Featured Video

Senin, 09 April 2012

SEJARAH BARU FILM INDONESIA TERCIPTA


Ditulis oleh Teguh  
ADA catatan membanggakan dalam dunia perfilman Indonesia, pekan ini. Film The Raid: Redemption yang dirilis dua pekan lalu berhasil menarik perhatian satu juta penonton di Indonesia. Pada saat sama, film ini masuk dalam deretan 20 film box office di Amerika Serikat. Sejarah baru telah tercipta.

Film yang menghadirkan bintang utama Iko Uwais ini, bisa diprediksi bakal mengalahkan film terbaik Indonesia sepanjang masa yang sebelumnya dipegang oleh film Tjoet Nja’ Dien (1986), yang pernah meraih catatan penonton terbanyak pada zamannya, dan juga meraih gelar sebagai Film Terbaik pada Festival Film Indonesia (FFI) 1988 dengan meraih delapan Piala Citra.
Meski Tjoet Nja’ Dien gagal masuk nominasi Academy Awards ke-62 pada 1990 untuk penghargaan Film Berbahasa Asing Terbaik, namun film ini menjadi film Indonesia pertama yang ditayang­kan di Festival Film Cannes (1989).
Seperti apa sih film terbaik itu? Menurut saya, kriterianya mudah saja: film tersebut berhasil memikat perhatian penonton, alias laris manis di pasaran. Serta film tersebut berhasil pula memikat hati dewan juri di sejumlah festival film, tidak hanya di Indonesia, namun juga di mancanegara.
Nah, film The Raid: Redemption telah memenuhi kriteria itu. Seti­dak­nya bakal sulit film Indonesia lainnya akan menyamai rekor pencapaian film ini,
Dari segi penonton, misalnya, untuk tahun 2012 ini saja, saingan terberatnya datang dari film Negeri 5 Menara, film yang kaya dengan sodoran nilai-nilai baik, namun tidak terlalu baik dalam pengga­rapan detail produksi, dan penggarapan skenario. Sejak dirilis awal Maret 2012, film ini baru berhasil meng­gaet hampir 800.000 penonton.
Bukan tidak mungkin pula bila The Raid berhasil mengalahkan rekor penonton terbanyak di Indo­nesia yang ditoreh film Laskar Pelangi (2008) sebanyak 4.606.785 penonton.
Dari segi penonton, film ini juga terbilang laris di Amerika Serikat. Meski hanya diputar di 24 bioskop di Amerika Serikat, film besutan Gareth Evans ini mampu meraup penghasilan sementara US$284 ribu. Sementara puncak box office didu­duki film laga lain yakni The Hunger Games yang diputar di lebih dari 4.000 bioskop di Amerika Serikat.
Film The Raid juga berhasil memikat hati para dewan juri sejumlah festival film. Seperti dalam Toronto International Film Festival ke-36, baru-baru ini. Film yang mengangkat seni bela diri khas Indonesia, pencak silat, itu meraih The Cadillac People’s Choice Award untuk kategori Midnight Madness.
Selain itu, dalam Jameson Dublin International Film Festival 2012, The Raid berhasil menyabet The Best Film sekaligus Audience Award.
Sementara dalam Festival Film Sundance 2012, film yang mengu­sung seni bela diri tradisional Indonesia ini menjadi salah satu karya yang paling disukai panitia Sundance.
Tak ketinggalan IMDB yang memasukkan film The Raid dalam 50 film laga sepanjang masa. The Raid berada di urutan 45 dengan rating 8.0, sejajar dengan Star Trek, The Adventure of Robinhood, Avatar, dan Pirates of the Caribbean: The Curse of the Black Pearl.Film The Raid mendapatkan rating 8.0 sebelum tanggal penayangan pada 23 Maret 2012. Hal ini menan­dakan bahwa film kedua dari PT Merantau Films ini masih berpe­luang mendapatkan rating tinggi setelah dirilis.
Mendapat penghargaan dalam festival film internasional memang bukan hal baru dalam dunia perfilman Indonesia. Sudah banyak sekali film Indonesia yang menda­patkannya. Namun penilaian ‘terbaik’ itu hanya berasal dari keputusan dewan juri festival saja. Sebagian besar film tersebut tidak terlalu berhasil dalam mendulang penonton.
Sejumlah film karya sutradara Garin Nugroho, misalnya, banyak berhasil peraih menghargaan inter­na­sional, namun bisa dibilang gagal dalam menarik sebanyak mungkin penonton.
Kiprah Garin yang muncul ketika film Indonesia sedang mati suri ini banyak ditiru oleh sineas muda lainnya. Mereka lebih gemar menghadirkan film-film untuk dijajakan di festival film. Para sineas ini lebih gemar mencari pengakuan dewan juri festival, ketimbang pengakuan dari para pencinta film.
Satu-satunya kritik untuk The Raid adalah film ini tak seluruhnya digarap para pekerja film Indonesia. Seperti keterlibatan sutradara Gareth Huw Evans dari AS, juga musisi papan atas Mike Shinoda, salah satu personel Linkin Park dan Joseph Trapanese seorang komposer berbakat yang menggarap film Walt Disney Tron: Legacy (2010).
Namun kolaborasi dengan nega­ra asing untuk mengangkat film Indonesia ke mancanegara, sudah terbilang tepat. Sejumlah film China yang dibintangi Jackie Chan, misalnya, bisa semakin menggurita di mancanegara, setelah digarap bersama dengan industri film Hollywood.
Begitu pula dengan ‘perkawinan’ antara Bollywood dan Hollywood, melalui film My Name Is Khan, misalnya. Film patungan antara Fox Searchlight Pictures dan Dhar­ma Productions dengan aktor terpopuler di India, Shah Rukh Khan ini menjadi film Bollywood paling sukses dalam sejarah box office Inggris.
Industri film Indonesia harus serius membangun networking dengan industri film dari belahan dunia manapun, termasuk Amerika. Ini setidaknya telah ditunjukkan oleh pekerja asing dalam meng­gamit Indonesia dalam sebuah produksi film.
Ketika Hollywood menggarap film Eat, Pray, Love yang dibintangi Julia Roberts menjadikan Bali sebagai salah satu lokasi tempat syuting, mereka pun menggamit aktris terbaik Indonesia Christine Hakim untuk berperan. Mereka pun melakukan proses casting luar bisa melelahkan untuk mendapatkan pemeran dukun atau guru spiri­tualitas dalam film tersebut.
Para produser film Indonesia sebenarnya juga telah ada kecen­derungan membangun networking dengan pihak asing. Namun baru sebatas berani bernegosiasi dengan para agen bintang film porno demi menjual film mereka.
Produser film horor seks ini pun berhasil bisa mengajak syuting Maria Ozawa (Menculik Miyabi), Rien Sakuragi (Suster Keramas), Tera Patrick (Rintihan Kuntilanak Perawan), Sora Aoi (Suster Keramas 2), Sasha Grey (Pocong Mandi Goyang Pinggul).
Jadi, sekali lagi kesimpulannya adalah prestasi film The Raid sangat membanggakan. Mungkin juga membanggakan bagi para pocong, kuntilanak, atau suster yang sedang keramas. (inilah.com/Ediya Moralia)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar