Electric two-wheeled vehicle karya mahasiswa diploma tiga Jurusan Teknik Mesin Produksi, Fakultas Teknik Mesin, Universitas Sebelas Maret, Solo.
Desain makro alat transportasi Indonesia di masa depan diarahkan pada kendaraan bertenaga listrik. Kendaraan jenis ini lebih ramah lingkungan ketimbang yang menggunakan bahan bakar minyak karena tidak menghasilkan polusi udara.
Untuk mendukung pengembangan alat transportasi listrik, empat mahasiswa diploma tiga Jurusan Teknik Mesin Produksi, Fakultas Teknik, Universitas Sebelas Maret, Solo, mengembangkan kendaraan listrik roda dua (electric two-wheeled vehicle/ ETV) yang mereka sebut sepeda listrik.
Keempat mahasiswa ini, Puji Suyudi, Singgih Yohan Sambada, Indra Nugroho, dan Muhammad Nur Hidayat, terinspirasi film Star Trek sehingga memilih desain seperti saat ini, semacam tabung dengan ujung-ujung berupa roda berdiameter 1,5 meter. Lebar sepeda berbobot 80 kilogram ini mencapai 1,3 meter. Desain sepeda ini juga mengadopsi kendaraan serupa yang dikembangkan mahasiswa University of Adelaide, Australia.
Cara mengoperasikannya mudah, yakni dengan mengendalikan setang yang dipasang di depan kursi yang berada di antara kedua roda. Kursi dilengkapi dengan sabuk pengaman. Pengendara mengatur gerak dan laju sepeda dengan setang yang diberi fungsi gas dan rem yang dihubungkan dengan motor listrik dan baterai. Untuk memajukan kendaraan, kerja gas pada kedua setang harus difungsikan bersama.
Fungsi gas yang dikendalikan setang kanan terhubung dengan kerja motor listrik pada roda kiri, dan sebaliknya.
”Jika ingin membelok ke kanan, kerja gas pada setang kanan dikecilkan sehingga roda kiri berhenti dan tinggal roda kanan yang berputar. Begitu pula sebaliknya,” kata Puji Suyudi.
Kendaraan ini mampu mengangkut beban hingga 150 kilogram atau dua penumpang. Namun, untuk prototipe ini, desain kursi masih dibuat tunggal.
”Tahun depan, kami akan keluarkan sepeda listrik dengan satu roda sehingga lebih ramping dan lebih lincah,” ujar Ngubaidillah, dosen pembimbing keempat mahasiswa ini.
Hanya tiga bulan
Kecepatan sepeda hanya 20-25 kilometer untuk medan yang tidak laju. Sepeda ini dibuat dari material rangka besi, termasuk rodanya, yang kemudian dilapisi karet. Pembuatan sepeda ini membutuhkan waktu 3-4 bulan.
”Sepeda harus dibuat presisi sangat simetri antara bagian kanan dan kiri karena jika tidak, jalannya tidak akan lurus,” tutur Puji.
Sepeda digerakkan oleh motor listrik yang disebut brushless direct current (BLDC). Sementara baterai yang digunakan adalah litium ion dengan kekuatan 36 volt dan 7 ampere. Pembuatan kendaraan ini menelan biaya Rp 10 juta, yang terbesar untuk membeli motor listrik seharga Rp 5 juta dan baterai Rp 2 juta.
Motor listrik diletakkan pada setiap roda, yakni seperti roda kecil yang kemudian menggerakkan roda besar. Ke depan, sepeda ini akan dilengkapi sistem pengendali untuk mengatur gerakan motor. Namun pembuatan sistem pengendali akan dilakukan dosen dan mahasiswa strata dua.
Saat ini, sepeda ETV ini belum memiliki sistem pengendali. Kestabilan kendaraan dijaga dengan menempatkan titik berat kendaraan di bawah titik simetri atau sedekat mungkin dengan tanah sehingga ketika akselerasi atau deselerasi, kendaraan tidak akan terguling. Kendaraan juga dilengkapi delapan suspensi yang membuat kendaraan stabil.
”Tubular kursi dimungkinkan berputar sampai 360 derajat jika gas kanan-kiri tidak stabil, tetapi setelah itu akan kembali seperti semula,” kata Singgih.
Dengan kondisi ini, sepeda ETV ini cocok untuk dimanfaatkan di tempat-tempat wisata. Kendaraan seperti ini juga bisa untuk kendaraan tanpa awak yang bisa ditempatkan di medan apa pun karena jika terguling bisa kembali pada posisi semula.
”Untuk pengembangannya, bisa juga dijadikan kendaraan alternatif, tentu saja dengan ukuran yang lebih kecil,” kata Ngubaidillah.
sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar