Senin depan tanggal 2 September 2012 untuk kesekian kalinya Pekan Budaya Sumatera Barat dilaksanakan. Acara yang awalnya digagas oleh para seniman dan budayawan Sumatera Barat untuk tahun ini akan dilangsungkan di Kotobaru bekas Ibu Kabupaten Solok hingga tanggal 8 September mendatang.
Selama tujuh hari tujuh malam akan dilaksanakan perhelatan di sana. Setidak-tidaknya ini adalah pengulangan perhelatan yang sama di Kotobaru ketika tahun 1983 dilaksanakan MTQ tingkat Sumatera Barat di sana selama sepekan pula. Artinya, sebagai tuan rumah, Kotobaru atau Kabupaten Solok sudah memiliki pengalaman.
Apalagi pada waktu Pekan Budaya dipecah-pecah ke berbagai daerah tahun 1990an, Kabupaten Solok pernah juga kebagian sebagai pelaksana salah satu iven dalam agenda-agenda Pekan Budaya.
Pekan Budaya, iven yang telah menjadi agenda tahunan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat digilir penyelenggaraannya pada kabupaten dan kota di Sumatera Barat. Tahun lalu, digelar di Kota Payakumbuh. Kini giliran Kabapaten Solok baralek gadang. Dari data yang dimiliki Dinas Pariwisata Sumatera Barat, tiap kali dilaksanakan Pekan Budaya cukup mendapat perhatian dan menyedot penonton yang banyak sekali. Pengunjung menyaksikan berbagai seni pertunjukan dan pameran di arena Pekan Budaya tersebut.
Memang sebagaimana ide awalnya, Pekan Budaya menampilkan semua gelaran seni budaya sebagai upaya pelestarian seni dan budaya. Tapi dari satu PB ke PB berikutnya sudah patut kiranya kita lakukan evaluasi total terhadap pelaksanaannya. Jika ini dianggap sebagai mahkotanya berbagai festival dan keramaian dengan kemasan kebudayaan di Sumatera Barat maka mesti ditampilkan lebih hebat dan lebih mengena dibanding berbagai festival serupa dengan nama berbeda yang digelar di berbagtai Kabupaten/Kota.
Saat ini ada Festival Langkisau di Pesisir Selatan, Festival Serambi Mekah di Padang Panjang, Festival Pedati di Bukittinggi, Padang Fair di Padang dan beberapa kegiatan lasin sejenis. Nampaknya antara satu dengan yang lain tidak ada beda. Termasuk hampir-hampir tidak ada beda dengan agenda yang dibuat di Pekan Budaya. Beberapa tahun lalu Pekan Budaya dikritik oleh kalangan seniman dan budayawan sebagai sebuah pasar malam belaka. Artinya hanya pesta dan keramaiannya yang menonjol. Sedang maksud dan tujuan menjadi ajak pendidikan seni dan budaya kepada generasi muda dan promosi pariwisata Sumbar masih jauh panggang dari api.
Tahun 2007 misalnya, Pekan Budaya digelar di Padang pada bulan Juli. Koran-korsan menyorot bahwa Pekan Budaya lebih dari hanya memindahkan pedagang kaki-lima dari Pasar Raya ke arena PB. Pekan Budaya yang menghabiskan dana Rp1,2 miliar ketika itu dikritik habis-habisan oleh para seniman dan budayawan termasuk oleh Wisran Hadi (kini almarhum). Ketika itu PB diikuti juga oleh kontingen dari negara tetangga Malaysia. Bahkan dibuka oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Menteri Budaya dan Pariwisata Jero Wacik dengan tujuan untuk menarik wisatawan dari dalam dan luar negeri.
Tapi apa yang terjadi kemudian? Sepanjang sepekan lamanya memang lebih banyak pedagang kaki-limanya yang heboh. Tidak banyak terlihat pertunjukan-pertunjukan seni yang bisa menyita perhatian. Para pengunjung yang sempat dipromosikan oleh berbagai biro perjalanan malah komplain kepada pengundangnya. Mereka merasa kena ‘ota’ lalu melanjutkan perjalanannya ke Bukittinggi ketimbang mengikuti kehebohan pasar malam itu.
Di acara itu memang tetap digelar pertunjukan randai, tari-tarian, saluang, salawat dulang, gamad dan lagu pop Minang.
Tapi itu tadi, karena tidak ada bedanya dengan pertunjukan di berbagai festival serupa di berbagai daerah Sumatera Barat, maka Pekan Budaya hanya menjadi pertunjukan biasa-biasa saja. Nyaris tidak ada gereget. Tidak ada catatan atau analisis dari pengamat kesenian yang terbaca di koran-koran tentang satu pertunjukan seni. Maka adalah sebuah pertanyaan yang wajar kita ajukan sekarang: Pekan Budaya Sumatera Barat, apakan sudah berdampak bagi pengembangan kebudayaan Sumatera Barat?
Masalahnya iven ini membawa nama Sumatera Barat dan Minangkabau. Sekedar membanding, ketika Pekan Budaya dilaksanakan oleh BKKNI Sumbar pada tahun-tahuan 80an, suasana berkebudayaan itu sangat terasa. Bahkan ada seminar dan dialogh kebudayaan segala yang melibatkan budayawan tidak saja dari Sumatera Barat tapi dari Malaysia dan dari Yogyakarta. Ketika itu tiap kali selesai PB dilakukan evaluasi untuk pelaksanaan PB berikutnya. Bahkan sempat dimunculkan adanya Panitia Tetap yang melaksanakan PB setiap tahun seperti Pekan Raya Jakarta (PRJ) namun wacana itu tenggelam begitu saja lantaran tak direspon oleh Pemprov Sumbar cq Dinas Pariwisata. Pemprov lebih suka melaksanakan sendiri kegiatan itu, maka pada permulaan tahun 1990an BKKNI (Badan Koordinasi Kesenian Nasional Indonesia) Sumbar melepaskan diri dari kegiatan tersebut.
Agaknya sudah patut Pemprov kembali mengajak para seniman dan budayawan untuk membenahi lagi Pekan Budaya agar terhindar dari cap sekedar Pasar Malam saja atau hanya memindahkan pedagang kaki-lima ke arena PB.***
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar