Featured Video

Jumat, 02 Desember 2011

Siapa Bilang Menjadi Petani Miskin?


Kompas/Syahnan RangkutiAmin di kebun durian montong miliknya.
 Muhammad Amin (55) tidak berbeda dengan petani lain di Tanah Air. Penampilannya sederhana, berkaus kutung, bercelana pendek, bertopi, dan dengan parang di pinggang. Gerakannya gesit dan tampak sehat di usianya yang tidak lagi muda.    
           
Setiap hari, Ocu (panggilan abang dalam bahasa Kampar, Riau) Amin, dapat ditemui di ladangnya yang hanya berukuran 4.000 meter persegi di Desa Balam Jaya, Kecamatan Tambang, Kabupaten Kampar, Riau (sekitar 35 kilometer dari Kota Pekanbaru).
Lahan seluas itu cukup kecil untuk ukuran sebuah ladang. Ladangnya hanya berisi 20 batang pohon durian montong yang sudah berusia sekitar 11 tahun. Di bawah pohon durian itu terdapat sekitar 200 batang pohon kakao.
Saat dikunjungi Kompas di ladangnya Selasa (30/11/2011) petang, Ocu Amin tengah membersihkan areal di bawah pohon duriannya yang tengah berbuah lebat. Dari 20 pohon itu, rata-rata terdapat 50 butir atau total tidak kurang dari 1.000 butir durian. Sekitar tiga pekan lagi, duriannya bakal mulai dapat dipanen. Harga rata-rata satu buah durian montongnya Rp 50.000 atau total produksi panen kali ini diperkirakan mencapai Rp 50 juta.                
"Harga Rp 50.000 itu diambil di ladang saya. Saya tidak pernah menjual buah keluar, karena sudah ada pedagang yang datang kemari," ujar Amin.
Berapa kali durian Ocu berbuah pada tahun ini? "Alhamdulillah, ini panen ketiga. Sebenarnya sepanjang tahun, durian saya berbuah, namun panennya tiga kali dengan jumlah (produksi) yang hampir sama," katanya.                
Bila penghasilan Amin dalam tiga periode panen dengan produksi rata-rata 1.000 buah, maka pendapatannya berkisar Rp 150 juta setahun. Dari panen coklatnya masih ada tambahan lagi. Produksi kakaonya mencapai 60 kg per bulan. Apabila harga kakao Rp 20.000 per kilogram, maka Amin masih memiliki tambahan penghasilan sampai Rp 1.200.000 setiap bulan. Artinya, penghasilan Amin dapat mencapai Rp 13,5 juta sebulan.                  
"Saya mengerjakan seluruh pekerjaan di ladang, dari mulai memupuk, memanen sampai membersihkan ladang. Saya tidak perlu memakai tambahan, karena saya masih sanggup melakukannya sendiri," kata Amin.                  
Hasan (34), seorang pedagang pengumpul kepercayaan Amin, mengaku tidak pernah kesulitan menjual durian Amin. Setiap menjelang panen, dia tinggal menelepon pembeli dari Kota Pekanbaru, Duri atau Dumai.
"Bahkan sebelum panen biasanya para pembeli sudah menelepon saya. Saya tinggal mengumpulkan durian, memeramnya selama dua hari dan siap menjual pada pembeli yang sudah menjadi langganan saya," kata Hasan, yang kebetulan sedang berada di kebun Amin.
Sopir angkutan umum
Amin memulai usaha kebun duriannya sekitar 11 tahun lalu. Sebelumnya dia bekerja sebagai sopir angkutan umum dengan penghasilan yang pas-pasan. "Pada tahun 2000, saya sudah bulat hati mau berhenti menjadi sopir angkot. Hasilnya tidak seberapa, padahal anak saya ada tiga," katanya.
Dari hasil menabung dari penghasilan sebagai sopir, Amin kemudian membeli bibit durian montong, dan menanamnya di kebun peninggalan orang tuanya yang berjarak sekitar 200 meter dari rumahnya. Pada tahun 2003, dia membeli bibit kakao untuk ditanam di sela-sela pohon duriannya. Dengan susah payah, dia merawat durian dan kakao itu, dan beberapa tahun kemudian, kerja kerasnya mulai berbuah.                  
"Pada tahun 2006, durian dan kakao saya mulai berbuah. Hasilnya tidak sebanyak sekarang, namun sudah cukup untuk biaya dapur. Sejak tahun 2008, durian saya sudah berbuah seperti sekarang ini," kata Amin.                
Keberhasilan Amin dari kebun duriannya memang membuat mata silau. Tidak sedikit orang yang menggodanya untuk mengambil alih asetnya yang berharga itu.                
"Memang ada orang yang sudah menawar kebun saya Rp 500 juta. Ada juga pejabat dari Pekanbaru yang menawarkan tukar guling, kebun dan rumahnya, namun saya tidak mau. Lebih baik saya pertahankan kebun ini, karena hanya ini harta yang saya miliki," katanya merendah.
KOMPAS.com 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar