Featured Video

Senin, 07 Mei 2012

"The Avengers", gubrak...gubrak!

The Avenger

Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh, begitulah ungkapan nyekrup untuk memampatkan dan memadatkan salah satu sajian dari studio Walt Disney Pictures bertitel The Avengers.


Tujuh personel serba digdaya beraksi di alam raya menunjukkan bahwa jagat imajinasi seluas langit teknologi serba visual. Efeknya, sekedar gubrak...gubrak...gubrak.

Kata kuncinya, ingin serba super, karena balutan demi balutan kisah mengandalkan nafas kepahlawanan dari tujuh punggawa yang bertekad mempertahankan kelanggengan bumi dari kekuatan jahat serba super juga.

Bumi gunjang-ganjing, langit kelap-kelip, ujung-ujungnya pertempuran demi pertempuran terjadi di arena alam raya.

Diawali aksi kebut-kebutan lantaran berebut sumber energi bernama Tesseract, drama kepahlawanan yang menghimpun tujuh tokoh komik hasil imajinasi seakan mengamini bahwa persatuan melahirkan keselamatan bagi semua bila ingin hidup seribu tahun lagi di jagat semesta. Jangan lagi hamil oleh energi kebencian dan kekerasan.

Tiba-tiba, gubrak...gubrak, seorang perempuan berbalut busana kulit hitam ketat duduk di sebuah bangku diinterogasi oleh sekelompok pria yang punya kuasa.

Begitu sang bos ingin menunjukkan syahwat kuasanya dengan mengambil perangkat siksa bagi sang perempuan, tiba-tiba si pesakitan menerima sinyal panggilan ponselnya. Sekelabat dalam hitungan detik, sang perempuan beraksi meninju dan menendang pria musuh-musuhnya.

Ujung-ujungnya sang perempuan bernama Black Widow -diperankan oleh Scarlett Johansson- memasuki gelaran drama kepahlawanan dari tujuh tokoh serba super.

Gubrak...ingatan publik diguncang soal tokoh Black Widow yang mirip-mirip tokoh film serial spy Inggris tahun 1960-an, Diana Rigg. Keduanya sama-sama mengenakan busana kulit berwarna hitam ketat berbalut aksi tendang dan pukul secepat kedipan mata.

Dengan menumpang kendaraan genre superhero berbalut action yang serba heboh gubrak-gubrak, The Avengers yang disutradarai Joss Whedon disesaki oleh peran ala gladiator dari tujuh tokoh, masing-masing Thor (Chris Hemsworth), Iron Man (Robert Downey Jr.), Captain America (Chris Evans), Hulk (Mark Ruffalo), Hawkeye (Jeremy Renner), Black Widow (Scarlett Johansson) dan Nick Fury (Samuel L. Jackson).

Ketujuh tokoh serba super yang dibaptis sebagai The Avengers itu mengekor kepada tokoh-tokoh komik yang menyuguhkan kekuatan di arena pertarungan. Ketujuhnya seakan mengidentifikasi diri sesuai dengan wilayah pertarungannya masing-masing (champ de forces).

Black Widow memerankan tokoh perempuan seksi, cantik, cerdik. Hulk melakonkan pria kuat berwarna hijau yang serba tidak hirau. Ketujuhnya bergumul di arena strategi perang melawan kekuatan monster dari luar bumi.

Mulanya ketujuhnya berseberangan dalam pandangan, karena masing-masing mereka ingin menangguk kemenangan diri. Akhirnya superhero itu bersatu dalam sebuah "rule of the game" bahwa arena 

pertarungan tidak bisa terlepas dari strategi nan jitu. Nah, setiap arena pertarungan memberlakukan hukum besi bahwa manusia yang s atu menjadi serigala bagi manusia yang lain (Homo homini lupus).

Dan taruhannya satu, keselamatan jagat bumi dan alam semesta. Keamanan global sungguh terancam dengan hadirnya kekuatan jahat terhebat yang selama ini belum pernah ada.

Ini bersesuaian dengan amanat pesanan dari Direktur S.H.I.E.L.D., Nick Fury yang meminta bantuan tim "The Avengers" untuk mencegah bencana yang mengancam dunia. Mereka bersatu padu melawan kekuatan jahat.

The Avengers mencokok perhatian publik akan pemaknaan kata hero. Hero bukan sebatas pahlawan. Istilah "hero" merujuk kepada sosok yang menyelamatkan dan menjadi pujaan hati. Meminjam istilah postmodern, hero adalah pahlawan dengan huruf besar.

Bermodal kekuatan serba super, sosok The Avengers mewakili keinginan tampil memeragakan kekuatannya masing-masing. Ketujuhnya ingin pamer kekuatan di tengah ancaman global dari kekuatan jahat.

Dengan mengusung karakter serba mitis bahwa yang kuat akan senantiasa menang, sejumlah momen aksi unjuk kebolehan The Avengers lantas mengabdi kepada kedigdayaan dari kisah sekuel kepahlawanan "Transformers".

Efek gubrak gubrak dari Avengers juga dibalut teknologi pesawat luar angkasa ultra canggih yang siap melawan kekuatan jahat dari luar bumi. Inti narasinya meniru dogma dari setiap film koboi garapan Hollywood, dar der dor antara penjahat dan penegak hukum.

Kata kuncinya tetap menonjolkan yang serba super. Super hero dan super ego, kata wartawan harian New York Times A. O. Scott ketika meresensi The Avengers.

Nalar dari super hero dan super ego dalam The Avengers justru bermuara dari asa khas film koboi Amrik gaya John Wayne yang cenderung memakai istilah "budaya kami".

Tujuannya, memamerkan kemudian menularkan kecintaan masyarakat Amerika Serikat akan segala ciri yang serba super kepada khalayak global. Bukankah ada superman, supermarket, super kolosal, super kriminal?

The Avengers menonjol-nonjolkan sosok orang berotot dan perempuan berdaya dalam balutan efek gubrak gubrak khas Amrik.

Masing-masing mereka punya kekuatan bertempur jempolan. Mereka berasal dari khasanah tokoh jagoan di kartun yang terlibat aksi baku pukul (smackdown). Gubrak, gubrak seraya berteriak-teriak memadatkan energi penguasaan kepada lawan.

Efek serba heboh ingin mengalahkan lawan itu dihiasi dengan gambar puing-puing kehancuran gedung jangkung pencakar langit Manhattan dan adanya bentuk bulatan raksasa di langit hasil rekayasa digital. Serba super lantaran ingin menjadi sosok serba super ini seakan mengulang kepercayaan dari filsuf Nietzsche, yakni SuperMan (Ubermensch).

The Avengers menyajikan makna SuperMan, Super hero dan super ego. Dan publik bersorak karena ketujuh super hero mereka beraksi secara gubrak gubrak melawan kawanan penjahat. Publik dihibur dalam sebuah harga bahwa setiap tontonan menuntut ketaatan.

Dengan dipandu mantra sains teknologi yang merupakan kekuatan dan ketaatan terselubung, The Avengers diam-diam menyajikan drama tuntutan ketaatan kepada publik global bahwa keselamatan bumi hanya ada dalam sains teknologi. Lantas, siapa yang berada di depan sebagai gladiator di perjuangan mempertahankan hidup ini?

Jawabnya ada dalam adegan demi adegan dari The Avengers yang ingin lepas sensor dari keyakinan masing-masing warga dunia. Kredo ini justru ada dalam kocek sang sutradara Joss Whedon yang boleh jadi ingin merdeka dari kungkungan mitos buku-buku komik.

Di satu pihak sang sutradara memilih panggung Hollywood, di lain pihak The Avengers punya misi ingin menyelamatkan seluruh alam semesta dan segala isinya, utamanya seluruh umat manusia. Ada jejak pertentangan di titik akhir kesimpulan sebuah pernyataan (contradictio in terminis).

Kata Nietzsche, sains merupakan kebijaksanaan handal, bahkan sebuah kehati-hatian. Sesuatu yang berguna, yang masih memberi kepada khalayak publik sederetan hak untuk mengemukakan keberatan-keberatannya, apa artinya itu?

Nah, drama demokratis ala The Avengers menonjolkan soal hidup yang merangkum kejahatan dan kebaikan. Bukan hanya kejahatan, bukan melulu kebaikan, tetapi kedua-duanya.

The Avengers tidak ingin memangkas warna-warni kekayaan hidup, karena The Avengers tidak ingin mengulangi drama dari tokoh Don Quiotte yang menyerang kincir angin karena ia mengira kincir angin itu sebagai sosok raksasa jahat.

Dan Hulk sebagai makhluk raksasa pembela kebenaran mengayunkan tangan untuk menghabisi tokoh Loki seraya menghardik, "Apa itu penguasa jagat raya, siapa itu penguasa?" Gubrak...gubrak!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar