Featured Video

Jumat, 08 Juli 2011

SYIRIK BERPAKAIAN



Islam, sebagai ajaran yang sempurna dan menyeluruh, tak luput memperhatikan masalah bepakaian. Kebijaksanaan ajarannya sangat tampak di sini, sebagai agama yang bersumber dari ilah sekalian alam, yang menciptakan manusia, dan maha mengetahui kemaslahatan mereka. Faktor keharusan, kebutuhan dan keindahan dalam berpakaian benar-benar mendapatkan porsi yang seimbang.

Sebagaimana telah diketahui, keharusan menutup aurat pada hampir semua kondisi, kebutuhan manusia melindungi badan mereka agar dapat beraktivitas dengan lancar, dan keindahan pakaian sebagai perwujudan rezeki dan perhiasan dari Allah.
Sayangnya, dalam permasa­lahan berpakaian ini ternyata juga ada peluang bagi kaum muslimin, lelaki atau wanita, untuk jatuh ke dalam lembah kemusyrikan tanpa disadari. Tidak meng­herankan jika banyak yang merasa baru dan aneh dengan bahasan syirik berpakaian, karena selama ini pembahasan tentang noda-noda tauhid (syirik) yang merusak akidah Islam selalu saja difo­kuskan kepada praktik per­dukunan.
Dewasa ini, berbagai profesi yang digeluti kebanyakan manu­sia begitu rumit dan ribet dalam mengatur tata berpakaian. Setiap institiusi mempunyai aturan-aturan sendiri yang mem­beda­kannya satu sama lain. Bahkan sampai kepada hal remeh temeh sekalipun. Kesamaan semua institiusi itu adalah tata ber­pakaian yang mereka terapkan tidak mengindahkan aturan Islam dan terlalu berlebihan.
Sebagai contoh lembaga pendidikan seperti universitas, yang melarang mahasiswa menge­nakan bentuk pakaian tertentu selama kegiatan belajar mengajar seperti oblong dan sandal. Atau ketika musim ujian, apakah itu ujian tengah semester, ujian akhir semester, ujian proposal atau seminar skripsi, yang mewajibkan model pakaian tertentu dengan kombinasi warna seperti hitam-putih atau putih-putih, dasi, jas, atau kebaya khusus wanita.
Aturan berpakaian seperti di atas telah mengantarkan pela­kunya—baik yang membuat aturan  maupun yang mematu­hinya—kepada kesyirikan, pe­lang­garan terhadap aturan Allah dan penyerupaan kepada kaum bukan Islam sekaligus.
Pertama, mengharamkan apa yang dihalalkan Allah. Pakaian yang dilarang seperti oblong dan sandal adalah sesuatu yang dihalalkan, karena tidak ada satupun nas yang meng­haram­kannya, baik Alquran maupun sunah. Sedangkan segala sesuatu dalam muamalah adalah boleh kecuali ada dalil yang mela­rangnya.
Firman Allah, “Katakanlah, ‘Siapakah yang (berani-beraninya) mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah disediakan untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang berani-beraninya mengharamkan) rezeki yang baik itu?’…” (Q.S Al-A’raf [7]: 32). Dan ayat berikutnya, “Katakanlah: “Tu­hanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersem­bunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (meng­haramkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S Al-A’raf [7]: 33).
Yusuf Al-Qaradhawi dalam “al-‘Ibaadah fiy al-Islaam” menegaskan, “Siapa pun di antara makhluk yang meng­klaim kalau ia berhak membuat aturan sekehendaknya, baik itu berkait dengan perintah, lara­ngan, menghalalkan, dan meng­haramkan tanpa mendapatkan izin dari Allah, maka ia telah melampaui batas kadar dirinya. Ia juga telah bertingkah sebagai tuhan, baik disadari maupun tidak.”
Allah berfirman, “Kata­kanlah, ‘Terangkanlah kepa­daku tentang rezki yang ditu­runkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan sebagiannya haram dan (sebagiannya) halal.’ Katakanlah, ‘Apakah Allah telah memberikan izin kepa­damu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja terha­dap Allah.’” (Q.S Yunus [10]: 59)
Sebelumnya, Al-Qa­rad­hawi—masih di tempat yang sama—mengingatkan, “Bagi yang mengerjakan syiar-syiar Islam seperti salat, puasa, zakat, haji dan sebagainya, tetapi ia tetap mengikuti aturan selain syariat Allah pada berbagai sisi kehidupannya yang khusus maupun yang umum, atau pada sisi-sisi kemasyarakatan dan kenegaraan, berarti ia telah menyembah selain Allah, karena ia telah memberikan kepada selain-Nya apa yang murni mejadi hak Allah.”
Hak murni bagi Allah itu adalah ketundukan tertinggi, yang tidak diberikan kepada selain-Nya, dan tidak menyer­takan seorang pun dalam ketundukkan ini. Kepatuhan utuh, penyerahan diri total, dan penghambaan dengan meren­dahkan diri semata-mata kepada Allah saja. Pelaksanaan terha­dap aturan berpakaian ini me­rupakan penyerupaan dan bentuk peribadahan. Bukankah pakaian putih-putih itu adalah aturan pakaian dalam ibadah haji dan umrah?
Abdullah bin Abdul Aziz Al-Jibrin dalam “Tadzhiib Tashiil al-‘Aqiidah al-Islaa­miyyah” menjabarkan tentang syirik dalam hukum dan ketaatan pada contohnya yang kelima, “Menaati orang yang tidak berhukum kepada aturan Allah dengan perasaan rida. Mengutamakan perkataan mereka daripada aturan Allah. Meyakini bolehnya berhukum kepada selain aturan Allah, atau meyakini bahwa aturan tersebut lebih baik daripada aturan Allah, atau sebanding de­ngannya.”
Imam Ahmad, Tirmizi dan Ibnu Jarir meriwayatkan—dengan beberapa jalur—dari Adiy bin Hatim bahwa ketika telah sampai dakwah Rasu­lullah, dia melarikan diri ke Syam. Pada masa jahiliah, dia telah memeluk agama Nasrani. Lantas saudara perempuannya dengan beberapa orang dari kaumnya ditawan. Kemudian Rasulullah memberi dan menganugerahi saudara perem­puannya itu (kebebasan). Maka, saudara perempuannya ini pun kembali kepada saudara lela­kinya dan mendorong saudara­nya itu pada agama Islam juga, serta agar ia pergi menghadap Rasulullah.
Adiy pun pergi ke Madi­nah—pada masa itu dengan masih sebagai pemimpin ka­um­nya dan bapaknya, Hatim Ath-Tha’i yang terkenal keder­mawanannya. Orang-orang pun membicarakan kabar keda­tangan ini. Adiy langsung menemui Rasulullah dengan salib dari perak yang meng­gantung di lehernya. Saat itu juga Rasulullah membaca ayat,“Mereka menjadikan orang-orang alim, dan rahib-rahib sebagai tuhan selain Allah…” (Q.S At-Taubah [9]: 31). Adiy berkata, “Lantas aku berujar, ‘Tapi mereka tidak menyembah mereka (orang-orang alim dan rahib-rahib).’ Beliau menjawab, ‘Tentu, tetapi sesungguhnya mereka telah mengharamkan yang halal terhadap diri mereka, dan menghalalkan bagi mereka yang haram, lantas (pengikut) mereka pun mengikuti mereka. Itulah penyembahan mereka terhadap para rahib dan orang-orang alim di antara mereka.’”
Jika dulu yang diikuti adalah orang-orang yang memi­liki pengetahuan dari kalangan agamawan, maka sekarang mereka-mereka ini adalah para pembuat kebijakan yang meru­pakan orang-orang berpen­didikan jebolan universitas ini dan itu. Hal ini sama sekali tidak memiliki perbedaan, karena hakikatnya mereka—dalam kasus ini—sama-sama mengharamkan apa yang Allah halalkan—pakaian.
Jika ada yang berdalih bahwa ia menjalankan aturan pakaian tersebut dengan ter­paksa dan tidak pula rida, maka orang ini pun masih terjerumus pada kesyirikan, yaitu syirik dalam khauf (takut). Abdullah bin Abdul Aziz Al-Jibrin kembali menerangkan tentang syirik dalam khauf pada con­tohnya yang keempat, “Rasa takut yang mendorong pela­kunya meninggalkan kewajiban atau melakukan perkara yang diharamkan. Seperti takut kepada orang yang masih hidup, bila orang itu mem­berikan kemudaratan daam harta dan jiwanya.”
Kemudian Al-Jibrin mengu­tip firman Allah, “Sesung­guhnya mereka hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan teman-teman setianya, karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepad-Ku jika kamu orang-orang yang beri­man.” (Q.S Ali Imran [3]: 175) Juga hadis Nabi, “Jangan­lah takut kepada manusia mencegah seseorang di antara kalian untuk mengatakan kebenaran jika ia melihatnya atau mengetahuinya.”
Bahkan, pada catatan kaki pembahasan ini, Al-Jibrin menyindir, “Ini adalah keadaan banyak orang yang lemah imannya. Anda lihat, mereka meninggalkan amar makruf nahi mungkar karena takut cercaan orang yang melakukan pelanggaran atau sedikit gang­guan yang akan diperolehnya, atau melakukan perbuatan haram karena takut kepada orang zalim. Sebenarnya, rasa takut seperti ini hanya sekadar ilusi belaka. Terkadang ada ketakutan yang nyata, tetapi sangat ringan hingga tidak boleh dijadikan alasan untuk mening­galkan kewajiban atau me­lakukan hal-hal yang diha­ramkan.”
Kedua, melanggar syariat Allah karena menetapkan syarat-syarat yang Allah sendiri tidak mensyaratkannya. Tak tanggung-tanggung, persyaratan aturan berpakaian ini mem­punyai sanksi yang sangat tegas. Mahasiswa yang tidak mema­tuhi aturan berpakaian seperti dimaksud maka bersiap sedialah untuk diusir dari ruang per­kuliahan dan atau tidak akan diperbolehkan mengikuti ujian.
Padahal Rasulullah ber­sabda, “Sesiapa yang mensya­ratkan suatu syarat yang tidak terdapat dalam kitabullah, maka tidaklah (berlaku syarat itu) baginya, walaupun ia mensyaratkan seratus syarat.” (H.R Bukhari dalaam Sha­hiihnya pada Kitaab Asy-Syuruuth).
Jelas sudah, segala sesuatu yang tidak terdapat dalam kitabullah dan sunah Nabi-Nya tidak patut untuk dipatuhi. Apalagi jika itu bertentangan dan berseberangan dengan syariat.
Ketiga, penyerupaan dengan kaum bukan Islam. Nilai budaya mana sebenarnya dija­dikan standardisasi dalam etika ber­pakaian ini? Bukankah nilai di luar Islam—baca barat—yang coba diimitasi dengan aturan berpakaian seperti memakai jas dan dasi itu? Lupakah kita dengan titah Nabi, “Sesiapa yang meniru suatu kaum (dalam hal-hal yang menjadi ciri khas kaum tertentu) maka dia termasuk dari kaum (yang ditirunya) itu”
Bahkan, memakai dasi bisa dikatakan penyerupaan dengan binatang. Bukankah binatang yang lehernya diberi ikatan? Sedangkan Islam dalam banyak hal mencegah pemeluknya dari perbuatan menyerupai bina­tang. Seperti perkataan Abu Hurairah tentang larangan dari Nabi mengerjakan salat seperti ayam mematuk, menoleh ba­gaikan musang dan duduk laksana kera.
Ada alasan yang terlalu dibuat-buat bahwa aturan berpakaian itu hanyalah untuk kerapian. Lalu apa ingin dikatakan bahwa yang tidak memakai dasi, kemeja dan jas itu tidak rapi? Atau yang memakai oblong dan sandal itu jorok? Bukankah yang didengar Nabi dalam mimpinya adalah suara terompah (sandal) Bilal di surga, bukan bunyi sepatunya?
Apakah tidak cukup Allah dengan syariatnya yang me­ngatur hidup ini? Atau Allah tidak cermat membuat aturan sehingga perlu dibuat aturan-aturan baru untuk melengkapi kekurangan Allah dalam mem­bimbing manusia menuju jalan kebenaran dan keselamatan? Ini jelas-jelas kesesatan. Allah berfirman, “Dan seandainya kebenaran itu menurut hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi, dan semua yang ada di dalamnya…” (Q.s Al-Mu’minun [23]: 71)
Al-Qaradhawi juga men­catat pada “al-‘Ibaadah fiy al-Islaam”, “Sesungguhnya ibadah yang dilalaikan oleh banyak manusia adalah tunduk pada syariat Allah, memematuhi hukum-hukum yang dengannya Allah menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram, menetapkan kewajiban-kewa­jiban, dan menentukan batasan-batasan sanksi hukum.”
Alangkah baiknya jika para pembuat kebijakan yang tidak bijak tersebut menerapkan aturan-aturan yang sesuai dengan aturan Islam.
Jika mereka bisa memaksa orang untuk memakai sepatu dan kemeja, lalu apa yang meng­halangi mereka untuk mem­buat aturan agar orang-orang yang berada di bawah tanggung jawab kekuasaannya untuk berpakaian secara islami?
Pakaian islami adalah pakaian yang bisa, dapat, pantas, dan layak dikenakan ketika salat menghadap Allah, pencipta dan penguasa semesta alam. Lalu apakah Allah mewajibkan  aturan berpakaian seperti di atas? Jika Allah saja tidak pernah menyinggung hal remeh temeh dan sepele itu, lantas mengapa ada yang memaksakan aturan berpakaian minus manfaat ini?

WAHID MUNFARID

Tidak ada komentar:

Posting Komentar