Featured Video

Jumat, 08 Februari 2013

Tuanku Imam Bonjol yang Kesepian



Hujan turun ketika saya dan rombongan kecil wartawan dari Padang sampai di makam Pahlawan Nasional, Tuanku Imam Bonjol, Lotta, Pineleng, Minahasa, terpaut 20 menit berkendaraaan dari Manado, Kamis (7/2). Sebuah karangan bunga plastik terletak di pojok makam yang di atap bagonjong itu. Bunga dari Panglima TNI Jenderal Djoko Susanto.


Sayup terdengar gemericik sungai Malalayan yang berair deras. Sungai itu seperti mengisahkan hari-hari Imam Bonjol kepada kami anak-anak Padang yang ziarah ke makam pahlawan dari kampungnya sendiri.
Makam itu terletak di sebuah bukit kecil di desa yang sepi. Pejuang hebat ini ditangkap Belanda pada 28 Oktober 1837. Penangkapan Imam Bonjol menandai berakhirnya Perang Paderi yang meletus pada 1821.
Ketika kami datang, seorang bapak bergegas menarik layang-layang yang ia mainkan. Bapak itu kemudian lenyap entah kemana. Ada dua rumah di komplek makam ini. Rumah itu tak lain milik keturunan pengawal Imam Bonjol.
Di sini, 176 tahun lalu, menginjakkan kaki seorang pejuang hebat dari Sumatra Barat. Ia datang ke Lotta sebagai seorang pengasingan. Ia meninggalkan Ranah Minang yang sedang mendidih. Ia meninggalkan segalanya. Tuanku yang ulama ini, dibawa dengan kapal menuju Sulawesi. Berbulan-bulan lamanya. Lantas ia seperti ditelan bumi. Sepi sendiri. Ia pejuang yang kesepian.
Ketika kami datang, rasa sepi itulah yang menyergap. Untung rakyat Minahasa menaruh rasa hormat yang tinggi pada pejuang ini. Simpang jalan masuk ke Lotta ditandai dengan sebuah patung Imam Bonjol. Sedang di makamnya, juga dibuat lukisan Tuanku dan suasa peperangan. Begitu masuk kompleks makam, bendera Merah Putih berkibar gagah.
Wartawan Singgalang, saya sendiri bersama Widya Navies dan Syaiful Husen serta Sukri Umar dari Padang Ekspres datang takziah ke makan Imam Bonjol, nama yang kita sebut-sebut sejak dari bangku sekolah dasar. Begitu sampai kami seperti disapa pejuang hebat itu.
Makamnya yang rapi, terletak di tengah-tengah sebuah bangunan bergonjong. Kami berdoa di makam tersebut. Di seberang sana, di pinggang bukit kecil lainnya, berdiri sebuah masjid yang dinamai nama pejuang itu. Di luar kompleks makam, ada dua makam lainnya.
“Itu makam pengawal beliau, namanya Apolos Minggu, leluhur kami,” kata Fatmawati Popa, keturunan Minang itu.
Fatmawati, wanita berusia 30-an tahun itu, menyapa kami, menyusuguhkan buku tamu. Di halaman pertama tertara nama Saafrudin Bahar. Tokoh ini berkunjung ke makam Imam Bonjol belum lama berselang. Fatmawati adalah keturunan kelima. Ibunya Aiunan, tak bisa keluar rumah.
Nenek itu sakit bahu kirinya terjatuh di tangga menuju makam. “Tangan saya sakit,” kata dia. Ia memberi salam takzim ketika kami menyebut datang dari Padang.
Di makamnya tertulis, Imam Bonjol lahir di Tanjuang Bugo, Bonjol 1744 dan wafat pada 6 November 1854 di Lotta, Minahasa. Pejuang ini meninggal dalam pengasingan. Imam Bonjol memimpin perang sekitar 16 tahun dan diasingkan 17 tahun. Selama 17 tahun ia sepi sendiri. Tanpa istri, tanpa anak. Imam Bonjol hanya ditemani seorang pengawal setia.
Berbilang tahun ia tinggal di Lotta. Saban hari, Tuanku pergi ke tepi sungai, untuk mandi dan menunaikan shalat.
Sungai yang membela belantara itu, kini menjadi sungai yang membelah perkempungan. Di tepi sungai, ada sebuah batu yang dijadikan Tuanku untuk alas shalat. Kami mencoba sujud syukur di sana, membayangkan pejuang itu, hari demi hari kian ringkih.
Ia dibuang dari kampung halamannya sendiri, Minangkabau. Tuanku, pemimpin Perang Padri itu, tidak lagi menerima kabar apapun tentang kampung halamannya. Juga tidak tentang perjuangannya.
Ia benar-benar kesepian. Sunyi. Yang menghiburnya hanyalah pengalwalnya mau menikah dengan wanita setempat. Imam Bonjol rela hidup sebatangkara sampai akhir hayatnya. Ia kemudian meninggal diselenggarakan dan dimakamkan di puncak bukit kecil, tempat angin lalu dan singgah. Kelak, jauh kemudian, ia dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional pada 1973.
Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab, merupakan putra dari pasangan Bayanuddin (ayah) dan Hamatun (ibu). Ayahnya, Khatib Bayanuddin, merupakan seorang alim ulama yang berasal dari Sungai Rimbang, Suliki, Lima Puluh Kota. Shahab juga dikenal sebagai Peto Syarif.
Batu Sajadah
Bukan sajadah, tapi sebuah batu yang datang, di tepi sungai. Menurut penuturan penjaga makam, di batu itulah Imam Bonjol menunaikan shalat. Masuk akal, karena di Lotta waktu itu, ia nyaris sendiri. Biasa orang shalat di atas batu. Kini batu besar itu dibuatkan bangunan pelindungnya. Di sana diletakkan sebuah papan tulis riwayat perjuangan Imamm Bonjol.
Sungai Malalayan yang berhulu di Gunung Lokan itu berair jernih. Sekarang saja jernih apalagi di zaman Imam Bonjol. Selain jernih juga sejuk, persis seperti sungai yang ada di Bonjol.
Teman saya Syaiful Husen kemudian juga sujud syukur di batu besar itu. Biasa-biasa saja. Kami memang tidak hendak mencari sisi magis, namun mengenang masa yang amat lampau. Semacam napak tilas pejuang hebat kita. (KHAIRUL JASMI)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar