Featured Video

Selasa, 06 Desember 2011

CEMOOH DAN RENDAHNYA KEMAMPUAN BERBAHASA ASING URANG MINANG


Terkait tulisan Donny Syofyan tentang pengguna bahasa Inggris yang dianggap sombong (Salah Kaprah tentang Bahasa Inggris, Haluan, 14 November 2001), tergelitik juga saya untuk memberi tanggapan mengenai kesalahkaprahan terhadap bahasa asing ini dari sudut pandang etnis kita, Minangkabau.

Jikalau kita menoleh se­jarah para tokoh Minang di masa lalu seperti H Agus Salim, M Hatta, Tan Malaka, dan lain-lain, tentu kita akan ingat mereka juga sebagai urangMinang yang bisa meng­ko­mu­nikasi­kan ide dan pendapatnya ke dunia internasional melalui bahasa asing.
Haji Agus Salim sebagai contoh, menguasai tujuh bahasa asing secara aktif dan mampu meredam cemeeh atau ce­moohan orang-orang asing terhadap jenggotnya di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menirukan suara kambing ketika beliau naik podium dengan fasih menyuruh ‘kambing-kambing’ yang ada di forum manusia tersebut untuk dikeluarkan.
Tindakan itu merupakan kombinasi kuat antara ke­terampilan berbahasa asing dan kecerdikan beliau akibat tem­paan alam dan budaya Minang­kabau. Per­tanyaannya sekarang adalah: apakah ranah Minang masih akan menghasilkan generasi cerdik pandai yang fasih berbahasa asing?
Cemooh Orang Minang
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘cemooh’ didefinisikan sebagai “tindakan mengejek, menyindir, men­golok-olok, menertawakan untuk menghinakan”. Dengan demikian tindakan mencemooh seseorang bisa diartikan se­bagai tindakan fisik dan psi­kologis yang bertujuan meng­hina seseorang berdasarkan ketidaksukaan terhadap orang tersebut. Sepintas, kelihatannya tindakan cemooh ini adalah hal sepele dan tidak perlu dibahas lebih jauh apalagi harus ditampilkan di media massa. Tapi benarkah ‘mencemooh’ adalah tindakan yang sepele?
Untuk melihat bahwa ce­mooh itu memberi efek me­rusak yang massal, mari kita lihat contoh kasus berikut.
Setelah diberitahu oleh dosennya bahwa menguasai keterampilan bercakap-cakap dalam bahasa Inggris itu harus dilakukan secara aktif dan berkesinambungan dalam jangka waktu yang lama, dua mahasiswa, A dan B, membuat kesepakatan untuk berlatih menggunakan bahasa Inggris dimanapun mereka bertemu.
Besoknya, mereka bertemu di kampus dan langsung cas cis cus praktik bahasa Inggris. Namun, teman-teman mereka memberi reaksi yang tidak mendukung. Bagi yang tidak begitu kenal dekat dengan mereka, akan melayangkan pandangan sinis dan raut wajah masam, serta akhirnya mem­buang muka.
Bagi teman-teman yang kenal dengan mereka akan berkomentar: “wow, ado bule lokal di siko mah”, “mimpi pai ka hollywood ang tadi malam yo?”, “oeh, makan roti jo keju ang tadi pagi yo”, dan lain-lain. Akibatnya, si B yang kurang percaya diri mulai goyah tapi si A yang fokus dengan pencapaian dan resisten dengan tantangan tidak ambil peduli dan terus saja mengajak B untuk berbicara dalam bahasa Asing.
Namun, akhirnya si B tidak tahan dan memutuskan tidak meneruskan usaha belajar tersebut dengan alasan “tidak enak dengan teman-teman”. Si A mengerti dan mencari teman praktek yang lain.
Singkat cerita, begitu tamat kuliah, si B melamar ke pe­rusahaan asing yang akhirnya menyatakan akan menerimanya dengan gaji awal 5 juta / bulan jika dia lulus tes bahasa Inggris aktif (ber­bicara). Tentu saja si B gagal karena kemampuan berbicara dalam bahasa asing tidak bisa dibangun dalam waktu se­malam, seminggu atau sebulan, secara malas-malasan pula. Sementara si A, dengan ke­gigihannya berpraktek, di­terima dan diberi beasiswa untuk melanjutkan pen­didi­kannya bahkan sampai S3 di luar negeri.
Cerita di atas merupakan kisah yang barangkali sudah biasa dialami oleh orang Minang namun jarang disorot sebagai akibat fatal dari sikap memandang enteng peristiwa budaya yang sepele. Sumbernya adalah dari resistensi Minang­kabau yang homogen ketika berhadapan dengan yang ber­bau bahasa asing.
Jika kita melihat kembali ke awal cerita, kedua ma­hasiswa itu sama-sama berniat kuat untuk berinvestasi demi masa depannya dengan me­nguasai bahasa Inggris, namun hanya satu yang punya resistensi kepribadian yang kuat terhadap respons negatif lingkungannya.
Jika kita melebarkan pan­dangan ke, katakanlah, ma­hasiswa di Kota Padang saat ini, berapakah mahasiswa yang setipe dengan si A?
Saya berspekulasi jum­lahnya barangkali 1 banding 100. Namun, yang 100 orang itu bukannya tidak memiliki niat yang sama dengan si A. Kalau ditanya mengenai pen­tingnya menguasai bahasa Inggris untuk masa depan mereka, saya yakin bahwa mereka 100% sangat ingin menguasainya. Tetapi, bagai­mana mungkin mereka akan bersungguh belajar me­ngua­sainya jika dari awal saja mereka sudah mencemooh teman yang berkomitmen untuk belajar?
Di sinilah sebetulnya titik kritis dan menentukan yang berkontribusi terhadap ke­munduran mahasiswa di ranah Minang dalam menguasai bahasa asing. Ketika usaha mencapai keterampilan ber­bahasa asing disikapi oleh kebanyakan mahasiswa dan lingkungan sekitar dengan tatapan sinis serta cemoohan, mereka sebetulnya telah mem­perangkap dirinya dalam je­bakan kemunduran.
Karena setiap cemoohan yang di­lontarkan kepada orang lain akan memberi efek balik kepada diri sendiri, yaitu paranoia terhadap cemoohan serupa. Artinya, seseorang yang mencemooh orang lain bi­asanya akan ingat dengan cemoohannya dan akan selalu bertindak agar dia tidak men­dapat cemoohan serupa dari orang lain.
Jika hipotesa ini kita pa­kaikan ke kasus A & B tadi, maka teman-teman mereka yang mencemooh tadi juga tidak akan berpraktik bahasa Inggris karena tidak mau dicemooh balik. Hasilnya bisa ditebak, semuanya tidak akan bisa menguasai bahasa asing tersebut secara mantap, bahkan mungkin tidak sama sekali. Bagaimana jika ternyata be­berapa dari teman-teman A & B yang mencemooh tadi ber­nasib beruntung bekerja sebagai pengajar di sekolah atau per­guruan tinggi (PT).
Bukan tidak mungkin me­reka juga akan menularkan budaya cemooh ini secara lebih luas ke anak didik/mahasiswa mereka. Bu­kan­kah ini berarti kemunduran masal bagi orang Minangkabau itu sendiri?
Kalau dibandingkan dengan daerah lain, sikap cemooh memang lebih membudaya di ranah Minang. Lihatlah masya­rakat di kota-kota yang lebih heterogen seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, tidak terlihat budaya cemooh ini dilakukan terhadap orang-orang yang sedang belajar bahasa asing sehingga kemampuan berbahasa asing merupakan suatu ke­wajaran dan ke­lum­rahan.
Tapi coba tengok di ranah Minang, budaya cemooh se­pertinya bahkan telah di­institusionalkan. Beberapa koran harian Minangkabau memiliki kolom yang khusus mengomentari isu yang sedang hangat. Komentar-komentar singkat tersebut rata-rata tidak lebih dari sekedar cemoohan ketimbang nasehat atau saran konstruktif. Jelas ini ber­tentangan dengan ajaran Islam menjadi fondasi adat Minang­kabau.
Ajaran yang dimaksud adalah untuk berkata benar dan baik atau, jika tidak ada yang benar dan baik untuk di­katakan, memilih untuk diam. Sayangnya hal ini sepertinya malah dilanggar oleh institusi corong informasi di tanah urang awak ini.
Masih dalam rangka mem­peringati hari guru, pe­ngen­tasan budaya cemoohan ini juga harus menjadi agenda setiap guru, pengajar, dan pendidik. Jika seorang guru sudah ter­lanjur terjebak dengan budaya cemooh, tentu dia mesti ber­henti meneruskan budaya negatif tersebut melalui anak didiknya dan memberi nasehat bahwa cemooh itu sama ber­bahayanya dengan merokok. Dia enak untuk dinikmati tetapi mematikan dan meracuni orang lain dalam usaha men­capai kemajuan.
Jika kita ingin Ranah Mi­nang menghasilkan generasi seperti H Agus Salim, M Hatta, dan Tan Malaka lagi, maka selain merubah perilaku sosial kita terhadap siapa saja yang berlatih menggunakan bahasa asing, kita juga harus mengubah pola pengajaran ter­hadap ge­nerasi muda sehingga mereka lebih  nyaman dan terfasilitasi dalam usaha be­lajarnya ter­sebut.

HANAFI
(Mahasiswa PhD, University of Melbourne, Australia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar