Featured Video

Senin, 26 November 2012

PARIWISATA TANAH CANTIK TERCINTA

Ditulis oleh Teguh   

Mas Ahmadun Yosi Herfanda, seorang sa­ha­bat, 11 tahun lalu berkata kepada saya. “Salah satu berkah menjadi penulis ada­lah kesempatan menjelajah bumi-Nya.”
Tidak terbayang bahwa seorang gadis kecil yang dulu tinggal di samping rel kereta api, dan sakit-sakitan, kemu­dian mendapatkan berkah itu.

Allah perjalankan saya ke-34 negara, hampir seluruhnya gratis, melalui undangan mengisi workshop menulis atau pengajian sakinah ter­kait buku “Sakinah Bersama­mu” yang saya tulis.
Jumlah itu tidak seberapa dibandingkan yang sudah dicapai sebagian travel writer di Tanah Air.
Sebagaimana sesama ibu lain, saya tidak bisa traveling hanya karena punya uang, tanpa ada unsur lebih. Berbe­da jika belum berkeluarga.
Setiap perjalanan kemu­dian membuat saya makin tergugu akan Maha besar dan Kuasanya Allah, sekaligus menimbulkan kecintaan yang kian kuat terhadap Indonesia.
Selama Novem ber ini, alhamdulillah saya terpilih sebagai satu dari empat seniman dari berbagai negara, yang diundang tinggal di kota kecil di Barcelona, dalam programartist in residence yang diadakan Canserrat.
Kesempatan yang kemu­dian saya manfaatkan untuk mampir ke beberapa negara, tempat visa Schengen diteri­ma. Awalnya, Andorra yang menerapkan kebijakan bebas pajak, yang saking mungilnya, bus turis hanya beroperasi tiga kali sepekan. Lalu, Italia dan mampir ke satu dari tiga negara terkecil di dunia, yang konon merupakan republik tertua, Republik San Marino.
Pemandangan Andorra dengan keindahan pariwisata skinya, memang terlalu awal untuk di nikmati. Namun, saya melihat kebersihan, kesungguhan setiap orang memberi informasi, kelanca­ran jalanan, serta ketersediaan pusat informasi dan booklet panduan untuk turis, yang cantik dan informatif.
Di Republik San Marino, hal serupa saya temukan. Sebagai sebuah negara kecil, bus turis rutin terparkir tepat di depan Stasiun Rimini, Italia.
Loketnya hanya dilayani seorang ibu tua yang duduk menghadap meja kayu kecil dekat parkiran bus. Selain pemandangan indah dari pusat kota yang terletak di puncak Monte Titano dan perjalanan sejam berlalu tanpa hambatan, kesadaran pariwisata masyarakatnya sangat tinggi. Langka untuk mendapatkan euro Republic San Marino, sebagai uang kembalian. Masyarakat me­nge­mas lalu menjualnya seba­gai suvenir, dengan harga berkali-kali lipat.
Hal seperti itu juga terjadi di Andorra, pusat turis infor­masi mudah dijangkau dan booklet cuma-cuma yang beri­si panduan wisata dikemas menawan. Indonesia memiliki jauh lebih banyak untuk ditawarkan kepada dunia, dibandingkan Andorra, Repu­blik San Marino, bahkan sebagian besar negara lain.
Semakin jauh berjalan, semakin saya melihat keka­yaan budaya, tempat, adat, dan keindahan yang kita miliki. Keunikan di setiap daerah. Hanya saja, saya belum mene­mukan, misalnya, aneka booklet atau brosur informasi yang digarap maksimal hingga menggoda wisatawan asing untuk mengunjungi tak hanya Bali, tapi juga wilayah lain di Tanah Air.
Sebagai penulis, alham­dulillah kesempatan berke­liling di Tanah Air terbuka luas. Namun, informasi pari­wi­sata kita dalam kemasan cantik, lengkap, dan ‘menjual’ nyaris tidak saya temukan di hampir semua bandara di kota besar Indonesia, seperti bia­sanya di negara lain. Belum menyinggung media promosi di luar cetak, yang mungkin ada, tapi nyaris tidak terlihat.
Seorang travel writer Tanah Air pernah tertawa mengomen­tari Indonesia, yang menurut dia, banyak hal tidak dikerja­kan ahlinya, tetapi ala kadar­nya oleh pemenang proyek. Padahal, kita memiliki foto­grafer, penulis, serta orang periklanan yang andal.
Saya pribadi terusik betul, sekaligus salut dengan ungka­pan ‘Malaysia Trully Asia’, negara tetangga yang dengan slogan cantik itu se akan meniadakan negara-negara lain di Asia.
Tanah kita kaya. Untuk wisata kuliner, banyak yang bisa ditampilkan. Salah satu dari gado-gado, kredok, pecel bisa menjadi perwakilan yang ‘diwajibkan’ ada nyaris di setiap rumah makan sehingga menggema seperti Kimchi di Korea Selatan.
Seusai kunjungan di San Marino, saya meninggalkan Italia lewat Milan. Masih memikirkan Indonesia. Dalam bus kota yang membawa saya dari penginapan ke stasiun, tempat saya akan menyam­bung kendaraan menuju ban­dara, sempat terjadi kemace­tan. Saya melihat ke jam tangan.
Sempat mengeluh, ternyata sama saja dengan Indonesia, sambil mengira-ngira berapa menitkah waktu yang dibu­tuh­kan sebelum polisi datang dan membantu mengatasi kema­cetan? Jawabannya, dua menit! Waktu yang diperlukan sebelum bus kembali berge­rak.
Seorang petugas muncul dan dengan cepat membuka jalan hingga bus tiba di perhentian berikutnya hampir tepat waktu.
Sementara itu, malamnya saya membaca via twitter keluhan bernada kesal mereka yang terjebak macet satu jam tak bergerak, di Jakarta. Mereka tak melihat satu petugas pun yang muncul.
Mungkin mata tak jeli, tetapi entahlah. Indonesia tercinta membutuhkan banyak ketulusan dan kesungguhan dalam bekerja keras. Semoga suatu hari bukan hanya kita, melainkan dunia bisa menjadi saksi, betapa indah karunia yang Allah berikan bagi tumpah darah kita.

ASMA NADIA

sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar