Featured Video

Selasa, 26 Juni 2012

Catatan Agus Pambagio Buahku Busuk Buahmu Laku


Jakarta Ketidakmampuan pemerintah mengembangkan usaha hortikultura yang mumpuni demi nutrisi untuk bangsa, akhirnya berujung menyalahkan banyaknya buah impor yang masuk ke pasar lokal dan merugikan petani, pedagang dan konsumen buah lokal.�
Untuk menghalangi masuknya buah impor ke pasar Indonesia secara masal memang tidak dapat hanya diimbau karena berdagang buah impor lebih menguntungkan daripada buah lokal yang selain harus menanam juga harus merawatnya. Maka yang terjadi, buahku (lokal) busuk buahmu (impor) laku.

Jadi semua orang pasti akan memilih berdagang buah impor daripada bercocok tanam buah lokal/sendiri. Untuk menanam buah-buahan di Indonesia biayanya sangat mahal karena keterlibatan mafia tanah, mafia pupuk, rentenir, dan juga berbagai pungli resmi tapi tidak resmi lainnya. Sehingga pada akhirnya membuat kualitas buah lokal buruk dan harganyapun mahal. Maka satu-satunya jalan adalah mengatur tata niaga buah atau hasil tanaman hortikultura impor.

Jika ini dilaksanakan, pemerintah RI harus berhati-hati karena kalau tidak bisa dituduh memberikan hambatan (barrier) tarif yang melanggar WTO. Untuk itu pemerintah, melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengeluarkan Permendag No 30/M-DAG/PER/5/2012 tentang Ketentuan Impor Produk Hortikultura pada tanggal 7 Mei 2012 untuk mengatur banjirnya buah impor ke Indonesia.

Permendag tersebut disambut baik para petani dan pelaku bisnis hortikultura lokal tetapi ditolak keras oleh industri. Penolakan ini berakibat fatal karena Permendag tersebut harus ditunda pelaksanaannya hingga 28 September 2012. Kondisi ini tentunya mengecewakan petani dan para pihak yang peduli pada perkembangan usaha buah lokal.

Asal Muasal Penundaan

Permendag ini sudah lama ditunggu-tunggu oleh pencinta buah lokal, petani, dan pedagang untuk melindungi buah lokal yang memang secara kualitas dan tampak luar kurang baik dimata konsumen. Rasa asam, tekstur kurang nyaman di mulut, cepat busuk dan harga relatif lebih mahal dari buah impor. Untuk itu mereka menyurati menteri terkait dan menyampaikan persoalan ini melalui liputan media agar pemerintah mau memberikan perhatian.

Persoalan itu direspons oleh pemerintah melalui pengaturan impor yang ketat. Hanya sayangnya ketika membuat peraturan tersebut pemerintah patut diduga tidak melakukan konsultasi publik secara baik ke para pihak yang terkait, seperti importir buah, pedagang buah kelas supermarket maupun pasar tradisional, industri makanan minuman, dan konsumen. Maka munculah reaksi negatif dari kalangan industri.

Reaksi paling keras atas munculnya Permendag No 30 tahun 2012 ini datang dari industri makanan minuman (mamin), khususnya yang berbahan baku utama konsentrat hasil hortikultura. Persoalannya, konsentrat ini memang tidak dihasilkan di Indonesia, sehingga satu-satunya jalan harus impor. Selain itu konsentrat tersebut 100 persen digunakan sendiri sebagai bahan baku tidak diperjualbelikan.

Mengapa harus dimasukkan dalam Permendag ini? Tindakan pemerintah berdasarkan pembahasan kami dengan Kementerian Koordinator Ekonomi, Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian, memang dapat disimpulkan bahwa pembuat Permendag kurang melakukan konsultasi publik dengan seluruh pemangku kepentingan atau stakeholders. Untuk itu Kementerian Perdagangan sebagai penanggungjawab kebijakan ini harus segera melakukan beberapa langkah strategis sebelum 28 September 2012.

Kementrian Perdagangan (Kemendag) harus merevisi apa yang menjadi permasalahan utama dari industri mamin, yaitu misalnya revisi definisi produk hortikultura yang ada pada pasal 1 ayat (2): 'Produk hortikultura adalah semua hasil yang berasal dari tanaman hortikultura yang masih segar atau yang telah diolah'. Sebaiknya diubah menjadi: 'Produk hortikultura adalah semua hasil yang berasal dari tanaman hortikultura yang masih segar atau yang telah diolah serta akan diperdagangkan'.

Jika definisi tidak diubah, maka industri mamin yang mengimpor konsentrat, sebagai produk hortikultura olahan untuk bahan baku harus melakukan beberapa hal yang tidak masuk akal, seperti harus mematuhi pasal 14 terkait dengan persyaratan kemasan dan pasal 15 terkait dengan bentuk dan penempatan label. Jadi pasal ini juga harus direvisi/dihilangkan jika produk olahan hortikultura akan digunakan sepenuhnya sebagai bahan baku dan tidak diperjual belikan.

Tanpa langkah-langkah tersebut, bisa dipastikan industri mamin akan terus melobi dan melawan pemerintah agar Kemendag ini tidak diberlakukan sama sekali. Tentunya petani, pedagang dan konsumen buah lokal dirugikan. Untuk itu, atas nama para pihak yang berkepentingan membuat buah lokal bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri atau buahku laku buahmu laku juga. Secepatnya Kemendag merevisi Permendag No 30 tahun 2012 sesuai saran di atas.


http://news.detik.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar