Featured Video

Senin, 26 September 2011

Nasib Tahanan Politik: Susah Kencing hingga Berlinang Darah


Share
Email
Print
  + Text 
Nasib Tahanan Politik: Susah Kencing hingga Berlinang Darah
TRIBUNNEWS.COM/HERUDIN
Komisi untuk Korban Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) beserta sejumlah korban dan keluarga korban pelanggaran HAM mengadakan jumpa pers di kantor Kontras, Jakarta Pusat, menanggapi pernyataan Presiden SBY bahwa tidak ada pelanggaran HAM berat selama pemerintahannya, Senin (24/1/2011). Kontras beserta keluarga dan korban pelanggaran HAM meminta presiden mempertanggungjawabkan pernyataannya dengan segera memerintahkan Jaksa Agung melakukan penyidikan atas berbagai kasus pelanggaran HAM yang berat.

Laporan Wartawan Tribunnews.com Edwin Firdaus
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Reformasi 1998 sepertinya tidak menghentikan praktik pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di tanah air. Papua dan Maluku dinilai menjadi dua wilayah yang masyarakatnya  kerap menjadi korban penyiksaan dari oknum aparat pemerintah hingga saat ini.

Sri, perwakilan Anggota KontraS Papua dan Jaringan Maluku, menyebut atas hal itu pihaknya sangat gencar menyerukan pembebasan terhadap penyiksaan yang dialami para korban tahanan dan narapidana politik di dua daerah tersebut.
"Remormasi 1998 sepertinya tidak dapat menghentikan praktek penyiksaan bagi masyarakat kita. Lihat saja seperti, para narapidana dan tahanan politik di papua dan maluku, mereka kerap menjadi bahan penyiksaan para oknum Lapas setempat," kata Sri saat dihubungi Tribunnews.com, setelah usai melakukan audiensi dengan Dirjen HAM di kantor KemenkumHAM, Jakarta, Senin (26/9/2011)  terkait masalah kondisi kesehatan Tapol dan Napol di Papua.
Data yang dihimpun KontraS sejak reformasi sendiri, sampai saat ini, telah mencatat lebih dari 50 orang tahanan dan Narapidana Politik  sangat tragis mengenai kesehatannya semenjak ditetapkan sebagai Tapol dan Napol di Papua.
"Data yang kami himpun oleh sampai 2011 ini, Lebih dari 50 orang Tapol dan Napol yang kerap mengalami tindakan penyiksaan di Lapas Maluku dan Papua," ujar Sri menegaskan.
KontraS juga menulis  beberapa kasus penyiksaan yang kerap dialami oleh tapol dan napol di Papua dalam sebuah laporan investigasi yang dimasukkan kedalam sebuah rilisnya saat mendatangi Dirjen HAM, Harkristuti Harkrisnowo siang ini.
Dalam rilis tersebut, Kepala Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia di Jayapura, Nazarudin Bunas, mengatakan bahwa pada Februari 2010 terdapat 48 Pesakitan politik Papua yang divonis makar (Pesakitan Politik Papua, laporan Human Right Watch 2010). Mereka, saat masih berada di Rumah Tahanan ataupun sudah berada di Lembaga Pemasyarakatan sering mendapatkan siksaan. Hak-hak mereka sebagai tahanan dan Narapidana, seperti yang tertera dalam undang-undang, juga kerap tidak terpenuhi. Terutama hak atas kesehatan yang layak. Beberapa  diantaranya:
 
Filep Karma (52), pada Mei 2005 divonis 15 tahun penjara atas tuduhan makar karena mengorganisir aksi pro-kemerdekaan pada 1 Desember 2004. Pada Agustus 2009, dia kesulitan kencing. Kepala sipir penjara Abepura Jayapura, Anthonius Ayorbaba memerintahkan Karma dibawa ke klinik penjara. Petugas berkata agar dia minum banyak air dan tiduran dengan kaki diangkat. Sesudah sebuah surat kabar mempublikasikan fotonya, petugas baru membawanya ke rumah sakit. Dokter yang memeriksa merekomendasikan Karma secepatnya dibawa ke unit pengobatan urologi, yang kata mereka hanya ada di Jakarta. Karma minta ijin, namun Kepala Sipir penjara Ayorbaba menjawab tak punya wewenang. Dia menyuruh Karma ijin ke Nazarudin Bunas, kepala Depkumham di Jayapura. Namun, Bunas bilang pemerintah Indonesia tak punya anggaran. Pada Maret 2010, sebuah koalisi lembaga non pemerintah bernama Solidaritas Korban Pelanggaran HAM Papua mulai kampanye pengumpulan dana bagi Karma agar punya uang membawa Karma ke Jakarta. Pada 27 Mei 2010, Depkes mengirimkan dokter dari Jakarta ke Abepura untuk memeriksa Karma dan menyatakan dia bisa operasi urologi di rumah sakit Makassar. Sampai laporan ini diterbitkan oleh Human Rigth Watch pada pertengahan 2010, operasi belum juga dilakukan.
 
