Featured Video

Senin, 31 Desember 2012

Calon Pengantin Dipalak Penghulu Bertato



Ternyata ada penghulu yang bertato. Dia juga memalak calon pengantin. Kini, banyak kisah tentang pungutan liar yang dilakukan penghulu terungkap.
Kementerian Agama menawarkan kepada masyarakat untuk terhindar dari pungutan liar. Warga diminta nikah pada hari kerja dan dilaksanakan di KUA

Teguh, warga Klaten yang menikah pada 2008, harus merogoh kocek Rp700 ribu untuk mengurus administrasi pernikahannya. Padahal, biaya pencatatan menikah di KUA berdasarkan PP Nomor 47/2004 tentang PNBP pada Kemenag cuma Rp30 ribu.
“Saya menikah di 2008, waktu itu biayanya jadi Rp 500 ribu dengan rincian biaya nulis buku nikah, biaya stempel, bensin penghulu, tanpa kwitansi,” tulis Teguh, Minggu (30/12).
Biaya awal yang diminta petugas KUA di tempatnya mendaftarkan pernikahan, Rp500 ribu. Biaya itu pada awalnya disebut termasuk ‘ongkos’ untuk penghulu.
Namun pada hari H pernikahannya, sang penghulu kembali meminta uang ke mertua Teguh. Awalnya mertua Teguh enggan memberi, namun akhirnya uang tambahan diberikan setelah melihat tato yang ada di tubuh penghulu tersebut.
“Setelah ijab qabul di rumah saya, petugas KUA (penghulu -red) minta duit lagi Rp200 ribu ke mertua saya. Sial banget, mana petugas KUA-nya tatoan lagi, suatu keanehan kan,” ujarnya yang diwartakan detikcom.
Seorang guru honor yang menikah 2006 juga harus merogoh kantong Rp600 ribu, padahal ongkos resmi Rp30 ribu.
“Padahal saya sudah menikah di kantor KUA, penghulunya tidak dipanggil ke rumah. Tapi masih juga kena biaya Rp600 ribu,” kata Dedi Jalaludin.
Dedi mengatakan, saat menikah 2006, dia pertama kali menghubungi petugas yang biasa disebut amil. Amil adalah petugas yang menjadi perwakilan seorang penghulu di desa-desa.
“Rumah saya di desa, jadi sebelum menikah saya ke rumah amil untuk mengetahui besarnya biaya pernikahan,” katanya.
Dedi mengatakan, amil meminta biaya Rp600 ribu untuk biaya pernikahan di Desa Sukatani, Kecamatan Parakan Salak, Kabupaten Sukabumi itu. Dia kemudian membayar biaya pernikahan tanpa tahu rincian untuk apa saja uang sebesar itu.
Dedi mengatakan, di kampung-kampung jika penghulu berhalangan biasanya Amil bisa menikahkan seseorang. “Kalau di kampung memang biasanya begitu,” katanya.
Dedi menilai biaya pernikahan Rp600 ribu sangat memberatkannya. Apalagi untuk warga yang masih tinggal di desa. “Biaya itu sangat membaratkan, dan tidak jelas peruntukanya untuk apa,” keluhnya.
Namun, tak semua penghulu memalak calon pengantin. Ramainya pemberitaan penghulu memasang tarif mahal alias pungli di Jakarta dan kota lainnya, tidak sama kondisinya dengan penghulu di daerah terpencil di Indonesia.
Para penghulu yang bertugas pada daerah seperti di pegunungan atau hutan belantara hanya mengelus dada manakala profesinya dinyatakan rawan korupsi.
Kepala KUA di Brondong, Lamongan, mengaku prihatin dengan penghulu yang bisa memasang tarif sesuai keinginannya.
“Wah enak sekali bila memasang tarif seperti itu, pasti kaya, apalagi menikahkan artis dengan tarif hingga jutaan rupiah,” kata Moh Najib yang menjalani profesinya sejak 1994 pada detikcom, kemarin.
Kisah penghulu ‘nakal’ yang jadi sorotan itu, jauh dengan kisah Najib. Bapak dua anak ini mengaku pengantin kadang tak mampu membayar biaya pencatatan nikah Rp30 ribu.
Ini karena kondisi ekonomi keluarga pengantin sangat minim, tidak mungkin dipaksa membayar atau pun menggagalkan perkawinannya. Tidak jarang rekan-rekan Najib sekantor harus urunan untuk membayar biaya resmi yang ditetapkan pemerintah itu.
Ketidakmampuan membayar pencatatan nikah, kadang juga dibarengi dengan penolakan pengantin menikah di KUA. Najib juga menyebutkan, jika pun ada penghulu yang minta tarif lebih dari Rp30 ribu mungkin ada penyebab lain.
Misalnya, selain diminta untuk jadi penghulu, penghulu itu juga diminta tolong mengurus kepindahan menikah (numpang nikah) atau syarat lain yang belum terpenuhi seperti akte kelahiran dan sebagainya. Keluarga biasanya tidak mau ribet sehingga menyerahkan urusannya kepada KUA.
Najib menceritakan perjuangan penghulu di daerah terpencil yang harus menembus alam agar bisa menjangkau semua lapisan masyarakat.
Dia bertugas dengan motor buatan 2006 yang boros BBM yang seringkali mogok di jalan. Apalagi jarak tempuh antara perkotaan menuju lokasi pernikahan seperti di Desa Sedayu Lawas Kecamatan Brondong, bisa mencapai 35 kilometer.
“Kalau pulang pergi berarti 70 kilometer. Kadang bensin yang sudah penuh habis di tengah jalan dan terpaksa nuntun kalau tidak ada penjual bensin. Itu semua kita tanggung sendiri, iya kalau pas uang gaji kita masih ada. Kadang gaji kita habis sebelum pertengahan bulan,” tambahnya.
Tak jarang dia menempuh rute naik turun jalan berbatu untuk mendatangi lokasi pernikahan. Dia seringkali nyungsep ke jalan berkubang lumpur karena banjir sehingga tiba di lokasi pernikahan dengan baju sudah kotor. Bukan baju saja yang kotor, sepeda motor pun sudah penuh lumpur.
Hari kerja
Ada saran dari Direktorat Jenderal Bimas Islam Kementerian Agama untuk menghindari praktik pungli di KUA dan hanya membayar Rp30 ribu sesuai aturan yang berlaku. Para calon pengantin disarankan pada hari kerja.
“Kalau ingin ringan, laksanakan di KUA dan pada jam kantor,” ujar Dirjen Bimas Islam Kemenag Abdul Djamil.
Djamil tidak menampik, di KUA ada saja oknum-oknum yang melakukan praktik pungli. Meski begitu, dia meminta masyarakat tidak menggeneralisir di setiap KUA terjadi praktik seperti itu.
“Masyarakat harus tahu biaya nikah hanya Rp30 ribu. Karena KUA diberikan tempat balai nikah, maka digunakan,” imbuhnya.
Di Indonesia sendiri tercatat 5.382 KUA. Ada variasi lokasi dan tingkat kesulitan yang berbeda di setiap KUA. Maka tidak bisa dikatakan bahwa apa yang diberikan oleh masyarakat kepada penghulu adalah sebuah pungli.
“Pada umumnya dia melaksanakan tugas atas permintaan masyarakat di luar kerja dan di luar kantor. Masyarakat umumnya mengadakan nikah tidak mau di KUA, tidak sepeti orang menggunakan layanan jasa lainnya. Mereka menentukan hari libur, Sabtu-Minggu,” jelasnya.
Selain itu, masyarakat juga banyak yang tidak ingin menikah di KUA melainkan di masjid atau gedung-gedung. Sebab bagi calon pengantin, pernikahan itu sebuah peristiwa yang monumental.
“Karena pernikahan itu peristiwa monumental, sehingga harus dilakukan di masjid tidak mau di balai nikah,” tuturnya.
Menurut Keputusan Menteri Agama (KMA) No 11 tahun 2007, penghulu sebagai Pejabat Pencatat Nikah (PPN). Namun dalam praktiknya, penghulu juga sering diminta untuk berkhutbah, wakil wali yang dinikahi, juga sekaligus memimpin doa.
“Karena situasi seperti ini masyarakat sebagai rasa terima kasih memberi tanda terima kasih. Wujud tanda terima kasih bisa macam-macam bisa uang, atau buah, jumlahnya tidak selalu sama,” paparnya. (*)

s


Tidak ada komentar:

Posting Komentar