Featured Video

Senin, 26 September 2011

REALITAS PADANG SEMAKIN TERANG


Padang

MENANGGAPI KEMBALI TULISAN  ZUIYEN RAIS
Membaca tulisan  Zuiyen Rais, mantan Walikota Padang,  berjudul “Melihat Padang dengan Pikiran Jernih” (Opini Haluan, 19 September 20011) menanggapi tulisan saya berjudul “Padang Realitas Sebuah Kota” (Refleksi Haluan, 14 September 2011) mengingatkan saya pada ungkapan di kalangan penulis sejarah.

Katanya, menulis sejarah di depan pelaku sejarah kadang menjadi sebuah kendala. Mak­lum, ketika tulisan itu berbau kritikan, pelaku sejarah cen­derung subyektif dan lupa fakta yang terbaca.
Adapun bagian dari tulisan saya yang dipersoalkan Zuiyen adalah  bagian ini “… rencana perluasan kota, pembangunan terminal, penambahan ruas jalan, normalisasi sungai dan pembangunan drainase, ang­kutan massal, penambahan ruang sekolah/perguruan tinggi dan rumah sakit sesungguhnya sudah dicanangkan sejak 35 tahun silam zaman Walikota Hasan Basri Durin. Lalu, sebagian direalisasikan Walikota Sjahrul Udjud.”
“Sayang, di tangan Walikota Zuiyen Rais, konsep dan perencanaan yang sudah disiap­kan pendahulunya dicoba dibelokkan. Selain membuat kota jadi amburadul, apa yang dimulainya pun terbengkalai. Yang terbengkalai bukan hanya pembangunan pisik, tapi pem­bangunan SDM pe­merintahan.  Maklum, se­bagian besar staf potensial telah terdidik dan menguasai persoalan perkotaan dijauhkan dari Balaikota Pa­dang.”
Kemudian Zuiyen menulis: “Sebagai kesimpulan dari tulisannya Fachrul menge­mukakan bahwa akibat pem­belokkan yang dilakukan Zui­yen, kota jadi   amburadul dan semua persoalan menumpuk di tangan Walikota Fauzi Bahar”.
Menurut Zuiyen tulisan itu banyak tidak ada benarnya. Sebagai bukti ia kemudian menyebut sejumlah sukses pembangun pisik dan non pisik selama menjabat Walikota Padang (1993-2003). Antara lain pembangun tribun ba­gonjong di lapangan Imam Bonjol, pembangun Terminal Regional Bingkuang, pem­bangunan jalan Simpang Aru–Indarung dan sejumlah sekolah. Kemu­dian ada prestasi pem­bangun nonfisik seperti Padang juara umum Porda, juara umum MTQ Sumatera Barat hingga sejumlah penghargaan Wahana Tata Nugraha kencana, Adipura dan sebagainya.
Sebenarnya saya agak berat hati menanggapai kembali tanggapan Zuiyen itu. Soalnya,  Zuiyen, seperti diungkapkannya sendiri dalam tulisannya adalah seorang wartawan yang me­mulai karirnya di Harian Aman Makmur 48 tahun silam hingga kemudian terpilih jadi Ketua PWI Sumatera Barat (1968-1970).  Ia juga pernah mengikuti pendidikan ke­wartawanan di Amsterdam (Belanda) selama enam bulan dan pernah diundang untuk perjalanan jurnalistik ke Ame­rika Serikat selama 16 hari.
Ini memberi isyarat kepada saya bahwa beliau jauh lebih senior, bahkan boleh disebut ultra senior. Bayangkan, kala saya masih di kelas dua Sekolah Rakyat beliau sudah jadi wartawan. Apalagi beliau pernah mengikuti pendidikan jurnalistik di Amsterdam, pengalaman yang jarang dipero­leh wartawan Indonesia dan pasti tak ada duanya di Su­matera Barat hingga sekarang. Ia juga mantan Ketua PWI Sumatera Barat, jabatan yang selama ini dipersepsikan masyarakat sebagai “penghulu” atau “inyiak”  wartawan. Karena itu sangat pantas jika PWI memberi penghargaan Pena Emas, dan sering me­ngundangnya berbicara dalam pendidikan kewartawanan.
Selain wartawan Zuiyen juga seorang akademisi/dosen IKIP Padang (kini UNP) dan  menyelesaikan pendidikan S2 di IPB Bogor. Pernah pula menghadiri seminar di Kuala Lumpur hingga sempat berau­diensi dengan Rektor Uni­versitas Asia di Nagasaki. Tujuh tahun di IKIP beliau bergabung di Pemko Padang dan men­duduki berbagai ja­batan strategis seperti  asisten, ketua Bappeda, sekretaris daerah sampai akhir­nya dilantik jadi Walikota Padang 1993. Tapi mungkin karena ke­sibukan dosen, pejabat birokrat dan walikota itu kalangan wartawan termasuk  seangkatan saya tak sempat menemukan karya jurnalistik Zuiyen.
Meski semua itu diung­kapkan dalam tang­ga­pannya, namun saya tak akan mem­bicarakan Zuiyen sebagai wartawan ultrasenior, sebagai akademisi  atau  birokorat. Sesuai topik tulisan saya sebelumnya, saya hanya akan menanggapi sebagian persoalan Padang di bawah Zuiyen. Dan, itu  bukan karya kademis atau karya seorang jurnalis. Tapi karya seorang walikota, pejabat politik dan pejabat publik.
Tak Utuh Membaca
Saya kira Zuiyen tak utuh membaca tulisan saya. Sebab, dalam tulisan “Padang Realitas Sebuah Kota” itu saya me­ngungkapkan berbagai fak­tor penyebab kesemrawutan kota ini. Antara lain penyebabnya, pertambahan penduduk yang berimplikasi pada tuntutan peningkatan dan kebutuhan sarana dan prasarana, fasilitas umum dan pelayanan publik. Misalnya, kebutuhan angkutan umum/massal, jalan raya, terminal, pasar yang refresen­tatif dan rekreatif, gedung sekolah dan sebagainya  yang belum mampu dipenuhi pe­merintah kota. Sarana pra­sarana dan fasilitas yang ada, selain jumlahnya terbatas kondisinya pun kebanyakan sudah pada tua. Keadaan itu kemudian diperburuk akibat gempa 30 September 2009.
Kebijakan Zuiyen dan im­plikasinya hanyalah salah satu dari rangkaian penyebab kon­disi Padang hari ini. Semua itulah yang saya maksud ke­mudian terakumulasi  dan bermuara di tangan Walikota Padang Fauzi Bahar. Jadi, seperti yang saya singgung di atas, terlalu subjektif dan sensitif  jika Zuiyen menyimpulkan bahwa saya menganggap semua kesemrawutan itu bersumber dari kebijakannya.
Namun harus diakui bahwa salah satu penyebab utama kesemrawutan Kota Padang adalah penutupan Terminal Lintas Andalas (TLA) oleh Walikota Zuiyen Rais. Lalu, menggantinya dengan Terminal Regional Bengkuang (TRB) di Aie Pacah. Penutupan TLA memang sudah menjadi ke­putusan kota karena kon­disinya yang sempit dan padat. Artinya, pemindahan TLA boleh di­bilang “wajib” hu­kumnya. Namun alternatifnya bukan Terminal Regional Bengkuang (TRB) di Aie Pacah. Sebab, perencanaan kota sebelumnya, sejalan dengan konsep pem­bangunan jalan By Pass sebagai pendukung pe­ngembangan pusat per­tum­buhan bagian utara kota, terminal bus direncanakan di dua tempat: di sekitar Lubuk Buaya untuk bus dari utara dan di sekitar Lubuk Begalung atau Pegambiran untuk bus dari arah timur dan selatan. Dengan demikian kawasan per­tum­buhan yang terletak di antara dua terminal yang dihubungkan jalan By Pass itu diharapkan akan lebih cepat berkembang. Di samping itu Padang akan men­jadi salah satu dari sedikit kota di dunia yang memiliki tiga moda : udara (BIM)  darat (terminal bus) dan laut (Pe­labuhan Telukbayur) yang bisa dijangkau dalam satu rentang jalan.
Berdasarkan konsep dan rencana itulah, pihak Dinas dan Kanwil Perhubungan kala itu menolak terminal di Aie Pacah itu. Toh rencana itu jalan terus. Akibatnya, bangunan berbiaya sekitar Rp11 miliar itu jadi percuma dan sia-sia. Zuiyen sendiri dalam tulisannya me­nga­kui. Katanya, “setelah dicoba beberapa kali me­ngoperasikannya tidak juga berhasil sehingga saya ber­kesimpulan biarlah walikota baru yang melanjutkannya.”  Artinya, seperti yang saya tulis, persoalan akhirnya memang bermuara pada walikota yang baru, Fauzi Bahar, bukan?
Dengan demikian realitas kota Padang menjadi semakin terang.
Sebetulnya, semua pihak mengakui dan merasakan bahwa penutupan TLA dan pemindahan terminal ke TRB selain menyimpang dari peren­canaan juga terbengkalai. Antara lain karena belum adanya upaya (mestinya didahulukan) membangun sarana dan pra­sarana penunjang. Antara lain tak ada jalur jalan utama dari dan ke TRB -pusat kota. Ketika mengandalkan jalan Pasar Siteba, kawasan inipun menjadi sarang kemacetan hingga se­karang.
Jalur kedua TRB-pusat kota adalah jalan Alai-Ampang-By Pass, namun terkendala pem­bebasan lahan.  Kakanwil PU Sumatera Barat Sabri Zakaria pernah mengatakan sampai akhir tahun 1996 sudah empat kali (empat tahun) dana pusat untuk jalan ini dialihkan ke proyek lain lantaran pem­bebasan lahan tak kunjung rampung. Bahkan sampai sampai 10 tahun Zuiyen di kursi Walikota Padang lahan untuk jalur jalan ini tak juga terbebaskan. Jalan Alai-By Pass baru bisa dibangun 2011, delapan tahun setelah Zuiyen.
Tentang kondisi tanah dan kontruksi bangunan TRB sendiri, menurut Sabri kurang benar. Ia memprediksi, paling lama enam bulan dioperasikan bangunannya akan  retak-retak dan balok-baloknya bisa patah. Ternyata ramalan itu benar. Balok kolom gedung utama TRB kemudian memang patah dan retak-retak sampai akhirnya runtuh diterjang gempa 30 September 2009.
Ketidaktepatan pem­ba­ngunan TRB juga bisa dili­hat dari respons bus angkutan umum. Bus dari Pesisir Selatan atau dari Solok enggan ke TRB, karena selain tak ada penumpang yang turun naik di situ, juga tak efektif. Pe­numpang sudah turun di Sim­pang Lubuk Begalung atau di Bukit Putus, lalu melenggang kosong ke TRB sejauh 10 hingga 14 km. Penumpang pun enggan ke TRB karena tak ada angkutan umum dari pusat kota ke sana. Akhirnya, bus dari arah Bukittinggi memilih berterminal di Simpang Ke­lumpang, belakangan di depan Kampus UNP sehingga ka­wasan ini jadi sarang ke­macetan. Bus dari Selatan dan Timur berterminal di Simpang Lubuk Begalung dan Gaung Telukbayur. Tak aneh jika berbagai upaya memungsikan TRB dan menghapus terminal bayangan itu menjadi sia-sia.
Penutupan TLA dan pe­mindahan terminal bus ke Aie Pacah juga berimplikasi pada kondisi dan fungsi Pasar Raya sebagai pusat kegiatan pere­konomian Sumatera Barat. Menurut Dirut BPD kala itu Nazwar Nazir, sekitar Rp1,4 triliun investasi pedagang di sekitar Pasar Raya terancam ambruk. Karena pedagang luar kota yang menghidupi Pasar Raya beralih ke Bukittinggi. Bahkan pedagang Pasar Raya sendiri ada yang mengalihkan investasinya ke kota lain ter­masuk Bukittinggi. Gubernur Gamawan Fauzi sendiri tahun 2006 ketika mendatangi per­tokoan di belakang TLA menemukan fakta. Sewa toko yang sebelumnya Rp15 juta/petak anjlok jadi Rp5 juta. Itupun tak ada penyewa.
Dampak lain adalah ke­semrawutan lalu lintas di seputar Pasar Raya. Sebab, pedagang kaki lima yang tadinya memanfaatkan ruang TLA beralih ke jalan-jalan di sekitar Pasar Raya. Akibatnya, Pasar Raya tak nyaman dikunjungi warga. Warga memilih ber­belanja di pasar-pasar kaget yang bermunculan hampir di tiap simpang jalan. Tak ber­lebihan kalau ada yang berucap “bulek aie dek pambuluah, pacah aie dek terminal.”
Membaca kenyataan itu mengingatkan kita pada pen­dapat pakar perencana tata ruang kota Prof. Ir. Eko Budihardjo MSc dalam bu­kunya Lingkungan Binaan dan Tata Ruang Kota (Andi, Yog­ya­karta, 1999). Katanya, ke­semrawutan sebuah kota terjadi akibat para perencana kota yang seharusnya mengakomodasi kepentingan rakyat malah lebih melayani kepentingan penanam modal. Penentu kebijakan dan pengelola pembangunan yang mestinya bertindak sebagai wasit yang jujur dan adil ikut jadi pemain. Ini yang menyebabkan rencana kota yang sudah di­susun susah payah menjadi jungkir balik tak keruan.
Sukses pembangunan lain yang disebutkan Zuiyen adalah Jalan Simpang Aru atau Lubuk Begalung–Indarung. Untuk diketahui ruas jalan ini adalah jalan negara. Anggarannya dari pusat dan pembangunan fisik­nya ditangani Kanwil PU Sumatera Barat. Pemko Padang cuma membebaskan lahan. Justru pembebasan lahan itu sampai sekarang tak kunjung tuntas sehingga badan jalan jadi kembang kempis.
Proyek monumental yang dibangun Zuiyen adalah gedung tribun bagonjong di Imam Bonjol. Proyek strategis dan politis ini sempat tertunda-tunda beberapa tahun  karena terkendala pertokoan di se­keliling lapangan Imam Bonjol itu. Imam Bonjol baru bisa dijadikan lapangan terbuka hijau, ini mungkin tak banyak yang tahu, berkat pembicaraan Karni Ilyas, kala itu Pemimpin Redaksi Majalah Forum Kea­dilan dengan Kasad saat itu Jendral TNI Hartono.
Jadi, banyak hal bisa diung­kapkan. Dan, tiap kali me­ngungkapkan fakta dan realita sebuah kota di manapun tem­patnya, mustahil mengabaikan membaca kebijakan para wali­kota dan implikasinya. Terlepas sang pelaku sejarah setuju atau tidak setuju, sejarah akan terus berbicara apa adanya karena di samping pelaku ada se­jumlah saksi sejarah.

H. FACHRUL RASYID HF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar