Featured Video

Senin, 22 Agustus 2011

Pengeras Suara di Masjid-Padang


Wahid Munfarid

Sebagaimana ditulis Fachrul Rasyid HF pada surat kabar ini Sabtu lalu, telah terjadi dua peristiwa sebagai aksi protes warga disebabkan penggunaan pengeras suara yang tidak semestinya oleh pengurus suatu masjid dan mushalla tertentu.
Aksi pertama sedikit anarkis, salah seorang warga mencincang kabel pengeras suara masjid yang selalu memperdengarkan bacaan Alquran dengan keras setiap akan masuk waktu berbuka (Shalat Magrib), setelah Shalat Tarawih, dan sebelum Shalat Subuh. Padahal warga sudah berkali-kali memperingatkan. Sekarang bahkan masjid itu sepi dari suara azan.
Aksi kedua lebih beradab, setelah dua kali diingatkan warga, garin segera mengecilkan volume suara dari kaset ceramah yang selalu diputar setiap selesai shalat lima waktu. Di mushalla ini, kadang memainkan kaset lagu si Raja Dangdut, atau juga bacaan Alquran. Kedua peristiwa ini terjadi di bulan Ramadhan.
Akan terasa ada yang kurang jika mengaji tak dikumandangkan dengan pengeras suara di menara masjid.
Tadarus, ceramah agama, atau apa pun itu sebenarnya masuk dalam kategori zikir. Secara sederhana zikir dapat diartikan dengan aktivitas melafazkan sesuatu. Dalam cakupan ibadah, zikir bermakna sebagai suatu amalan yang ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan melafalkan kalimat-kalimat tertentu. Kalimat-kalimat ini utamanya bacaan Alquran, doa-doa ma’tsur, dan kalimat taibah seperti tasbih, tahmid dan tahlil. Walaupun seringkali zikir diidentikkan dengan kalimat taibah saja, namun zikir tak melulu soal tasbih, tahmid, dan tahlil. Bahkan seruan (dakwah) secara lisan untuk amar makruh nahi mungkar dan sejenisnya pun masuk dalam kategori zikir.
Zikir merupakan ibadah yang tata cara pengamalannya telah ada tuntunannya dalam Islam. Terlebih zikir yang masuk kategori ibadah mahdhah, seperti bacaan shalat, azan, dan kalimat taibah. Susanan kalimat dan waktu pelafazannya tak sedikit pun boleh dimodifikasi, apalagi improvisasi. Pun tak boleh terserahlah menempatkannya, seperti selalu membaca ta’awudz setiap kali selesai menguap atau membaca hamdalah tiap-tiap lepas berserdewa. Karena memang tidak ada tuntunan seperti itu dalam syariat Islam.
Begitu pula dengan kebiasaan yang mentradisi di masyarakat yang selalu memperdengarkan bacaan Alquran, baik bacaan itu rekaman dari qari terkenal ataupun bacaan langsung oleh seseorang dengan menggunakan pengeras suara. Selama Ramadhan kegiatan seperti ini terkhusus untuk tadarus Alquran. Yang terjadi di lapangan, bacaan Alquran menjelang masuk waktu shalat ini telah dipahami secara keliru sebagai tanda akan masuk waktu shalat. Memang tidak meniadakan azan, hanya saja jika bacaan Alquran telah diperdengarkan melalui pengeras suara beberapa saat sebelum kumandang azan, masyarakat lebih memahami ini sebagai tanda akan masuk waktu shalat.
Padahal dalam Islam, sejarah telah mengabarkan azan dengan kalimat-kalimatnya yang khas adalah satu-satunya pemberitahuan waktu shalat tertentu telah masuk. Seperti riwayat para imam hadis tentang sejarah azan dan usulan agar menggunakan kobaran api atau bunyi lonceng untuk memberitahukan waktu masuk shalat dan memanggil jamaah agar shalat berjamaah di masjid.
Tetapi semua itu tidak diperkenankan hingga akhirnya ditetapkanlah azan sebagaimana yang dikenal sekarang ini sebagai seruan resmi untuk shalat wajib yang lima waktu. Jadi tak diperlukan lagi pengantar-pengantar lain seperti pemukulan bedug, bunyi serinai, pembacaan selawat, ataupun pembacaan bacaan Alquran. Jika masih ada yang memaksa menambah-nambahi azan, orang itu telah membuat sesuatu yang baru dalam agama Islam.
Banyak hikmah bisa diambil dari pelarangan pembacaan Alquran dengan pengeras suara yang biasanya mendahului azan itu, seperti diabaikannya bacaan Alquran oleh orang-orang di lingkungan sekitar. Terlebih lagi jika masjid dan mushalla yang memperdengarkan bacaan Alquran dengan suara ini berada di kawasan padat penduduk seperti komplek perumahan atau pasar di mana orang-orang sangat sibuk dengan urusan masing-masing.
Padahal Alquran tatkala dibacakan merupakan kewajiban bagi siapapun yang mendengarkan untuk diam dan memperhatikan bacaan Alquran tersebut. Seperti firman Allah, “Dan apabila dibacakan Alquran, maka dengarkanlah dan diamlah, agar kamu mendapat rahmat.” (Q.S Al-A’raf [7]: 204). Sebagaimana maklum dalam kaidah, perintah itu pada asalnya menunjukkan kepada kewajiban selama tidak ada dalil lain yang memalingkan perintah wajib ini kepada selainnya.
Yang ada malah dalil penguat lain seperti keluhan Nabi tentang diabaikannya Alquran, seperti firman Allah, “Dan Rasul (Muhammad) berkata, Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan Alquran ini diabaikan.” (Q.S Al-Furqan [25]: 30). Tentu saja tak ada seorang muslim pun yang ingin masuk kategori kaum yang dikeluhkan nabi itu, apalagi menyebabkan orang lain mengabaikan bacaan Alquran.
Tak salah kiranya jika ada yang merasa terganggu dengan pembacaan Alquran yang tidak pada tempatnya ini. Bahkan di dalam masjid saja seseorang tidak diperbolehkan mengeraskan zikir —kalimat taibah, bacaan Alquran, dan ceramah agama — karena akan mengganggu jamaah lainnya. Sedangkan masing-masing orang punya hak bermunajat di dalam masjid.
Perlu juga diperhatikan dalam hal zikir mengenai adabnya, kebanyakan zikir terlarang untuk mengeraskan suara pembacaannya. Seperti hadis yang diriwayatkan Bukhari dalam Shahiih-nya pada Kitaab Al-Jihaad wa As-Siyaar dan Muslim juga dalam Shahiih-nya pada Kitaab Adz-Dzikr wa Ad-Du’aa’i wa At-Taubah wa Al-Istighfaar, dari Abu Musa Al-Asy’ari ia berkata, “Kami dalam suatu perjalanan bersama Nabi. Ketika orang-orang mengeraskan suara ketika ber takbir, maka Nabi bersabda, “Wahai manusia, kasi hanilah diri kalian. Sesungguhnya kalian tidak me nyeru kepada Zat yang tuli dan Zat yang tidak ada. Se sungguhnya Ia maha mendengar lagi maha dekat. Ia bersama kalian.” (Lafaz hadis ini menurut riwayat Muslim).
Dari sini juga dapatlah dikatakan, kebiasaan sebagaian orang meneriakkan takbir dalam beberapa kesempatan adalah bertentangan dengan sunah Nabi. Kepada mereka yang masih saja melazimkan takbir dengan teriakan ini patut merenungkan firman Allah, “Serulah Tuhan kalian dengan merendahkan diri dan suara yang lembut. Sungguh, Dia tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (Q.S Al-A’raf [7]: 55). Menyombongkan diri dalam menyeru (berdoa) kepada Allah dan mengeraskan suara ketika zikir merupakan tindakan melampaui batas berdasarkan ayat ini.
Akhirnya, patutlah bagi kaum muslimin untuk menimbang kembali segala kebiasaan yang berlaku dengan timbangan Islam, yaitu Alquran dan sunah. Adat kebiasaan tidaklah menjadi suatu hal yang tercela jika memang bersesuaian dengan ajaran Islam. Akan tetapi, ketika adat kebiasaan itu bertentangan, sepantasnyalah hal itu ditinggalkan karena syariat Allah yang telah disampaikan Rasul-Nya yang terpercaya lebih utama untuk diikuti. Allah berfirman, “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya (Rasul) takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (Q.s An-Nur [24]: 63). (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar