Featured Video

Selasa, 14 Februari 2012

BEBAN DANAU MANINJAU SANGAT BERAT


Danau Maninjau di Kabupaten Agam tak henti-hentinya dilanda musibah tubo belerang sejak tahun 1990-an. Setiap kali musibah masyarakat terutama pengusaha keramba jala apung mengalami kerugian besar tersebab ikan dalam keramba mereka mati.

Pada pekan lalu kejadian serupa terjadi lagi dan mematikan puluhan ton ikan keramba jala apung milik masyarakat dengan kerugian miliaran rupiah. Bahkan tidak kerugian material saja, kondisi lingkungan danau tercemar, bau busuk dan bangkai ikan bertebaran di seputar danau yang berpotensi menimbulkan berbagai jenis penyakit. Dengan kondisi lingkungan yang demi­kian, wisatawanpun enggan berkunjung dan menginap di penginapan seputar danau sehingga pe­ngusaha wisata turut menanggung kerugian.
Sebenarnya masyarakat setempat telah amat berpengalaman dengan kemunculan racun dari dasar danau karena setiap kali kejadian selalu didahului dengan kondisi cuaca yang sama yakni musim hujan dan munculnya angin darek.
Tetapi walaupun telah muncul kondisi cuaca demikian sepertinya masyarakat tidak mengambil langkah antisipatif, warga cuek, seolah membiarkan tubo belerang itumengamuk, begitupun lembaga pemerintah maupun lembaga masyarakat yang seharusnya peduli terhadap kondisi cuaca danau dan dampak yang akan timbul kurang pro aktif mem­peringatkan masyarakat.
Padahal kaum ilmuwan dengan survei dan penelitiannya jauh-jauh hari telah amat sering memperingatkan agar diambil tindakan nyata sebagai solusi terhadap “gebalau” persoalan di danau bekas kaldera gunung api itu.
Dari survey maupun penelitiian yang dikakukan berbagai lembaga ilmiah termasuk LIPI dinyatakan bahwa muncul­nya persoalan lingkungan di danau itu terutama karena kondisi air yang tidak lagi kondusif disebabkan oleh pertambahan keramba jala apung yang terus berlang­sung dan penempatannya yang menumpuk pada lokasi tertentu.
Kondisi keramba jala apung yang demikian memperberat beban danau, karena kotoran hasil usaha ikan berupa pelet makanan ikan yang juga terus bertambah itu tidak mampu lagi difilter oleh kondisi danau, sehingga air danau rentan terhadap racun yang berasal dari belerang maupun residu sisa pakan.
Pada tataran politis dan sosiologis, pemerintah, wakil rakyat maupun tokoh masyarakat sebenarnya telah menyadarinya dengan mengambil tindakan persuasif berupa sosialisasi mengenai dampak lingkungan maupun dengan membuat peraturan, Perda Tata Ruang dan Peraturan Bupati.
Tetapi tindakan persuasif maupun preventif seolah berhenti sampai di situ, sejumlah aturan dan kesepakatan menge­nai kelestarian danau mandeg ketika dinjalankan karena belum adanya ketega­san dan keberanian oleh pelaksana.
Memang dari 3 fungsi ekonomi utama Danau Maninjau yakni sebagai tempat usaha ikan, lokasi bermain para wisatawan dan airnya sebagai pemutar turbin PLN, untuk saat ini kontribusi yang dirasakan masyarakat adalah fungsi usaha perikanan, tetapi untuk jangka panjang ini sangat mencemaskan. Hal itu telah dibuktikan dengan semakin seringnya muncul racun dari dasar danau yang setiap kali muncul mematikan berton-ton ikan milik warga. Lagian, masih diakibatkan tidak kondu­sifnya kondisi air danau biota yang hidup di danau terancam punah.
Tahun 2011 lalu pengamat kebijakan publik Andrinof Chaniago dalam perte­muan dengan anggota DPRD Agam di Mess Pemda Agam di Cipinang Jakarta telah memperingatkan bahwa lingkungan terutama air Danau Maninjau berada dalam kondisi kritis, untuk menyelamatkannya harus ada regulasi yang dilaksanakan secara tegas dan tindakan itu harus diambil secepatnya, sebelum kondisi danau terlanjur babak belur.
Tetapi, sekali lagi dikatakan, hingga saat ini belum ada regulasi yang dilaksa­nakan secara tegas dan berani untuk menyelama­takan lingkungan danau tersebut. Memang untuk melaksanakan regulasi tersebut tidak cukup kalau hanya dilakukan oleh pemerintah tanpa keikut­sertaan masyarakat. Oleh karena itu pula jembatan komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat harus dibangun secara intens, tanpa menge­depankan saling salah menyalahkan.
Kasihan kalau gebalau lingkungan danau maninjau dibiarkan berlanjut karena akan membuat risau warga di kitaranya sebagai pemilik danau. Akan tak berakhir pantun sedih masyarakat seputar danau, “Maninjau padilah masak, batang kapeh batimba jalan, hati risau dibao galak, bak paneh manganduang hujan.  (Laporan: Kasra Scorpi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar