Pulau Pieh, siap mendunia!
Keindahan wisata bahari bukan saja milik Bali, Gili Trawangan di Lombok Barat, Bunaken di Manado, Raja Ampat di Papua Barat, Wakatobi di Sulawesi Tenggara. Di pantai barat Sumatera Barat, tersimpan keelokan alam perairan yang mempesona. Pulau Pieh, siap mendunia!
Hamparan pasir putih menyejukkan mata memandang. Di kawasan Pulau Pieh, dihiasi gugusan pulau-pulau kecil; Pulau Toran, Pulau Air, Pulau Pandan dan Pulau Bando. Di antara pulau-pulau itu, terdapat beberapa buah gosong (hamparan laut) dengan luas kawasan mencapai 39.900 hektare. Tempat ini potensial dikembangkan berbagai olahraga air.
Siapa sangka, kawasan ini adalah habitat penting bagi ekosistem perairan dangkal.
Warna-warni terumbu karang seolah memanggil setiap penyelam untuk mencumbuinya. Pulau-pulau kecil ini merupakan tempat bertelurnya penyu. Di sinilah, berkarung-berkarung telur penyu dipasok.
Aneka biota laut nan langka dan kharismatik, terdapat di sini. Sebut saja hiu, hiu paus, lumba-lumba, kerang-kerangan dan elang laut.
Tak heran, decak kagum spontan telontar dari para penyelam begitu menyaksikan pesona alam perairan Pulau Pieh. Mereka adalah tim dari Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Bersama Yayasan Minang Bahari, tim ini menyiapkan Pulau Pieh sekitarnya menjadi destinasi wisata bahari kelas dunia.
Gugusan Pulau Pieh yang siap mendunia ini, berada di perairan Padang, Kabupaten Padangpariaman, Kota Pariaman. Bila dari Pelabuhan Bungus, jarak tempuh hanya sekitar setengah jam dari pulau terdekat, Pulau Toran. Sedangkan mencapai pulau terjauh, Pulau Bando, sekitar satu jam. Dari Pelabuhan Muaro Padang, sekitar setengah jam. Nah, dari Pantai Tiram, Padangpariaman lebih dekat lagi. Hanya berkisar 15 hingga 30 menit perjalanan dengan menggunakan kapal 80 PK.
Pulau Pieh disiapkan Kementerian Kelautan dan Perikanan di antara delapan taman wisata perairan gointernasional. Di antaranya Taman Wisata Perairan (WTP) Raja Ampat dan Wakatobi, yang kini mulai menyaingi objek-objek wisata bahari kelas dunia di Bali, Lombok dan Manado.
Di Sumbar sendiri, Pulau Pieh praktis tidak kenal. Namanya tidak sehebat Mentawai yang kini dikenal peselancar dunia sebagai “surganya surfing”. Masyarakat Sumbar hanya mengenal Pulau Sikuai di perairan Padang, yang kini pun namanya mulai meredup.
Komitmen “menjual” taman wisata perairan Pulau Pieh sekitarnya ke dunia, terungkap dalam focus group discussion (FGD) yang digelar di Padang, kemarin. Diskusi yang digagas Kementerian Kelautan dan Perikanan itu, dihadiri segenap pemangku kepentingan di Sumbar. Mulai dari lintas instansi pemerintah provinsi dan tiga kabupaten/kota, Polisi Air Polda Sumbar, Adpel Teluk Bayur, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia, praktisi pariwisata, peneliti dari perguruan tinggi, LSM hingga para pemilik pulau.
Komitmen memberdayakan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil menjadi wisata bahari, terlecut dari berbagai kasus penjualan pulau di Tanah Air ke investor asing. Sebut saja Kepulauan Mentawai, para operatornya nyaris dikuasai asing. Sedangkan penduduk setempat, hanya gigit jari menonton atraksi para bule di negeri sendiri.
Setali tiga uang dengan Pulau Cubadak di Pesisir Selatan. Pulau kecil yang dikelola pengusaha Italia itu, seolah negara dalam negara. Masyarakat sekitar tidak bisa menikmati potensi perairan Pulau Cubadak, yang hak pengelolanya dilego Pemkab Pesisir Selatan kepada orang asing.
Pengalaman Ridwan Tulus, bos Agen Perjalanan Wisata Sumatera Beyond, yang hingga kini telah membawa ribuan turis ke Sumbar, semuanya mengacungkan jempol terhadap keindahan wisata bahari Sumbar. Pengalaman itu juga dirasakan sendiri hampir seluruh peserta diskusi, tentang berbagai pujian para relasi terhadap pesona wisata bahari Ranah Minang.
Hanya saja, potensi wisata bahari itu hanya sebatas kebanggaan. Masih sekadar “sadar potensi”, belum terinternalisasi menjadi “sadar wisata”. ”Sumbar memang kaya dengan wisata bahari, tapi miskin kreativitas. Mengelola pariwisata tidaklah mahal, tidak mesti menunggu investor besar, tapi cukup kepandaian mengemas anugerah yang diberikan Tuhan,” kata Ridwan Tulus.
Belajar dari kegagalan mengelola sejumlah potensi wisata di Bumi Minangkabau, Ditjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengembangkan wisata bahari berbasis kawasan konservasi. Ibarat sekali mendayung dua tiga pulau terlampaui, sembari mengelola kawasan konservasi perairan, pengelolaan Pulau Pieh bisa menghasilkan rupiah dari berbagai kegiatan pariwisata di kawasan tersebut.
Tim Satuan Kerja TWP Pulau Pieh yang mendapat tugas besar mengelola Pulau Pieh ke dunia, kini mulai intensif menjaga kawasan konservasi. Bersamaan dengan itu, tahun depan, sejumlah infrastruktur pendukung mulai dibangun. Di antaranya dermaga terapung atau jetty di setiap pulau, posko penjagaan, fasilitas air bersih, dan sebagainya.
Dari lima pemilik pulau yang akan dikelola Ditjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, tiga di antaranya mendukung Pulau Pieh, Pulau Air dan Pulau Bando digarap menjadi taman wisata perairan. Dukungan itu disampaikan Syafrizal (pemilik Pulau Pieh) St Yuswar (Pulau Bando) dan Yunasril (Pulau Air) yang hadir dalam FGD tersebut.
Peserta diskusi dari Lantamal, Adpel, Ditjen Hubungan Laut Kemenhub, Polisi Air Polda Sumbar juga menyatakan dukungannya untuk mengawasi perairan Pulau Pieh dari praktik penangkapan ikan secara ilegal. “Sebelum itu dilakukan, Kelompok Kerja (Pokja) TWP Pulau Pieh harus meyakinkan nelayan setempat dengan mata pencarian lain,” usul Bambang Purwanto, dari Ditjen Hubungan Laut.
Kepala Subseksi Program dan Evaluasi Loka KPKN Pekanbaru, Darmawan mengatakan, TWP Pulau Pieh dibuat zonasi kawasan konservasi perairan. Zonasi pertama adalah zona inti. Zona ini dimanfaatkan untuk perlindungan mutlak habitat dan populasi ikan, pemijahan ikan, penelitian dan pendidikan.
Zonasi kedua adalah zona perikanan berkelanjutan. Di kawasan ini, boleh dimanfaatkan sebagai penangkapan dan budidaya ikan, tampat pariwisata dan rekareasi. Zonasi ketiga, adalah zona pemanfaatan. “Nah, di zona inilah apa pun kegiatan bernilai ekonomi bisa dimanfaatkan. Dengan catatan, setiap kegiatan harus ramah lingkungan,” papar Darmawan.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sumbar yang diwakili Kabid Pengawas Albert Kristianto menekankan, konsep taman wisata perairan harus melibatkan masyarakat. Dia mencontohkan Pojka TWP Pulau Pieh mengadopsi wisata bahari di Pulau Gili Trawangan, Lombok Barat, yang terbukti mampu menjaga kelestarian alam, dan meningkatkan ekonomi masyarakat lokal.
Wakil Ketua HNSI Sumbar, Syofyan B Amran menyambut antusias gugusan Pulau Pieh dijadikan kawasan konservasi perairan nasional (KKPN). “Saya akan sosialisasikan pada semua anggota HNSI, agar tidak menangkap ikan di kawasan perairan Pulau Pieh. Kami pun siap menjaganya dari aktivitas nelayan-nelayan luar Sumbar,” kata Syofyan.
Lantas, dari mana pendanaan TWP Pulau Pieh? Darmawan menyebutkan, bersumber dari dana pertanggungjawaban sosial perusahaan (CSR) dan Progran Kemitraan Bina Lingkungan BUMN. Mulai tahun depan, kelembagaan dan sumber daya manusia yang mengelola TWP Pulai Pieh direkrut dan dilatih. Setiap nagari di sekitar pulau tersebut, minimal 50 orang direkrut sebagai tenaga konservasi.
Bagaimana dengan kegiatan wisata bahari? Ridwan Tulus menyarankan sedianya dikelola masyarakat secara berkelompok. Sebut saja paralayang, banana boat, jetski dan olahraga air lainnya sebaiknya diserahkan pada masyarakat. Begitu juga alat transportasi menuju pulau-pulau tersebut, sedianya dikelola masyarakat lokal.
“Selama ini maraknya pungli, pengamen, sampah berserakan hingga kriminalitas di lokasi objek wisata, karena masyarakat setempat hanya menjadi penonton. Saya yakin, bila konsep pemberdayaan masyarakat lokal dilakukan di TWP Pulau Pieh, mereka akan bersama-sama menjaganya karena sudah jadi periuk bareh mereka. Masak orang baralek di rumah kita, cubadak saja tidak dapat?” ujar Ridwan mengingatkan.
Jika ditargetkan pada 2014 Pulau Pieh mulai dibuka sebagai wisata bahari, bukan tidak mungkin tahun 2017, Taman Wisata Perairan Pulau Pieh bisa disejajarkan dengan Bunaken, Pantai Sanur, Gili Trawangan, Raja Ampat, atau Pattaya di Thailand. (***)
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar