Featured Video

Rabu, 24 Juli 2013

Berjamaah Permalukan Negara

Yudi Latif
Yudi Latif

Oleh Yudi Latif

Indonesia dalam darurat keamanan. Dalam demokrasi yang menghendaki pemuliaan hak-hak asasi manusia, nyawa manusia justru kian murah. Pembunuhan dan pemerkosaan kian merebak; peredaran narkoba makin menggurita; pertikaian antarsindikat makin mengganas, di luar kemampuan aparatur keamanan untuk mengendalikannya.

Menghadapi titik genting perkembangan republik ini, aparat negara justru saling bertikai. Konflik antara unsur kepolisian dan tentara memasuki babak terawan dalam sejarah kita. Presiden makin tenggelam dalam urusan partainya. Menyalahi adagium “loyalitasku pada partai berhenti pada saat pelayananku pada negara dimulai,” di ujung kiprahnya sebagai kepala negara, Presiden SBY justru mengenakan baju secara terbalik.

Pemimpin partai dan anggota dewan satu per satu tersangkut dalam jaringan korupsi politik. Saat yang sama, polisi, hakim, dan jaksa juga kian kerap tertangkap basah melakukan transaksi korupsi.

Menghadirkan para penyelenggara negara di kedalaman perenungan, yang akan tersimpul adalah kemasygulan. Mengapa republik yang didirikan oleh para pelopor mulia bisa jatuh ke genggaman tangan-tangan yang “hina”?

Perhatian para negarawan mulia adalah apa yang dapat diberikan untuk negara. Kebesaran jiwa mereka membuatnya tak mencari jabatan dan tak takut kehilangan jabatan. Adapun perhatian para politisi terhina adalah apa yang dapat diambil dari negara. Kekerdilan jiwa mereka membuatnya berlomba mengejar jabatan dan dengan segala cara manipulatif berusaha mempertahankannya.

Benar juga kata George Bernard Shaw, “Titel/jabatan memberi kehormatan pada orang-orang medioker, memberi rasa malu bagi orang-orang superior, dan diperhinakan oleh orang-orang inferior.” Gemuruh para petaruh di bursa pencari jabatan pertanda pos-pos kenegaraan diisi oleh orang-orang medioker. Derasnya umpatan, sinisme, dan ketidakpercayaan publik pada lembaga-lembaga kenegaraan menyiratkan bahwa pos-pos kenegaraan dipimpin oleh orang-orang inferior.

Kombinasi dari orang-orang medioker dan inferior membuat para penyelenggara negara saling sikut berebut jabatan dan secara keroyokan mempermalukan negara. Situasi ini dipertontonkan secara telanjang, tanpa rasa malu, di depan publik—yang mestinya melahirkan keheranan, bagaimana bisa orang-orang hina dina seperti ini bisa menjadi penyelenggara negara.

Nakhoda negara hanya sibuk mematut-matut diri meski biduk republik terancam karam. Takut kehilangan dukungan politik kepartaian, di saat yang sama takut kehilangan muka di depan publik yang menghendaki perbaikan kinerja kabinet, pilihan yang diambil adalah strategi “penggemukan” jabatan. Menteri-menteri medioker-inferior dari partai politik ditambal oleh wakil-wakil medioker dari lingkungan pegawai negeri sipil, dengan mengorbankan efisiensi dan efektivitas pemerintahan.

Dewan Perwakilan Rakyat kita juga disesaki orang-orang medioker-inferior yang sulit memberi bagi negara, tapi berlomba mengambil dari negara. Tidak menyadari kehormatannya sebagai wakil rakyat, perilaku anggota dewan banyak yang memperhinakan otoritas DPR. Badan Anggaran lebih disinyalir sebagai sarang mafia anggaran. Komisi-komisi kerjanya sering memeras “komisi” (rent seeking). Kunjungan dan studi banding menjadi dalih untuk penyerapan dana.

Produk legislasi tidak menunjukkan bobot penalaran dan penghayatan yang dalam atas falsafah negara dan konstitusi. Sebagai perpanjangan dari kepentingan partai politik, anggota-anggota DPR juga kerap ingin mengambil terlalu banyak, melampaui batas-batas kewenangan dan kepantasan yang menimbulkan komplikasi dalam hubungan antarlembaga kenegaraan.

Lembaga-lembaga yustisia juga disesaki orang-orang medioker-inferior yang menjadikan aparatur penegak hukum menjadi perusak hukum. Aparat polisi menjadi pelindung jejaring kejahatan, kejaksaan menjadi sarang penyamun, hakim menjadi pemutus akhir untuk menjadikan yang hitam menjadi putih.

Kita harus mencari konsepsi baru bagaimana watak negara ini benar-benar sesuai dengan impian para pendiri bangsa yang menghendaki perwujudan “negara keadilan” dan “negara kekeluargaan”. Para pendiri bangsa mendefinisikan negara sebagai organisasi kemasyarakatan yang bertujuan menyelenggarakan keadilan sosial. Para pendiri bangsa juga menghendaki eksistensi negara kekeluargaan yang mengatasi paham perseorangan dan golongan. Satu untuk semua dan semua untuk satu: individualitas dan sosialitas saling mengandaikan, bukan saling meniadakan.

Marilah berhenti bergotong royong mempermalukan negara, dengan mulai bergotong royong memuliakannya. Karena para penyelenggara negara tidak bisa bangkit sendiri, maka mereka harus dibangkitkan. Masyarakat harus membantu mereka keluar dari perangkap jaringan demokrasi kriminal.

s

Tidak ada komentar:

Posting Komentar