Featured Video

Senin, 26 September 2011

BUKAN SEMATA SERUMPUN


BUKITTINGGI, HALUAN — Hubungan Republik Indonesia (RI) dan Malaysia jauh lebih dulu sebelum keduanya menjadi negara. Kata-kata serumpun sering disebut untuk menandai kedekatan hubungan itu.

Rangkuman tersebut merupakan hasil pembicaraan wartawan dan budayawan kedua negara di Gedung Bung Hatta Bukittinggi, Sabtu(24/9). Wartawan senior Hasril Chaniago, seniman dan budayawan Taufiq Ismail, dan Ketua KNPI Adib Alfikri dari Indonesia. Malaysia diwakili budayawannya Datok Ahmad Tamimi Siregar, jurnalis Zainun Ahmad dan pengarang berita kanan utusan Malaysia Zulkefli Hamzah.
Hasil Chaniago menggambarkan hubungan itu dengan simbol tiga mata uang (Ringgit Malaysia, Rupiah Indonesia, dan Dolar Singapura). Empat dari tokoh dalam mata uang itu adalah orang Minang.
Dalam rupiah Indonesia pecahan Rp100 ribu, ada gambar tokoh sederhana Bung Hatta yang berasal dari Indonesia. Ringgit Malaysia dalam setiap pecahan kertas mata uangnya bergambar lukisan potret  Seri Paduka Tuanku Abdul Rahman, Yang di-Pertuan Agong Malaysia yang pertama. Ia adalah Yang di-Per­tuan Negeri Sembilan yang ke-8, seorang raja keturunan Minang­kabau.
Dolar Singapura, sama dengan Malaysia, semua pecahan kertas menggunakan desain dan gambar yang sama, yakni lukisan potret diri Yusof bin Ishak, Presiden Republik Singapura yang pertama. Yusof bin Ishak juga berketurunan dari Minang­kabau.
“Hal yang ditunjukkannya ada­lah, kita lebih dari serumpun, tapi juga satu darah yang kental sekali,” ujar penulis buku 101 Tokoh Orang Minang ini.
Budayawan Malaysia Datok Ahmad Tamimi Siregar mengajak kembali ke masa lampau untuk memedomani nenek moyang. Menu­rutnya, sebelum menjadi sebuah negara, keduanya sangat dekat.
Namun, ketika ada batas-batas dalam bentuk negara,  persoalan-persoalan muncul. Ia mencontohkan dengan politik. Politik Indonesia dan Malaysia jelas berbeda. “Sebab, ia terikat pada undang-undang,” kata­nya.
Datok Ahmad Tamimi Siregar lebih jauh menyebutkan, apa yang diturunkan nenek moyang tak terikat kepada hal tersebut. Ia menjadi milik bersama.
“Ini bukan makanan Indonesia atau Malaysia, tapi ini makanan yang diwariskan nenek moyang,” katanya.
Untuk menjaga kedekatan kedua negara, seniman dan budayawan Taufiq Ismail mengambil contoh Bung Hatta sebagai pedoman. Katanya, dalam bergaul, tirulah kesederhaan Bung Hatta.
Dalam pertemuan budayawan dan wartawan ini, selain kebudayaan, pengarang politik Malaysia Zainun Ahmad mengajak untuk menjaga etika jurnalistik kedua negara agar tak menimbulkan konflik berulang di masa mendatang. Sebab, tak jarang karena karakter pers yang berbeda di dua negara sering menimbulkan persoalan.
“Pers Indonesia dan Malaysia berbeda dalam perjalanan sejarahnya. Tapi di balik perbedaan itu yang harus dipupuk adalah satu pema­haman,” katanya.
Pemahaman ia maksudkan agar menjaga hubungan dua negara yang lebih dari serumpun ini. (h/adk)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar