Featured Video

Jumat, 08 Februari 2013

Enam Jam Diombang-Ambing Badai di Malam Pekat

Kesaksian Nakhoda Kapal Bagan yang Karam di Samudera Hindia


Dua puluh tahun malang melintang sebagai nakhoda kapal bagan, Karman tak pernah salah membaca tanda alam. Begitu juga tiga hari lalu, saat pria 49 tahun ini bersama 9 awak kapal, terapung selama enam jam di laut lepas. Bagaimana kisahnya?


ALAM tak memberi sinyal, kalau ba­dai bakal menghadang. Mujur, nasib baik masih berpihak kepada Karman dan rekan-rekannya. Mereka ditolong ta­ngan Tuhan melalui seorang nelayan kapal.

Siang itu, jarum jam menunjukkan pu­kul 11.00 WIB. Langit masih tersa­put mendung. Gerimis hujan mulai mem­­basahi Kota Tabuik. Di sebuah ruang tamu sederhana di Jalan Paus Gang Jengger Naras 1 Pariaman Utara, ter­lihat dua pria paruh baya berbin­cang serius.

Keduanya adalah Karman, nakho­da/tungganai KM Berkat Yakin dan Mu­sirwan, 52, pengelola kapal bagan itu. Pemilik KM Berkat Yakin sendiri ada­lah H Ramli, kakak dari Musirwan. Ka­pal ini karam dihempas badai di per­­airan Samudera Hindia, sekitar pu­kul 02.00 Rabu, dini hari. Mujur, nak­hoda dan 9 awak kapal berhasil di­selamatkan nelayan kapal payang.

Karman menceritakan tak ada fira­sat apa-apa saat dirinya dan sembilan awak kapal berangkat melaut, dari Muaro Pariaman, pukul 11.00 WIB, Selasa lalu. Cuaca be­gitu bersahabat, saat mereka mu­lai berlayar. Hingga senja be­ranjak malam, Karman tidak me­lihat adanya tanda-tanda alam akan terjadi badai.

Pengalaman selama 20 ta­hun menakhodai kapal bagan, me­ngajarkannya membaca ge­ja­la alam. Ya, alam takam­bang men­jadi guru. “Kalau ada gabak (awan hitam) berjalan pelan de­ngan posisi di atas matahari yang akan terbenam, berarti akan terjadi badai dahsyat di lau­tan. Ka­lau sudah begitu, bia­sanya ne­layan mencari pulau ter­dekat, meng­hindar badai. So­re itu, tan­da alam itu ndak ada,” tutur Kar­man.

Meski demikian, warga Pasia Baru yang berdomisili di Sungai­ge­ringging, Padang­pariaman ini, tak mau merasa hebat sendiri. Se­tiap keputusan selalu ia mus­ya­warahkan kepada nelayan senior yang jadi ABK, dalam mem­ba­ca tanda-tanda alam itu. Para ABK pun sepakat, kalau tanda alam itu tak terlihat, maka dipu­tus­kanlah bertahan di tengah laut. Dengan begitu, aktivitas me­nangkap ikan akan dilakukan tengah malam.

”Namun sekitar pukul 01.00 WIB, Rabu dini hari, tanpa ada tan­da-tanda, tiba-tiba badai meng­­hantam kapal. Kami yang te­­ngah bersiap hendak menang­kap ikan, sontak terkejut.  Segera ka­mi ambil jangkar untuk me­nuju Pulau Kasiak. Baru saja jang­kar lepas, badai langsung menghantam kapal. Kapal oleng, bocor dan karam,” ujar Karman.

Di detik-detik terakhir akan karam, awak kapal dengan sigap me­ngambil pelampung dan tali un­tuk diikatkan di pinggang ma­sing-masing agar terhubung. Tu­juannya agar mereka tak ter­pisah diseret gelombang. Pun kalau ajal menjemput saat itu, mereka berpikir, orang-orang lebih mudah menemukannya.

Secara bersama-sama, kese­pu­luh pelaut tangguh itu ber­gantung pada fiber tempat pe­nyim­pan ikan. Mereka pun ter­apung di lautan lepas. Tiada pili­han lain, mereka saling me­nguat­kan mental dalam meng­hadapi kondisi berat itu.

Dinginnya air laut dan kuat­nya badai menerjang, mere­ka hadapi dengan doa. Karman dan awak kapalnya saling memberi ha­rapan, esok masih bisa meli­hat senyum anak dan istri ter­cinta. “Allah mendengar doa kami,” ujar Karman lirih.

Sekitar pukul 07.30, Rabu, ter­nyata mereka terdampar di lau­tan Gabuo, Sungailimau Pa­dangpariaman, 3 mil dari ga­ris pan­tai. Dalam kondisi tu­buh le­mah, mereka melihat kapal pa­y­ang berlayar. Namun, Kar­man dan kawan-kawan tidak ada daya untuk meminta tolong. “Untung nelayan itu melihat ka­mi terapung,” kenang Kar­man.

Nelayan itu lalu menge­va­kuasi Karman dan sembilan ABK ke pantai, sekitar pukul 08.00. Mereka pun selamat. “Bu­kan mainnya bahagia kami saat melihat ada nelayan yang men­dekati kami. Alhamdulillah ka­mi selamat,” ujarnya seraya mengucap syukur berkali-kali.

Setelah selamat dan mem­be­rikan keterangan kepada pi­hak ke­polisian, Karman berge­gas pu­lang ke rumah istrinya di Su­ngaigeringging, Padang­paria­man. Ia menceritakan peristiwa itu kepada anak istrinya, yang sa­ma sekali tak mengetahui kalau ia baru saja ditimpa cobaan ma­haberat.

Mereka pun bertangis-tangi­san sembari memeluk haru ayah­nya yang selamat. “Anak is­tri trauma, mereka sepakat me­larang saya tak boleh lagi me­laut,” tuturnya dengan mata ber­kaca-kaca.

Karman memahami kekha­wa­­tiran anak-anaknya. Ia pun trau­­ma dengan peristiwa itu. Mes­ki demikian, ia menyebut te­tap m­e­laut lagi, namun tidak da­lam wak­tu dekat. Karena ha­nya itu ke­pan­daiannya. Hanya itu yang mam­pu ia lakukan agar asap da­pur terus mengepul dan anak-anak­nya bisa terus melan­jut­kan pen­didikan ke jenjang yang lebih tinggi.

“Kalau trauma, iya. Untuk be­berapa minggu ini biarlah saya is­tirahat dulu. Setelah itu saya akan melaut kembali. Kalau ti­dak, dengan apa membiayai ke­hidupan dan sekolah anak. Apa­lagi anak tertua saya saat ini se­dang kuliah, tak tega rasanya me­mutus pengharapannya men­­jadi sarjana,” kata Karman, de­ngan nada getir.

Musirwan, pengelola KM Ber­­kat Yakin, menyebut peristi­wa itu membuat ia dan 15 orang lain­nya menggantungkan hidup dari kapal itu, kini tak lagi m­e­miliki pe­kerjaan. Peristiwa yang me­nelan kerugian materi hing­ga Rp 200 juta lebih itu, bagi Mu­sirwan adalah musibah hebat yang me­nim­pa keluarga besar­nya.

“Kalau boleh berharap, kami mohon bantuan pemerintah memperhatikan nasib kami agar dapat terus bertahan hidup dan memberikan pendidikan yang lebih baik untuk anak-anak,” kata Musirwan. (***)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar