Featured Video

Jumat, 08 Juli 2011


Menunggu gulai cubadak pagi,Saniangbaka Haluan

Sudah tradisi di Nagari Saniang Baka apabila tukang masak gulai cubadak untuk hidangan utama baralek (pesta perkawinan) adalah laki-laki. Di nagari yang terletak di pinggiran Danau Singkarak, Kecamatan X Koto Singkarak, Kabupaten Solok tersebut mempunyai tradisi unik dalam proses pembuatan gulai cubadak.

Dari Sabtu (2/7) malam, seketika berkunjung ke pesta baralek seorang teman, penulis menyaksikan puluhan laki-laki memulai proses tersebut. Tidak hanya para datuak, mereka terdiri garin surau, niniak-mamak, dan anak muda berkumpul bersama di lokasi baralek. Malam tersebut dimulai dengan proses bantai jawi (menyembelih sapi) dan dilanjutkan dengan bagadang, atau makan bersama di atas daun.
“Ini salah satu cara menunjukkan bahwasanya kita duduk sama rendah berdiri sama tinggi, makan pun begitu, sedikit atau banyak dinikmati bersama,” kata Abdul (27). Tapi makan bagadang dan bantai jawi itu baru permulaan memasak gulai cubadak, menunggu waktu semba­hyang subuh selesai keesokan harinya.
Minggu seusai salat Subuh (3/7), puluhan laki-laki yang dari malam menunggu akhirnya beran­jak ke kancah, yakni dapur darurat yang dibuat khusus seketika bara­lek. Di kancah yang beratapkan seng dengan tiang-tiang betung tersebut telah tersedia empat buah lubang galian yang ditopang dengan batu bata, sebagai tungku. Di atasnya ada empat buah kuali besi yang sangat besar ukurannya.
Hampir pukul 05.30 WIB, semua orang di kancah yang terdiri dari laki-laki—jumlahnya bertambah dari semalam. Di dekat kancah, tersedia sebuah meja dengan baskom yang berisi segala rempah-rempah bahan untuk campuran gulai cubadak. Di sisi lain, belasan ibu-ibu sedang mengupas kulit buah cubadak, dan membelahnya dalam ukuran kecil. Sebagian lagi ada yang meremas parutan kelapa sampai menjadi santan.
Dan di sinilah uniknya, tak satu pun dari ibu-ibu tersebut yang melangkah ke kancah. Hanya laki-laki yang berdiri di sana. Mereka memasukkan rempah ke dalam kuali besar, memasukkan santan kelapa, lantas menyorongkan kayu bakar ke dalam lubang galian di bawah kuali. Dalam mengaduk gulai, digunakan pelepah pohon kelapa yang dibentuk pipih.
“Tukang masak gulai cubadak ini banyak, ada yang hanya sekadar memasukkan bumbu, ada yang pekerjaannya cuma mengaduk dan memasukkan kayu,” kata Anboy (38) yang sedang mengaduk gulai yang hampir jadi.
“Gulai cubadak yang pertama ini yang paling ditunggu-tunggu, sebab bumbunya banyak, daging sapinya pun banyak dimasukkan,” tambahnya lagi sembari bercanda.
Selang satu jam, kira-kira pukul 06.30 WIB, gulai cubadak pertama pun masak. Dari kuali yang besar, gulai tersebut dipindahkan ke baskom-baskom yang telah tersedia di kancah. Puluhan orang pun berkumpul di dekat kancah sambil membawa dulang yang sudah berisi nasi. “Kalau makan di piring rasanya tidak nikmat, lebih baik makan bersama,” celoteh Ilham yang sedang antre menyanduk gulai cubadak ke dalam dulangnya. “Kami dari tadi malam menunggu gulai cubadak pertama ini,” tambahnya lagi.
Ternyata di Nagari Saniang Baka, gulai cubadak merupakan suasuatu yang harus ada di dalam pesta baralek. Gulai cubadak merupakan menu utama, juga untuk pengganti bawaan undangan.
“Nanti undangan yang biasanya membawa beras dengan menggu­nakan wadah, akan diganti gulai cubadak tersebut, untuk dibawanya pulang,” kata Liza (34) yang ikut meremas parutan kelapa bersama ibu-ibu lain di bagian sudut kancah yang se­muanya terdiri dari perem­puan.
Gulai cubadak merupakan kekha­san, selain tradisi seketika baralek, ada persoalan sosial masyarakat yang terkandung di dalamnya. Menurut cerita selentingan warga Saniang Baka, memang sudah dari lama gulai cubadak dimasak oleh laki-laki, entah kapan dimulainya. Tapi yang jelas, hari Minggu merupakan waktunya perempuan di nagari tersebut pergi ke balai (pasar tradisional) di Sumani, nagari tetangganya. Dan baralek di nagari tersebut biasanya dilang­sungkan hari Minggu.
“Jadi kalau laki-laki yang mema­sak, para perempuan tidak akan terganggu pergi ke balainya. Pulang dari balai baru dia membantu warga yang sedang baralek,” jelas Anboy.
Baralek, bagi masyarakat di Nagari Saniang Baka adalah saat untuk menunjukkan kebersamaan.
“Kami di sini saling berkaitan, semuanya saudara, kalau ada satu keluarga yang baralek, orang senagari ikut membantu,” lanjut Anboy menjelaskan tentang tradisi di nagari tersebut.
(Laporan Esha Tegar Putra)Anboy menjelaskan tentang tradisi di nagari tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar