Featured Video

Sabtu, 11 Agustus 2012

Surga Bahari dari Pantai Barat Sumatera-Menanti Taman Wisata Perairan Pulau Pieh Mendunia

Pulau Pieh, siap mendunia!


Keindahan wisata bahari bukan saja milik Bali, Gili Trawangan di Lombok Barat, Bunaken di Manado, Raja Ampat di Papua Barat, Wakatobi di Sulawesi Tenggara. Di pantai barat Sumatera Barat, tersimpan keelokan alam perairan yang mempesona. Pulau Pieh, siap mendunia!


Hamparan pasir putih menye­juk­kan mata memandang. Di kawasan Pu­lau Pieh, dihiasi gugusan pulau-pu­lau kecil; Pulau Toran, Pulau Air, Pu­lau Pandan dan Pulau Bando. Di an­tara pulau-pulau itu, terdapat be­berapa buah gosong (hamparan laut) de­­ngan luas kawasan mencapai 39.900 hektare. Tempat ini potensial dikembangkan berbagai olahraga air. 

Siapa sangka, kawasan ini adalah h­­­a­bitat penting bagi ekosistem pe­r­airan dangkal.

Warna-warni terumbu ka­rang seolah memanggil setiap pe­nyelam untuk men­cum­bui­nya. Pulau-pulau kecil ini me­ru­pa­kan tempat bertelurnya pe­nyu. Di sinilah, berkarung-ber­karung telur penyu dipasok.     

Aneka biota laut nan langka dan kharismatik, terdapat di sini. Se­but saja hiu, hiu paus, lumba-lum­ba, kerang-kerangan dan elang laut.      

Tak heran, decak kagum spon­tan telontar dari para pe­nye­lam begitu menyaksikan pe­sona alam perairan Pulau Pieh. Me­reka adalah tim dari Direk­torat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di Ke­men­­terian Kelautan dan Peri­ka­nan. Bersama Yayasan Minang Ba­hari, tim ini menyiapkan Pu­lau Pieh sekitarnya menjadi des­tinasi wisata bahari kelas dunia.

Gugusan Pulau Pieh yang siap mendunia ini, berada di per­airan Padang, Kabupaten Pa­dangpariaman, Kota Paria­man. Bila dari Pelabuhan Bungus, ja­rak tempuh hanya sekitar sete­ngah jam dari pulau ter­dekat, Pu­lau Toran. Sedangkan men­ca­pai pulau terjauh, Pulau Ban­do, sekitar satu jam. Dari Pe­labuhan Muaro Padang, se­kitar setengah jam. Nah, dari Pantai Tiram, Pa­dangpariaman lebih dekat lagi. Ha­nya berkisar 15 hingga 30 me­nit perjalanan dengan meng­gunakan kapal 80 PK.

Pulau Pieh disiapkan Ke­men­­terian Kelautan dan Peri­ka­nan di antara delapan taman wisata perairan gointernasional Di antaranya Taman Wisata Per­airan (WTP) Raja Ampat dan Wa­­katobi, yang kini mulai me­nyai­ngi objek-objek wisata ba­hari kelas dunia di Bali, Lombok dan Manado.      

Di Sumbar sendiri, Pulau Pieh praktis tidak kenal. Na­ma­nya tidak sehebat Men­tawai yang kini dikenal peselancar dunia sebagai “surganya surfing”.  Masyarakat Sumbar hanya me­ngenal Pulau Sikuai di pe­r­airan Padang, yang kini pun na­manya mulai meredup.

Komitmen “menjual” taman wisata perairan Pulau Pieh se­kitarnya ke dunia, terungkap da­lam focus group discussion (FGD) yang digelar di Padang, ke­marin. Diskusi yang digagas Ke­­­menterian Kelautan dan Pe­ri­ka­­nan itu, dihadiri segenap pe­mangku kepentingan di Sum­bar. Mulai dari lintas ins­tansi pe­merintah provinsi dan tiga ka­bupaten/kota, Polisi Air Polda Sumbar, Adpel Teluk Bayur, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia, praktisi pariwisata, peneliti dari perguruan tinggi, LSM hingga para pemilik pulau.

Komitmen memberdayakan kawasan pesisir dan pulau-pu­lau ke­cil menjadi wisata ba­hari, ter­lecut dari berbagai kasus pen­jual­an pulau di Tanah Air ke in­ves­­tor asing. Sebut saja Ke­pu­lauan Mentawai, para ope­ra­tor­nya nyaris dikuasai asing. Se­dangkan penduduk setempat, hanya gigit jari menonton atraksi pa­ra bule di negeri sendiri.

Setali tiga uang dengan Pu­lau Cubadak di Pesisir Sela­tan. Pulau kecil yang dikelola pengu­sa­ha Italia itu, seolah negara da­lam negara. Mas­yarakat seki­tar tidak bisa menikmati potensi perairan Pulau Cubadak, yang hak penge­lolanya dilego Pemkab Pesisir Selatan kepada orang asing.

Pengalaman Ridwan Tulus, bos Agen Perjalanan Wisata Sumatera Beyond, yang hingga kini telah membawa ribuan turis ke Sumbar, semuanya menga­cung­kan jempol terhadap kein­da­han wisata bahari Sum­bar. Pe­n­galaman itu juga dirasakan sen­diri hampir seluruh peserta dis­kusi, tentang berbagai pujian para relasi terhadap pesona wi­sata bahari Ranah Minang.  

Hanya saja, potensi wisata ba­hari itu hanya sebatas kebang­gaan. Masih sekadar “sadar po­tensi”, belum terinternalisasi men­­jadi “sadar wisata”. ”Sum­bar me­mang kaya dengan wisata ba­­hari, tapi miskin kreativitas. Me­­nge­lola pariwisata tidaklah m­a­hal, ti­dak mesti menunggu in­­vestor be­sar, tapi cukup ke­pan­­daian me­nge­mas anugerah yang dibe­rikan Tu­han,” kata Rid­wan Tulus.

Belajar dari kegagalan me­nge­lola sejumlah potensi wi­sata di Bumi Minangkabau, Dit­jen Ke­lautan, Pesisir dan Pulau-Pu­lau Kecil mengembangkan wisa­ta bahari berbasis kawasan kon­servasi. Ibarat sekali men­dayung dua tiga pulau terlam­paui, sem­bari mengelola kawasan konser­vasi perairan, pengelolaan Pulau Pieh bisa menghasilkan rupiah dari berbagai kegiatan pari­wi­sata di kawasan tersebut.

Tim Satuan Kerja TWP Pu­lau Pieh yang mendapat tugas be­sar mengelola Pulau Pieh ke du­nia, kini mulai intensif men­ja­ga ka­wasan konservasi. Ber­sa­maan d­engan itu, tahun de­pan, se­jum­lah infrastruktur pendu­kung mulai dibangun. Di antara­nya dermaga terapung atau jetty di setiap pulau, posko penjagaan, fa­silitas air bersih, dan seba­gainya.

Dari lima pemilik pulau yang akan dikelola Ditjen Kelautan, Pe­sisir dan Pulau-Pulau Kecil, tiga di antaranya mendukung Pu­lau Pieh, Pulau Air dan Pulau Ban­do digarap menjadi taman wi­sata perairan. Dukungan itu di­sampaikan Syafrizal (pemilik Pu­lau Pieh) St Yuswar (Pulau Bando) dan Yunasril (Pulau Air) yang hadir dalam FGD tersebut.

Peserta diskusi dari Lanta­mal, Adpel, Ditjen Hubu­ngan Laut Kemenhub, Polisi Air Polda Sum­bar juga menyatakan duku­ngan­nya untuk mengawasi per­airan Pulau Pieh dari praktik pe­nangkapan ikan secara ilegal. “Se­belum itu dilakukan, Kelom­pok Kerja (Pokja) TWP Pulau Pieh harus meyakinkan nelayan se­­tempat dengan mata pen­ca­rian lain,” usul Bambang Pur­wanto, dari Ditjen Hubu­ngan Laut.

Kepala Subseksi Program dan ­Evaluasi Loka KPKN Pekan­baru, Darmawan menga­takan, TWP Pulau Pieh dibuat zonasi ka­wasan konservasi perairan. Zonasi pertama adalah zona inti. Zona ini dimanfaatkan untuk perlindungan mutlak habitat dan populasi ikan, pemijahan ikan, penelitian dan pendidikan.

Zonasi kedua adalah zona pe­rikanan berkelanjutan. Di ka­wa­san ini, boleh diman­faatkan se­­bagai penangkapan dan budi­da­ya ikan, tampat pari­wisata dan re­kareasi. Zonasi ketiga, adalah zona pemanfaatan. “Nah, di zona inilah apa pun kegiatan bernilai ekonomi bisa dimanfaatkan. Dengan catatan, setiap kegiatan harus ramah lingkungan,” papar Darmawan.

Kepala Dinas Kelautan dan Pe­rikanan Sumbar yang diwa­kili Kabid Pengawas Albert Kris­tianto menekankan, konsep ta­man wisata perairan harus me­libatkan masyarakat. Dia men­contohkan Pojka TWP Pu­lau Pieh mengadopsi wisata bahari di Pulau Gili Trawangan, Lom­bok Barat, yang terbukti mampu men­jaga kelestarian alam, dan me­ningkatkan ekonomi mas­yarakat lokal.

Wakil Ketua HNSI Sumbar, Syof­yan B Amran menyambut an­tusias gugusan Pulau Pieh di­jadikan kawasan konservasi per­airan nasional (KKPN). “Saya akan sosialisasikan pada semua ang­­gota HNSI, agar tidak me­nang­­kap ikan di kawasan per­airan Pu­lau Pieh. Kami pun siap me­n­ja­ganya dari aktivitas nela­yan-n­e­layan luar Sumbar,” kata Syof­yan.

Lantas, dari mana penda­naan TWP Pulau Pieh? Darma­wan menyebutkan, bersum­ber dari dana pertanggungjawaban so­sial pe­rusahaan (CSR) dan Pro­gran Ke­mitraan Bina Lin­g­ku­­ngan BUMN. Mulai tahun de­pan, ke­lem­bagaan dan sum­ber daya ma­nusia yang mengelola TWP Pulai Pieh direkrut dan dilatih. Setiap nagari di sekitar pulau tersebut, minimal 50 orang direkrut sebagai tenaga kon­servasi.

Bagaimana dengan kegiatan wi­sata bahari? Ridwan Tulus me­nyarankan sedianya dikelola mas­­yarakat secara ber­kelom­pok. Sebut saja para­layang, bana­na boatjetski dan olahraga air lainnya sebaiknya diserahkan pa­da masyarakat. Begitu juga alat transportasi menuju pulau-pu­lau tersebut, sedianya dikelola masyarakat lokal.

“Selama ini maraknya pung­li, pengamen, sampah bersera­kan hingga kriminalitas di lokasi ob­­jek wisata, karena masyarakat se­tempat hanya menjadi pe­non­ton. Saya yakin, bila kon­sep pem­berdayaan masya­rakat lokal di­la­kukan di TWP Pulau Pieh, me­reka akan bersama-sama menjaganya karena sudah jadi pe­riuk bareh mereka. Masak orang baralek di rumah kita, cubadak saja tidak dapat?” ujar Rid­wan mengingatkan.

Jika ditargetkan pada 2014 Pulau Pieh mulai dibuka sebagai wisata bahari, bukan tidak mung­kin tahun 2017, Taman Wisata Perairan Pulau Pieh bisa disejajarkan dengan Bunaken, Pantai Sanur, Gili Trawangan, Raja Ampat, atau Pattaya di Thailand. (***)


sumber


Tidak ada komentar:

Posting Komentar