemko, kita hanya bisa mendengar sebatas apa yang disampaikan. Realisasinya belum kita rasakan. Namun, kita akan terus berupaya dan berbuat untuk kebudayaan Minangkabau. Karena memang di Sumbar wisata yang paling memadai adalah wisata budaya, karena ranah kita memang kaya akan budaya,” tuturnya.

s

Tidak ada komentar:

Posting Komentar