Buchtar Tabuni (31), ditahan sejak 3 Desember 2008 karena memimpin perayaan damai hari kemerdekaan Papua dengan mengibarkan bendera Bintang Kejora ukuran kecil-kecil. Dia dihukum 3 tahun. 26 Februari 2009, petugas penjara Abepura menemukan Tabuni membawa telepon seluler. Dia memukul mata Tabuni, menyebabkan pendarahan. Pada 26 November 2009, tiga tentara, satu polisi, dan satu penjaga penjara memasuki sel Tabuni di penjara Abepura. Mereka memukuli kepala Tabuni, menyebabkan pendarahan hebat, sampai tahanan lain menghentikan pemukulan. Kepala sipir penjara, Ayorbaba, diduga tak mengizinkan Tabuni dirawat di rumah sakit. Setelah berita itu menyebar, pendukung Tabuni meyakini serangan itu bagian dari rencana pembunuhan. Malamnya, mereka mengepung penjara Abepura dan menuntut penyelidikan kasus itu, juga menuntut Depkumham menghukum Kepala penjara Abepura, Ayorbaba. Tiga prajurit TNI dan seorang polisi yang terlibat penyerangan dipindahkan dari Abepura, entah kemana. Pemerintah Indonesia belum memberikan keterangan atas serangan itu dan belum membawa penyerang ke pengadilan. 6 April 2010, Komnas HAM di Papua berkunjung ke penjara Abepura dan merekomendasikan agar Ayorbaba dimutasi. Juolens Ongge dari Komnas HAM berkata kepada media, ada lebih dari 20 insiden kekerasan di penjara sejak Ayorbaba memimpin penjara pada Agustus 2008. Ongge mengatakan sipir-sipir penjara sering memukul tahanan. Ayorbaba lalu diganti sebagai kepala penjara pada Mei 2010.
 
Ferdinand Pakage, tukang parkir dekat Kampus Cenderawasih, ditangkap pada 2006 dengan tuduhan menikam seorang polisi hingga tewas sewaktu terjadi demontrasi menentang Freeport dekat kampus Cenderawasih. Dia divonis 15 tahun. Saat diperiksa Pakage disiksa oleh lebih dari dua lusin petugas polisi di kantor polisi Jayapura. Polisi menyiram air panas ke tubuh, dan memukul dia hingga berdarah dari kepala, bibir, kaki, tangan dan badan. Wakil Kapoltabes Jayapura menembak kaki kanannya pada malam dia ditangkap, 16 Maret 2006. Di penjara Abepura, dia juga mengalami penyiksaan. 22 September 2008, seorang sipir membawanya ke kantor keamanan penjara. Dia diduga memukulnya dengan pentungan karet sebanyak 6 kali di kepala. Sementara, kepala keamanan menendangnya berkali-kali pakai sepatu boot. Herbert Toam, penjaga lain, masuk dan diduga meninju kepala Pakage dengan gembok, dan kunci gembok yang menempel menembus mata kanan Pakage. Sipir lantas melempar Pakage yang tak sadar ke sel isolasi, jam 08.30 pagi. Narapidana lain, Selphius Bobi yang mendengar pemukulan lalu melihatnya. Bobi lalu meminta penjaga membawa Pakage ke rumah sakit. Mereka tidak mengirim Pakage ke rumah sakit hingga jam 2 siang. Saat dibawa, rumah sakit tutup. Esoknya, 23 September dokter rumah sakit Dok Dua, Jayapura mengatakan sudah terlambat menyelamatkan mata itu karena pendarahannya parah. Pada Oktober 2007, keluarga Pakage melaporkan kasus ini ke kepolisian Jayapura, polisi menolak. Pada Oktober 2007 juga, sebuah lembaga milik Gereja Kristen Injili di Papua, menulis kepada Menteri Hukum dan HAM tentang keluhan beragam kasus penyiksaan, termasuk kasus Pakage, tapi surat ini pun tak ditanggapi.
 
Yang terbaru, pada 5 September 2011, KontraS menerima pengaduan dari penasihat hukum narapidana politik Papua di LP Nabire atas nama Kimanus Wenda (41). Dia ditangkap pada 12 April 2003 dengan tuduhan pembongkaran Senjata di Kodim Wamena, 4 April 2003. Pada 15 Januari 2004, dia divonis 20 tahun penjara karena terbukti melanggar pasal 106 dan 110 KUHP.  Pada tahun 2010, Kimanus menderita sakit karena ada satu benjolan di perut (tumor). Dia menghubungi pihak LP Nabire bagian kesehatan, namun tidak di tanggapi serius. Setelah melalui proses perawatan yang lama, pihak medis di RSUD Nabire yang memeriksa merekomendasikan agar Kimanus dioperasi. Sehubungan dengan keterbatasan peralatan medis yang tersedia dan dengan pertimbangan bahwa keluarga dan kuasa hukum Kimanus bisa mendampingi bila dioperasi di Jayapura, maka RSUD Nabire mengeluarkan surat rujukan untuk operasi di Jayapura. Berbekal surat rekomendasi bertanggal 2 Pebruari 2011 itu, Latifah Anum Siregar, SH sebagai kuasa hukum mengirim surat ijin berobat ke Jayapura, kepada Kepala Kanwil Hukum dan HAM di Propinsi Papua  pada 4 Pebruari 2011. Surat itu ditembuskan ke Kalapas LP Nabire. Sampai saat ini, September 2011, belum ada tanggapan dari Kanwil Hukum dan HAM Propinsi Papua maupun LP Nabire. Padahal penyakit Kimanus semakin bertambah parah.

Penulis: Edwin Firdaus  |  Editor: Hasiolan Eko P Gultom

Tidak ada komentar:

Posting Komentar