Featured Video

Selasa, 14 Juni 2011

HARGA TAHU PUN DIATUR AMERIKA


“DERITA” NEGARA KETERGANTUNGAN
Amerika Serikat menguasai sendi-sendi kehidupan warga dunia, sampai hal yang remeh temeh. Cengkeraman Amerika Serikat bahkan sampai urusan dapur rakyat Indonesia. Harga tahu pun mereka yang atur.
Amerika Serikat adalah negara adikuasa dan adidaya dalam pengertian sebenar-benarnya. Kedigdayaan Negeri Paman Sam bukan hanya soal kekuatan persenjataan perang dan penguasaan teknologi canggih dan mengatur per­ekonomian dunia.
Tak percaya? Fakta me­nunjukkan, harga tahu di Kota Semarang  ternyata juga “diatur” oleh Amerika Serikat.
Amerika Serikat memang tidak secara langsung mengatur harga tahu di Kota Semarang. Tapi sudah sejak lama tahu yang dibuat oleh para pengrajin kota Semarang dan kota-kota lain di Indonesia, sangat bergantung pada kedelai impor dari Ame­rika Serikat.
Ketika harga kedelai impor dari Amerika Serikat terus merangkak naik, maka peng­rajin tahu pun tak ada pilihan kecuali terpaksa menaikan harga jual tahunya.
Kenaikan harga bahan baku kedelai impor, menyebabkan para pengrajin menjadi “maju catu mundur ajur” (maju ter­luka atau mundur hancur).
Pengrajin terbelit dilematis, memilih maju menghadapi harga bahan baku yang mahal disertai menurunnya daya beli konsumen, atau mundur dari profesi sebagai pengrajin tahu dan tidak lagi ada penghasilan.
“Banyak pengrajin tahu minder (tidak percaya diri) pada saat masa sulit, sehingga banyak yang mundur. Kami berani terluka, karena kami berharap bisa sembuh dan bangkit kem­bali. Kuncinya harus telaten, tekun, dan optimistis,” kata Warsino (58), pengrajin tahu warga Tandang yang menekuni usahanya sejak tahun 1976.
Tergantung Kedelai AS
Kebutuhan kedelai di Jawa Tengah setiap tahunnya se­banyak 2,2 juta ton dan 67 persen di antaranya merupakan dipasok dari negeri Paman Sam, tiga persen diimpor dari China dan sisanya kedelai lokal.
“Ketersediaan kedelai lokal sangat minim, sehingga untuk memenuhi kebutuhan produksi tempe, tahu, dan lainnya sebanyak 2,2 juta ton kedelai per tahun harus impor,” kata Ketua Forum Tempe Indonesia (FTI) Jawa Tengah, Harnina Bintari.
Harnina mengatakan dari 2,2 juta ton kedelai tersebut, sekitar 70 persen untuk produksi tempe, 20 persen untuk tahu, dan sisanya untuk produksi lainnya, seperti minyak.
Ia menjelaskan sebenarnya di Jateng terdapat daerah yang menjadi kantong produksi kedelai, seperti di Kabupaten Banyumas, Kabupaten Blora, dan Kabupaten Grobogan.
Desa Panunggalan, Keca­matan Pulokulon, Kabupaten Grobogan merupakan salah satu daerah kantong penghasil kedelai. Bahkan setiap hektare menghasilkan sekitar tiga ton hingga 3,5 ton kedelai.
“Akan tetapi satu hingga dua minggu barangnya langsung habis karena tingginya ke­butuhan. Sebenarnya banyak yang menyukai kedelai lokal. Akan tetapi jumlah barangnya yang tidak sesuai dengan kebutuhan,” katanya.
Apalagi dalam satu tahun, kedelai lokal hanya panen maksimal dua kali sehingga tidak sebanding dengan kebu­tuhan kedelai yang tinggi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Jateng mencatat nilai impor kedelai dari Amerika Serikat pada tahun 2010 hingga November tercatat  203 ribu ton kedelai senilai 92,9 juta dolar AS.
Pada Januari 2010, impor kedelai mencapai 18,6 ribu ton (8,1 juta dolar AS ), kemudian naik pada bulan Februari 2010 sebesar 25,3 ribu ton kedelai (11,6 juta dolar AS) dan Maret masih tinggi dengan 25,5 ribu ton kedelai (11,7 juta dolar AS).
Bulan April impor kedelai mulai menurun menjadi 22,6 ribu ton kedelai (10,2 juta dolar AS), dan Mei menjadi 16,2 ribu ton kedelai (7,3 juta dolar AS).  Sementara impor kedelai pada Juni sebesar 15,9 ribu ton kedelai  (7,2 juta dolar AS) dan impor bulan Juli 20,1 ribu ton kedelai (9 juta dolar AS).
Impor bulan Agustus agak menurun menjadi 16,2 ribu ton kedelai (7,2 juta dolar AS), begitu juga pada September impor kedelai sebesar 16,3 ribu ton kedelai (7,3 juta dolar AS).
Untuk Oktober, impor kedelai sebesar 15,7 ribu ton kedelai (7,6 juta dolar AS) dan bulan November impor kedelai turun signifikan menjadi 10 ribu ton kedelai  (5,1 juta dolar AS).
Sejak tahun 2009 harga kedelai impor masih berada di bawah Rp6.000 per kilogram dengan harga rata-rata Rp5.500 per kilogram.
Akan tetapi awal tahun 2011, harga kedelai impor naik hingga harga Rp6.300 per kilogram. Sebuah lonjakan harga yang tentunya menyu­litkan pengrajin tahu, tanpa ada cara untuk menghindarinya.
Jika harga kedelai melam­bung tinggi, bagi pengrajin tempe mungkin masih bisa menambah produksi tempenya dengan campuran jagung. Akan tetapi, tidak bisa bagi pengrajin tahu.
Tahu merupakan murni sari kedelai. Tidak ada cara mensiasatinya. Mengurangi ukuran cetakan tahu, membu­tuhkan biaya mahal.
Untuk mengubah ukuran cetakan tahu, juga tidak murah. Satu cetakan tahu senilai Rp1.000 hingga Rp2.000. Oleh karena itu, jika pengrajin menggunakan empat set (satu set enam cetakan), tentu untuk menggantinya membutuhkan biaya mahal.
Apalagi, besaran cetakan tahu antar-pengrajin yang tergabung dalam asosiasi terse­but harus sama ukurannya dan sama kuantitas kedelainya.
Salah satu langkah yang mungkin diambil para peng­rajin tahu untuk menghadapi kenaikan harga kedelai adalah menaikkan harga jual tahu, walaupun tidak bisa semaunya sendiri menaikkan harga.
“Untuk menaikkan harga tidak mudah, karena harus melewati rapat dengan seluruh anggota asosiasi pengrajin tahu. Harus ada kesepakatan untuk menaikkannya. Jadi tidak bisa seorang pengrajin menaikkan harga tahu, sedangkan yang lainnya tidak,” kata Warsino yang menjadi Ketua Kelompok Peng­rajin Tahu Jomblang, juga ang­gota Asosiasi Pengrajin Tahu Kota Semarang dan sekitarnya ini.
Jika ada bahan baku yang naik, maka seluruh anggota asosiasi dikumpulkan terlebih dahulu untuk rapat mem­bicarakan kenaikan harga tahu.
Alasan lain untuk berhati-hati dalam menaikkan harga tahu adalah tingginya persai­ngan dengan penjual tahu dari luar Kota Semarang.
Pasar-pasar di Kota Sema­rang, juga diserbu tahu dari daerah lain seperti Babatan, Ungaran (Kabupaten Sema­rang), Ambarawa, Kabupaten Magelang, dan Badungan yang harganya lebih murah diban­dingkan harga tahu di Kota Semarang.
Lebih murahnya harga tahu ter­sebut, diperkirakan karena bia­ya produksi lebih tinggi di Kota Semarang, misalnya upah tenaga kerja dan biaya bahan bakar.
Para pengrajin tahu di daerah Bandungan misalnya, bisa menggunakan kawul (lim­bah penggergajian kayu) sebagai pengganti minyak tanah dan gas sehingga harganya lebih murah.
Hartono, pengrajin tahu warga Tandang, Kecamatan Candi,  mengaku kenaikan harga kedelai berpengaruh pada produksi tahu yang mereka buat. Jika biasaya sehari bisa mem­produksi delapan kwintal, pada saat harga kedelai naik jumlah produksi hanya sekitar enam kwintal kedelai yang seluruhnya untuk membuat tahu.
Sementara Warsino dari yang biasanya memproduksi 1 ton tahu, pada saat harga kedelai mahal produksi menu­run menjadi 6,5 kwintal hingga tujuh kwintal. (h/ant)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar