Featured Video

Kamis, 10 November 2011

Senjata Menyalak di Maligi - 18 Kaum Ibu Dihantam Oknum Polisi

YULISMAN 

Senjata laras panjang milik polisi itu menyalak. Warga Maligi, Pasbar sudah berbilang tahun tak mendengar senjata meletus. Zaman PRRI sering. 

Kini dalam berebut senja, polisi yang anak-anak muda itu, dengan gagahnya berdiri bagai gergasi di hadapan para petani miskin papa. Jika saja ibunda sang polisi ada di sana, ia akan memohon kepada anaknya.
“Jan latuihan sanjato ang nak, ibo wak jo amai-amai tu ha. Tapi tidak. Ini tugas dari atasan.
Wanita-wanita lusuh yang terlihat lebih tua dari usianya ciut nyalinya. Ia memanggil Tuhan. Beberapa orang ditodong dengan pistol, diinjak dan disepak.
“Allahuakbar, ya Allah tolonglah kami,” pekikan suara puluhan kaum ibu itu menyayat pilu di perkebunan sawit PT. PHP II Maligi, Kecamatan Sasak Ranah Pasisie, Pasaman Barat, Selasa (8/11) sore. Pekikan dan tangisan itu seiring dengan letusan senjata sebanyak empat kali dari aparat kepolisian.
Letusan senjata itulah yang kemudian memicu kerusuhan. Itu menurut rakyat. Bisa jadi mereka salah menafsirkan tindakan polisi. 
Sebanyak 18 orang kaum ibu yang mayoritas berumur 40 tahun ke atas tumbang, karena aparat melaju dengan derap pasti.
“Tolong kami Pak, bantu kami, kami telah diperlakukan seperti binatang. Kami telah diperlakukan seperti PKI, diangkat, dibanting, kemudian dilempar ke tanah dan masuk parit,” kata ibu-ibu itu pada Singgalang.
Masyarakat Maligi yang lagi dirundung banjir itu hanya menuntut hak mereka di lahan pase empat seluas 650 hektare. Menurut mereka, tanah ulayat Maligi digarap tanpa ada kesepakatan antara rakyat Maligi dengan perusahaan. Sementara perusahaan tidak menanggapi. Sampai saat ini lahan yang dikelola PT. PHP II belum memenuhi standar perjanjian awal.
Sambil menangis, ke-18 wanita itu menceritakan kisah yang menimpa mereka kepada Singgalang, Selasa (8/11) sore di Simpang Ampek. 
Menurut mereka pula, pistol disodorkan dan ditempelkan ke tubuh korban, muka ditinju, kaki dipijak, ditendang dan segala macamnya.
Satu orang bernama Imeih berusia 40 tahun mengalami patang tangan. Dua orang pingsan dan selebihnya cidera di sekujur tubuh. “Pertama kali saya ditinju, ditendang badan saya, pistol ditempelkan di dada saya, kemudian diangkat dan dibanting ke tanah,” kata Meli berurai air mata sambil memperlihatkan bekas luka yang dialaminya.
Menurutnya saat polisi datang ke lokasi, langsung melakukan aksi membuka portal yang dikawal kaum ibu. Massa kaum ibu terus bertahan, sehingga terjadilah bentrok. 
“Saat itu saya mengucapkan Allahuakbar, ya Allah tolonglah kami, ketika itulah saya langsung ditendang dan pistol langsung menempel di tubuh saya,” katanya.
Yulisma, 52 tahun menuturkan lehernya dicekik oleh dua orang aparat dan kemudian ditendang. Paha dan kaki serta punggungnya memar dan hijau. Seketika itu Yulisma langsung pingsan dan diangkat oleh teman-temannya ke kebun sawit.
Hiburan Kasma, 62, juga mendapat perlakuan yang sama. Wanita lanjut usia ini menceritakan dirinya diangkat oleh anggota polisi kemudian dibanting ke tanah. Kemudian tidak sadarkan diri beberapa jam. Ia diselamatkan oleh warga yang lainnya, supaya tidak bertambah parah.
Mesi, 22, gadis ini sedang memegang portal yang terbuat dari tali, karena tetap mempertahankan portal itu kakinya ditendang dan kemudian didorong. “Saya berdiri kembali dan ditendang kembali,” kata Mesi.
Lain lagi pengakuan Siros,34, ia mengalami luka di wajah karena ditinju. Hidungnya berdarah. Sambil menangis ia bercerita kakinya diinjak dengan sepatu lars.
“Kami sangat mengecam tindakan polisi yang anarkis main tendang dan menodongkan pistol tanpa ada bicara sepatah katapun. Seharusnya polisi datang menanyakan kepada masyarakat, kenapa jalan di portal dan buah sawit ditahan. Tidak hanya main anarkis saja, ini sudah melakukan pelanggaram HAM dan memperlakukan manusia seperti binatang,” katanya.
Tindakan massa menutup jalan ke perkebunan, menahan buah sawit plasma dan inti merupakan hasil kesepakatan rapat antara masyarakat Maligi dan pihak perusahaan, bukan maunya masyarakat saja. Pada 31 Oktober 2011 masyakarakat meminta persoalan ini diselesaikan, kalau tidak juga maka massa akan melakukan penahanan buah sawit plasma dan inti untuk sementara, bukan untuk dimiliki. (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar