Featured Video

Senin, 09 April 2012

Sanggar Magek Manandin


Sanggar Tari Piring
Pada hari Sabtu, tanggal 17 september 2011 yang lalu, para tamu yang menghadiri acara halal bi halalIkatan Keluarga Besar Minangkabau Yogyakarta (IKBMY) dibuat terpukau oleh rentak dan liukan empat orang anak-anak penari  piring usia sekolah dasar yang tampil mengisi acara pada malam itu.

Tari Piring termasuk salah satu tari tradisional khas Minangkabau  yang berumur ratusan tahun. Tarian tersebut berasal dari Solok, Sumatra Barat. Awalnya,  tari ini pada dilakukan sebagai ritual guna mengucapkan rasa syukur masyarakat setempat kepada dewa-dewa karena mendapatkan hasil panen yang melimpah-ruah. Ritual dilakukan oleh beberapa gadis cantik dengan membawa sesaji dalam bentuk makanan  yang diletakkan di dalam piring. Para gadis tersebut didandani dengan pakaian yang bagus lalu mereka membawa makanan dalam piring sembari melangkah dengan gerakan  yang dinamis. Setelah  Islam masuk ke Minangkabau,  tradisi Tari Piring tetap dilangsungkan.  Akan tetapi,   tari tersebut hanya ditampilkan sebagai sarana hiburan bagi masyarakat banyak pada acara-acara keramaian (pesta), seperti:  pesta adat, pesta pernikahan,  dan  lain-lain.
Tari Piring termasuk salah satu tari tradisional khas Minangkabau  yang berumur ratusan tahun. Tarian tersebut berasal dari Solok, Sumatra Barat. Awalnya,  tari ini pada dilakukan sebagai ritual guna mengucapkan rasa syukur masyarakat setempat kepada dewa-dewa karena mendapatkan hasil panen yang melimpah-ruah. Ritual dilakukan oleh beberapa gadis cantik dengan membawa sesaji dalam bentuk makanan  yang diletakkan di dalam piring. Para gadis tersebut didandani dengan pakaian yang bagus lalu mereka membawa makanan dalam piring sembari melangkah dengan gerakan  yang dinamis. Setelah  Islam masuk ke Minangkabau,  tradisi Tari Piring tetap dilangsungkan.  Akan tetapi,   tari tersebut hanya ditampilkan sebagai sarana hiburan bagi masyarakat banyak pada acara-acara keramaian (pesta), seperti:  pesta adat, pesta pernikahan,  dan  lain-lain.
Akan tetapi saat ini sangat sedikit orang yang menggelutinya.  Secara perlahan-lahan kesenian tradisional  yang merupakan kekayaan budaya daerah Minangkabau  ini berangsur-angsur punah. Rendahnya minat generasi muda dalam mempelajari kesenian tradisional merupakan salah satu penyebabnya.
Kondisi  yang terjadi di atas sedikit bertolak belakang dengan  yang  terjadi  di  Jogjakarta. Beberapa orang  remaja Saniangbaka  yang  lahir dan besar  di rantau dengan dipandu oleh beberapa  orang anak mudo, saat ini justru bersemangat belajar tari piriang. Ibarat mambangkik batang tarandam,  mereka mendirikan sebuah sanggar kesenian trandisional yang  diberi nama sanggar magek manandin.
Pada hari sabtu,  tanggal 17 september 2011  yang lalu, para tamu  yang menghadiri acara halal bi halal Ikatan Keluarga Besar Minangkabau  Yogyakarta (IKBMY)  dibuat terpukau oleh rentak dan liukan empat orang  anak- anak penari piring usia sekolah dasar yang tampil mengisi acara pada malam itu. Mereka begitu kompak dan rapi dalam memainkan tari ramo-ramo bagaluik seirama dengan tabuhan gendang dan talempong serta tiupan saluang yang mengiringi tarian yang mereka mainkan. Gedung Sportarium Universitas Muhammadiyah Yogyakarta yang sebelumnya lesu mendadak menjadi bergairah. Ratusan hadirin berdiri menyaksikan mereka menari dan tidak sedikit pula yang berebut mengabadikannya melalui foto ataupun rekaman video. Boleh dikatakan dari serangkaian acara halal bi halal pada malam itu, tari piriang merupakan acara yang paling menghibur penonton.
Siapa sangka anak-anak yang tampil pada malam itu adalah mereka yang lahir dan besar di rantau. Mereka adalah penari Sanggar Magek Manandin yang berada dibawah koordinasi bagian kesenian IWS Jogjakarta dan dipimpin oleh Adnan Sutan Mangkuto. Sanggar ini didirikan oleh IWS Jogjakarta sekitar 3 tahun yang lalu. Dasar dari berdirinya sanggar ini adalah, karena Para penggiat seni (anakmudo)Saniangbaka seolah-olah merasa terpanggil kembali untuk menghidupkannya Saat ini sanggar Magek Manandin diawaki oleh Adnan Sutan Mangkuto (pelatihtari, pembawa lagu dan gendang), Pendi Lenggang (saluang), Buyuang Salmi (gendang), Buyuang Mario Lelo Sutan (talempong), Syaiful Rangkayo Batuah (talempong), Wilno (talempoang).
setelah bertemu dengan kawan-kawan lama dirantau.
Saat ini sanggar magek manandin sering mendapat panggilan untuk tampil pada acara-acara baralek IWS di Jogjakarta dan kota-kota lainnya di pulau Jawa dan Bali. Bahkan mereka pernah tampil di kampuang pada saat acara penyambutan pulang basamo yang diadakan di Balai Gadang tahun 2009 lalu. Yang pada waktu itu sebagian besar dari urang awak yang menyaksikan mengira mereka adalah anak-anak mudo yang ada di kampuang.
Penari yang aktif saat ini ada 7 orang, yaitu Yaya suku Piliang anak dari Irwan Bungo Palo, Riki Suku Pinyangek anak dari Al Sarendeang, Fadli suku sikumbang anak dari Eka Yuliman, Nadira suku koto anak dari Awi,
Wilno dan Rena Suku Sikumbang anak dari Adnan Sutan Mangkuto, Dila Suku Piliang anak dari Masri.
Sebagai pengelola sanggar, Adnan Sutan Mangkuto sangat mengharapkan partisipasi dari warga IWS Jogjakarta lainnya untuk ikut bergabung, terutama dari anak-anak muda agar terciptanya regenerasi. Beliau siap menghidupkan kegiatan kesenian di Jogjakarta, tidak hanya tari piring, juga kesenian tradisional lainnya, seperti randai serta silek. Saat ini pengiring tari masih didominasi oleh para orang tua yang sudah malang melintang sejak dari kampuang. Oleh karena itu sudah perlu adanya regenerasi dari yang tua ke anak-anak muda di Jogjakarta “yang pada saat ini jumlah nya di perkirakan sudah ratusan orang.”
Saat ini orderan untuk tampil semakin meningkat, baik untuk acara baralek maupun acara-acara warga minang lainnya di perantauan. Bahkan ada sebagian yang terpaksa ditolak, seperti permintaan dari IWS Bali, dikarenakan jadwalnya berdekatan dengan acara halal bi halal IKBMY.
Ketua IWS Jogjakarta, Drs. Syaiful Adnan yang juga merupakan wakil ketua IKBMY sangat bangga dengan keberadaan sanggar ini, karena secara tidak langsung sudah mengangkat nama Saniangbaka di perantauan. Sebagai orang seni, beliau sangat mendukung keberadaan sanggar ini. Menurut beliau volume latihan kalau bisa ditingkatkan sekurang-kurangnya 1 kali dalam seminggu. Beliau juga menambahkan “Rumah gadang Saniangbaka yang ada di Jogjakarta terbuka untuk digunakan sebagai tempat latihan. “
Saniangbaka dahulunya merupakan gudangnya kesenian tradisional, seperti tari, randai dan silat. Akan tetapi saat ini secara perlahan-lahan jejaknya menghilang seiring dengan berpulangnya satu-persatu seniman-seniman kawakan yang kita miliki. Ilmu yang mereka miliki terkubur bersamaan dengan jasadnya ka
rena tidak adanya minat dan kemauan yang dimiliki oleh generasi muda kita.
Oleh karena itu, keberadaan sanggar magek manandin merupakan jawaban atas kekhawatiran akan punahnya warisan budaya nagari kita Saniangbaka. Bahkan beberapa waktu yang lalu randai Magek Manandin dipentaskan oleh bule-bule Jerman di negaranya. Magek Manandin sendiri merupakan cerita legenda dari nagari Saniangbaka yang mungkin generasi muda kita sendiri tidak ada yang mengenalnya.
Untuk itu marilah sama-sama kita dukung keberadaan sanggar ini. Berilah mereka kesempatan dan keleluasaan untuk berkreasi dan mengelola sanggar. Terutama masalah jadwal dan tempat latihan. Patut juga kita pahami bahwasanya diperantauan dengan berbagai kesibukan dalam mencari nafkah. Sangat sulit mengatur waktu untuk dapat berkumpul guna mengadakan latihan, terutama dengan jadwal sekolah anak-anak tari yang harus diantar jemput oleh orang tua mereka. Ditambah lagi dengan sebaran tempat tinggal yang cukup jauh. Untuk itu alangkah lebih baik, seandainya kita memberikan kebebasan kepada mereka untuk menentukan lokasi dan waktu latihan. ( AndiSaputra)
Sumber : Majalah Saran Edisi : 10/Tahun IV/2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar